Memasuki wilayah Rana Mese, kabut tebal menutupi jalan. Jarak pandang hanya sekitar 5 meter.  Sepanjang jalan sangat hening.  Hawa dingin bertambah menusuk.

Namun kami takzim melihat daun-daun yang tampak hijau segar, tertunduk tenang menahan beratnya butiran hujan sore itu. Ranting-ranting dan dahan pohon berlumut basah dan mengaliri air. Aroma gorengan kopi sempat tercium ketika melewati rumah-rumah di Mano.

Setiba di danau Rana Mese, keindahannya sungguh menghanyutkan perasaan. Permukaan air yang datar dan tenang, diselimuti gumpalan kabut di beberapa sudut. Di latarnya, sebuah gunung dengan puncak yang lancip seolah dimahkotai awan putih. Langit berwarna biru segar.

“Wooooww….” seru Boe setengah berbisik. Untuk pertama kali, ia melihat danau Rana Mese.

Ia sepertinya tak menahan diri memuji keindahan itu sekaligus saat bersamaan tak ingin mengusik ketenangan Rana Mese karena berbicara keras-keras.

Apalagi, saat ia berbicara, dua ekor monyet yang duduk tenang di atas dahan pohon sedang menatapi kami.

Sebenarnya dari berbagai cerita, banyak orang menghindari perjalanan sore hari melintasi Rana Mese. Selain karena udara dinginnya menyengat dan tertutup kabut tebal, Rana Mese dianggap angker.