Perempuan Mitologis di NTT dan Upaya Memperjuangkan Kesetaraan

Posisi perempuan mitologis yang istimewa ini justru tercatat dalam lingkungan budaya NTT yang kental dengan patriarki

Oleh: Antonius Rian

Tokoh perempuan dalam berbagai cerita mitologis selalu ditempatkan pada posisi yang istimewa.

Salah satunya bisa kita temukan dalam beberapa cerita tentang perempuan di NTT.

Misalnya, perempuan sebagai makanan, yang tubuhnya ditumbalkan bagi kelangsungan hidup manusia.

Cerita tentang ini ada dalam tokoh Tonu Wujo di Flores Timur, Are’ Naran di Lembata dan Ine Pare di Ende.

Tak hanya itu, perempuan juga dikisahkan sebagai tokoh yang datang dari langit sebagai putri matahari, sebagaimana dalam cerita Peni Muko Lolon di Kedang, Lembata.

Ia dijatuhkan ayahnya–matahari sebagai personifikasi akan Tuhan–ke bumi dan harus diterima oleh laki-laki dengan kelembutan.

Laki-laki harus menyiapkan piring yang sudah terisi dengan kapas putih agar tubuh Peni Muko Lolon tak tergores oleh buluh badan laki-laki. Sungguh, ini cerita yang amat menarik dan sarat makna.

Uniknya adalah posisi perempuan mitologis yang istimewa ini justru tercatat dalam lingkungan budaya NTT yang kental dengan patriarki.

Artinya, sejak awal mula laki-laki dan perempuan sudah sepakat untuk melihat satu sama lain pada posisi sejajar atau saling melengkapi.

Namun, komitmen filosofis dalam cerita-cerita mitologis tersebut tidak selalu relevan dengan konteks kekinian kita–kekerasan terhadap perempuan masih bertumbuh subur dan diskriminasi masih terus dilanggengkan.

Spirit Mitologis

Tentu memetik spirit dari setiap cerita merupakan domain setiap pribadi, baik laki-laki maupun perempuan.

Namun, satu hal yang barangkali bisa disepakati adalah cerita selalu punya makna yang mestinya mendorong setiap individu untuk berefleksi dan berpikir.

Jhon M. Prior dalam buku Daya Hening Upaya Juang (2000) menjelaskan bahwa “simbol-simbol budaya, upacara-upacara serta mitos-mitos masyarakat memberi makna, arah, dan integritas pada dunia pragmatis sehari-hari.”

Hal ini berarti cerita-cerita mitologis maupun simbol-simbol budaya kita selalu hadir dengan pesan-pesan tertentu yang mesti selalu digali untuk dipahami dan disesuaikan dengan tuntutan zaman.

Cerita-cerita mitologis yang tergambarkan secara singkat pada pengantar artikel ini menegaskan bahwa ada spirit mitologis bagi perempuan untuk mewujudkan diri.

Perempuan sebagai makanan berarti laki-laki tidak bisa mewujudkan diri tanpa perempuan.  Sebagai makanan, perempuan harus dihargai, dihormati, dijaga, bukannya dirusak.

Sebagai makanan, perempuan adalah kekuatan dasar dalam membangun kehidupan.

Membangun relasi harmonis dengan perempuan adalah salah satu wujud dari kesetaraan, sebagaimana sudah terbersit dalam mitologi yang menekankan pentingnya kehadiran dan peran perempuan.

Kesetaraan itu bisa diwujudkan dalam beragam ruang, baik dalam keluarga kecil maupun kehidupan sosial yang lebih besar.

Salah satunya adalah sudah saatnya perempuan membongkar cara pikir patriarkis yang keliru, bahwa hanya laki-laki yang diutamakan untuk mengakses pendidikan.

Selain itu, perempuan juga mesti melawan sistem yang tidak adil yang seolah dilanggengkan.

Misalnya soal perempuan berpendidikan tinggi yang maju menjadi calon legislatif dalam setiap pemilu, yang seringkali bukan untuk memaksimalkan potensi diri, melainkan hanya untuk memenuhi kuota. Perempuan hanya sebagai pelengkap untuk memperkuat kuda-kuda kekuasaan laki-laki.

Tantangannya adalah, apakah fakta semacam ini mampu menggerakkan perempuan untuk merefleksikan kecurangan sistem seperti ini atau justru menuruti dan menikmati begitu saja?

Apakah perempuan mampu berpikir kritis terhadap sistem ataukah menjadi pesimis dan takut bersuara?

Di tengah tantangan absurditas konstruksi sosial, perempuan dituntut untuk memilih, menjadi tokoh yang pasrah atau pejuang tangguh?

Syukur bahwa sejumlah kelompok perempuan di NTT telah mengambil langkah berani.

Ada yang berjuang mempertahankan tanah adat dari eksploitasi proyek dan cara kerja korporatokrasi yang tidak jujur.

Banyak perempuan berjuang paling depan dalam demonstrasi mempertahankan jati diri, budaya dan hukum adat atas tanah sebagai rahim kehidupan–yang didukung oleh spirit bahwa tanah adalah perempuan. Bahkan, ada di antaranya yang masuk penjara.

Hal ini selaras dengan cerita mitologis yang selalu menampilkan perempuan sebagai tokoh yang kuat dan sama dengan laki-laki–perempuan datang dari langit, dari atas, bahkan melawan laki-laki yang bertindak tidak adil dalam cerita mitologis tentang Peni Muko Lolon.

Kontra Mitologis

Cerita-cerita mitologis yang menopang nama perempuan memang tidak selalu linear dengan kondisi perempuan hari-hari ini.

Tidak jarang kita juga menemukan fakta yang amat kontras dengan cerita-cerita mitologis tentang keistimewaan perempuan.

Sebagai contoh, baru-baru ini, di Lembata terjadi penganiayaan anak di bawah umur yang diduga hendak mencuri.

Anak ini disiksa dan diarak keliling kampung dalam keadaan tanpa busana. Polisi menetapkan lima pelaku, yang salah satunya adalah seorang ibu.

Dalam rekaman video, ibu tersebut menampar dan meludahi anak itu.

Pada kasus semacam ini, tentu kita bertanya; apakah perempuan masih memiliki sifat keibuan? Sebagai rahim yang melahirkan, tentu idealnya perempuan bertingkah laku sebagai penyayang kehidupan.

Di sisi lain, kita juga seringkali menemukan kasus pembuangan bayi di NTT. Bayi tak berdosa dibuang di pinggir jalan

Tentu saja, kasus-kasus tak manusiawi semacam ini bukan lahir tiba-tiba, melainkan memiliki latar belakang kompleks yang barangkali telah memaksa perempuan mengambil keputusan yang keliru.

Latar belakang kompleks ini mungkin saja soal ekonomi, hubungan gelap, pemerkosaan dan lain sebagainya .

Dari kasus-kasus kontra mitologis ini, setiap individu perempuan tidak boleh dibiarkan sendiri dalam proses pewujudan diri yang sejati.

Perempuan membutuhkan sistem, lingkungan sosial dan peran laki-laki yang memberi mereka ruang.

Mengutip Budi Kleden (2009) tentang makna Atadiken dalam budaya Lamaholot yang berarti orang baik; orang tidak hanya baik pada dirinya, tetapi juga memiliki hak untuk mendapatkan satu lingkungan kehidupan yang menunjangnya mewujudkan kebaikan tersebut.

Dalam rangka mewujudkan lingkungan yang baik itu, kita perlu belajar dari cerita-cerita mitologis tentang perempuan dalam budaya kita, yang sarat dengan pesan-pesan moral dan emansipatif.

Tugas kita adalah menggali untuk memahami maknanya yang bisa menjadi spirit, daya juang sekaligus bahan refleksi dalam mengoreksi diri, sekaligus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk transformasi demi mewujudkan kesetaraan.

Antonius Rian adalah warga asal Lembata

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING