Floresa.co – Warga di Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat yang menjadi ahli waris suatu lahan sengketa mengajukan banding terhadap putusan pengadilan karena dinilai mengabaikan kesaksian tetua adat sebagai pengurus tanah ulayat.
Ahli waris Barnabas Naha dan Veronika Lahom sebagai penggugat konvensi, mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo nomor 19/Pdt.G/2023/PN Lb dalam sengketa lahan sawah seluas 18.018 meter persegi di Lingko Bengkok Kembo II, Desa Watu Rambung, bagian dari Gendang Amba.
Mereka adalah Sebastiana Jiut, Anastasia Mimuk, Sisilia Ovi, Fransiskus Delis, Roi Perdi Nandos, Matildis Samut, Adrianus Yovan, Efronius Jeprato, Anjelita Mulia Mentari, dan Arselius R. Tampati.
Dalam putusannya, hakim menolak gugatan mereka terhadap keturunan dari Siprianus Saur, yang selama ini menguasai lahan itu dan telah memiliki sertifikat. Sertifikat bernomor 00238/Munting yang terbit pada 1986 itu atas nama Simon Sabut, salah satu anak dari Siprianus.
Siprianus adalah saudara kandung Veronika, yang dalam adat Manggarai dikenal sebagai anak rona.
Dalam perkara itu, ahli waris Barnabas dan Veronika menuding ahli waris Siprianus “menguasai, mensertifikatkan dan mengerjakan tanah objek sengketa secara tidak sah dan melawan hukum.”
Menurut mereka Barnabas – yang berasal dari Gendang Sambir adalah pemilik sah lahan itu yang diperoleh pada 1961 dari Tua Teno Gendang Amba, yang mengatur tanah ulayat.
Tanah itu, kata mereka, menjadi hak Barnabas karena berkontribusi dalam pembangunan selokan air untuk persawahan milik Gendang Amba.
Sementara itu, ahli waris Siprianus mengklaim tanah itu diperoleh kakek mereka berdasarkan pembagian pada 1961 dari Tua Gendang Amba dan Tua Teno Lingko Bengkok Kembo.
Mereka mengklaim, sebagai anggota Gendang Sambir yang berbatasan dengan Gendang Amba, Siprianus ikut menggali selokan Wae Wengkar untuk mengairi sawah di Lingko Bengkok Kembo.
Dalam amar putusannya, Pengadilan Negeri Labuan Bajo menyatakan lahan tersebut sah milik ahli waris Siprianus. Mereka adalah Teresia Nahom, Ignasius Babur, Videlis Panggor, Karolus Karus, Ludgardis Lin, Vinsensius Loso, Lestianus Johan, Rolan Kandao, Yustina Ndaus, Emerensiana Usna, Arsenlinus Sales, Leonardus Agung, Wilisitus Brodus, Tobias Jemali, dan Laurensius Jujur.
Hakim beralasan keterangan saksi-saksi dari ahli waris Barnabas hanya berdasar pada pesan turun-temurun sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian dan dikesampingkan.
Di sisi lain, menurut hakim, ahli waris Siprianus mengantongi bukti yang kuat, berupa sertifikat hak milik.
Alasan Ajukan Banding
Dalam salinan memori banding ke Pengadilan Tinggi Kupang yang diperoleh Floresa, Valentinus Dulmin, Ketua Tim Kuasa Hukum ahli waris Barnabas menyatakan “sangat keberatan dan tidak sependapat” dengan pertimbangan-pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
Pertimbangan hukum itu mengabaikan fakta-fakta dan bukti-bukti yuridis secara keseluruhan sehingga putusan itu tidak mencerminkan “keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ia berkata putusan pengadilan tidak berdasarkan pertimbangan hukum yang jelas dan cukup atau salah dalam menerapkan hukum atau lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, kata dia, layak dan patut apabila Pengadilan Tinggi Kupang membatalkan putusan tersebut.
Ia menyebut hakim di Pengadilan Negeri Labuan Bajo mengabaikan fakta persidangan terutama keterangan saksi, termasuk kesaksian Tobias Taok, Tua Gendang Amba saat ini sebagai orang yang berwenang mengatur tanah ulayat.
Dalam kesaksian di persidangan, menurut Valens, Tobias – yang didukung keterangan para saksi dari Gendang Amba dan Gendang Sambir- mengaku tanah tersebut adalah milik kliennya, yang diperoleh sebagai hak waris dari kakek mereka, Barnabas Naha.
“Saksi mengetahui riwayat kepemilikan tanah sengketa oleh Barnabas Naha karena saksi selaku Tua Gendang saat ini menerima dan menyimpan dokumen dari orang tuanya Nobertus Nabu dan saksi adalah ahli waris turun-temurun dari orang yang menyerahkan tanah tersebut,” katanya.
Valentinus berkata, Tobias menerangkan bahwa tanah tersebut diserahkan secara adat Manggarai kepada Barnabas pada 1961 dan penerima dibebankan masing-masing satu lembar kain songke.
Tobias, kata dia, menerangkan bahwa yang berhak membagi tanah tersebut adalah kakeknya, Yoakim Dangkus, lalu melimpahkannya kepada Makarius Magar sebagai Tua Teno yang berhak sebagai pembagi tanah.
“Saksi menerangkan bahwa yang menguasai tanah ialah Gendang Amba. Lalu, Gendang Amba melimpahkan tanah tersebut ke Tua Teno untuk dibagikan. Tua Teno sendiri ditunjuk oleh Tua Gendang,” tulis Valens.
Ia berkata, Tobias mengaku tidak tahu bahwa tanah objek sengketa tersebut sudah bersertifikat dan tidak pernah terlibat dalam pembuatannya.
Tobias, kata dia, juga mengaku tidak tahu jika Simon Sabut memiliki tanah di Lingko Bengkok Kembo Amba dan belum pernah ada upaya dari ahli waris Simon untuk menghubungi atau berdiskusi dengan Tua Gendang Amba terkait hal tersebut.
Di samping itu, menurut Valens, Tobias yang menjabat sebagai Tua Gendang Amba sejak 1999, adalah orang yang menulis nama-nama pemilik tanah di Lingko Bengkok Kembo, setelah sebelumnya “tidak ada pencatatan terhadap kepemilikan tanah di wilayah adat Gendang Amba.”
Dalam daftar itu, terangnya, terdapat 103 ladang yang menjadi bagian dari ulayat Gendang Amba dan 20 orang warga Sambir.
Barnabas Naha, kata dia, termasuk dalam daftar 20 orang itu.
Mereka, kata dia, juga tercatat ikut menyerahkan sumbangan dana wajib Rp100 ribu ke Gendang Sambir untuk kemudian diberikan kepada Gendang Amba, sebagai tanda mereka sebagai pemilik lahan itu.
Menurut Valens, dalam kesaksiannya, Tobias juga “menerangkan bahwa tanah yang sudah dibagi oleh orang tuanya sudah tidak bisa dibagi lagi.”
“Saat dirinya menjabat sebagai Tua Gendang, tidak ada lagi pembagian, hanya mengukuhkan,” tambahnya.
Saling Klaim
Sengketa tanah memanas ketika pada akhir 2021, Fransiskus Delis, salah satu ahli waris Barnabas Naha berupaya menguasai lahan itu.
Namun, langkah itu membuatnya dilaporkan oleh ahli waris Siprianus Saur ke Polsek Lembor pada 3 Januari 2022 dengan delik “penyerobotan tanah.” Ia ditetapkan sebagai tersangka pada Juli 2022.
Polsek Lembor sempat melimpahkan persoalan ini ke Pemerintah Desa Watu Rambung untuk proses mediasi, namun gagal karena pihak keturunan Siprianus Saur tidak menerima tawaran Kepala Desa, Konstan Selama untuk membagi tanah itu secara adil.
Dua bulan setelahnya, pada 13 September 2022, keluarga Fransiskus menggugat secara perdata ahli waris Siprianus Saur ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo, dengan delik “perbuatan melawan hukum.” Turut tergugat adalah Badan Pertanahan Nasional yang menerbitkan sertifikat.
Sementara proses perdata mulai bergulir, pada 19 Oktober 2022, Polsek Lembor mengeluarkan surat perintah penghentian sementara kasus dugaan penyerobotan tanah itu.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Labuan Bajo mengeluarkan putusan pada 27 April 2023, menyatakan bahwa gugatan keluarga Fransiskus “tidak dapat diterima” atau Niet Ontvankelijke Verklaard karena nama-nama pihak tergugat tidak lengkap.
Fransiskus merespons putusan itu dengan mengajukan gugatan ulang pada 15 Juni 2023, yang putusannya kemudian diumumkan pada 30 April 2024.
Pengakuan Ahli Waris dan Tetua Adat
Floresa sempat menginvestigasi kasus ini pada Juni 2023, dengan mendatangi ahli waris Siprianus Saur dan Barnabas Naha di kampung mereka.
Fransiskus Delis berkata ketika itu bahwa tanah yang disengketakan itu merupakan pemberian tetua adat Kampung Amba, “bentuk ucapan terima kasih atas partisipasi Barnabas Naha yang ikut membangun selokan untuk persawahan di Amba sebelum tahun 1961.”
Ia mengatakan, ada 20 orang warga Lancang-Dumar yang ikut mengerjakan selokan itu, termasuk Barnabas.
Ketika Barnabas meninggal dunia pada 1967, kata dia, istrinya Veronika Lahom sempat menyewakan lahan itu dengan sistem bagi hasil kepada seorang kerabat jauh bernama Matias Abur.
Matias, kata dia, mengolahnya hingga tahun 1972, berhubung ia kemudian pindah ke Kampung Lalong “karena ada tanah yang diberikan keluarga di sana untuk ia kerjakan.”
Setelah itu, jelasnya, Siprianus Saur, yang adalah saudara kandung Veronika, meminta izin untuk menggarap tanah itu.
Permintaan itu, kata Fransiskus, “disertai dengan perjanjian bahwa tanah itu harus dikembalikan ketika anak-anak Veronika sudah dewasa.”
Pada 1983, kata dia, Veronika dan dua anaknya – Stanislaus Sta dan Stefanus Hamid – pernah meminta secara resmi kepada Siprianus untuk mengembalikan tanah itu, namun ditolak.
Beberapa kali upaya setelahnya, kata dia, juga gagal.
Hal itu, jelas Fransiskus, membuat ia pada tahun 2021 bersama Stefanus Hamid kembali mendatangi anak dan cucu Siprianus Saur, termasuk Simon Sabut, meminta mengembalikan tanah itu.
Simon, kata dia, menyuruhnya untuk menanyakan keberadaan dan sejarah tanah tersebut kepada Lambertus Hatem, Tua Gendang Sambir.
“Kalian tanya Lambertus Hatem yang tahu tentang tanah itu. Dia saksi tanah itu,” kata Fransiskus, menirukan Simon.
Ia juga mengaku diminta menanyakan kepada tokoh adat di Lancang-Dumar bernama Pius Ludung – ahli waris Niram “yang tahu sejarah tanah itu.”
Karena itu, Fransiskus menghadap sejumlah pihak yang disebut itu, termasuk Tua Gendang Amba, Tobias Taok, meminta masukan mereka.
Mereka, kata dia, semuanya mengakui kepemilikan tanah itu oleh Barnabas Naha dan memintanya menguasainya.
Hal itulah, kata Fransiskus, yang menjadi alasannya menduduki lahan itu pada 27 Desember 2021.
Kala itu, Floresa juga menemui sejumlah tokoh yang disebut Fransiskus untuk mengonfirmasi pengakuannya.
Lambertus Hatem membenarkan cerita Fransiskus bahwa tanah yang dikuasai ahli waris Siprianus Saur merupakan tanah milik Barnabas Naha.
“Saya ada saat pembagian tanah itu. Semua orang tahu sejarahnya,” katanya.
“Di Tembong Sambir dan Tembong Amba orang tahu, tidak ada nama Siprianus Saur dalam pembagian tanah itu,” tambahnya. Tembong adalah sebutan lain untuk Gendang.
Ia berkata, sejak pembagian dan pembukaan lahan baru di Lingko Bengkok Kembo II itu, ia juga selalu melihat Barnabas Naha bekerja di lahan itu.
“Tanah saya ada di bagian barat [tanah sengketa itu]. Di bagian timur ada tanah Tadeus Numpal,” katanya.
“Saya tahu persis tanah Naha. Tana hitu dempul wuku tela toni de Naha,” katanya menukil peribahasa dalam Bahasa Manggarai: Tanah itu hasil keringat dan kerja keras Naha.
Kesaksian Lambertus diperkuat oleh Dominikus Humat [73], ahli waris Tadeus Numpal.
Ia mengatakan, “saya masih ingat waktu masih di Sekolah Dasar, Naha berkebun di lahan itu.”
“Saya sendiri punya tanah di situ di bagian timur. Saya tahu jelas Naha yang kerjakan tanah itu dulu,” katanya.
Senada dengan cerita Fransiskus Delis, kata dia, Barnabas Naha adalah salah satu dari 20 orang yang mendapat tanah dari Amba sebagai balas jasa pembangunan saluran air.
Di Lingko Bengkok Kembo itu, kata dia, ada 13 orang yang mendapat lahan, termasuk Bernabas Naha, sementara tujuh orang lainnya mendapat jatah di Lingko Bengkok Kasa Mese.
“Yang punya tanah di Lingko Bengkok Kembo itu Waul, Nonggong, Nungkar, Maun, Niram, Numpal, Naha, Hatem, Haman, Santeng, Lugam, Mahar dan Nabar,” katanya.
“Sementara di Lingko Kasa Mese adalah Gaspar Arom, Makar, Ruka, Langgom, Ngutam, Hawan, dan Naur,” tambah Dominikus.
Sementara Fransiskus dan tetua adat berpegangan pada sejarah tanah itu, bagi keturunan Siprianus Saur, kunci bagi mereka adalah sertifikat.
“Saya tidak tahu sejarah tanah itu. Yang kami tahu pegang sertifikat,” kata Ansenius Sales, salah satu cucu Siprianus Saur, kepada Floresa.
Ayah empat orang anak itu menjelaskan, mereka sudah 30 tahun lebih menguasai dan bekerja di tanah itu.
“Kami punya bukti sertifikat. Tidak mungkin tanah itu ada sertifikat tanpa ada penyerahan adat,” katanya sambil menunjukkan sertifikat tanah tersebut.
Dalam sertifikat itu, yang ditandatangani Kepala Kantor Agraria Kabupaten Manggarai, Marthinus Naar, pada 1986, tertulis pemilik lahan adalah Simon Sabut.
“Nama anak pertama [dari Siprianus Saur yang tercatat] dalam sertifikat itu,” katanya.
Tapi, kata dia, mereka mendapat pesan bahwa tanah itu dibagi kepada semua ahli waris.
Ignas Babur [38], anak Simon Sabut juga mengatakan, bukti kepemilikan tanah di Bengkok Kembo itu adalah sertifikat.
Ia mengklaim, keluarga ahli waris Barnabas Naha “hanya omong sejarah.”
“Tidak ada bukti [kepemilikan lahan itu],” katanya.
Hukum Adat versus Hukum Positif
Kasus ini hanyalah salah satu contoh sengketa tanah di wilayah Manggarai yang beririsan dengan mekanisme atau hukum adat terkait pertanahan atau agraria.
Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum adat diakui sebagai sumber hukum yang sah dan setara dengan hukum positif, yang masuk dalam klaster hukum tidak tertulis.
Wacana terkait peran dan posisi hukum adat terhadap segala keputusan legal yang terkait dengan sengketa pertanahan menjadi penting mengingat umumnya kepemilikan atas tanah di Manggarai, juga NTT berbasiskan aturan hukum adat sebagai sumber legitimasinya.
Dalam kasus ini, hal terpenting adalah menelusuri asal-usul tanah itu karena sertifikat yang sudah diterbitkan atasnya “bukan akhir dari segala-galanya,” seperti diingatkan praktisi hukum Gregorius Garu.
“Boleh saja sertifikat ditulis di atas tinta emas, tetapi asal usulnya dari mana, itu yang harusnya ditelusuri sampai ke akar-akarnya, harus terang-benderang,” katanya.
Keberadaan sertifikat, kata dia, merupakan “sumber persoalan dalam kasus ini.”
“Maksim atau postulat adat Manggarai harus dihargai dan dipegang teguh, Eme Dite, Dite Tu’ung, Eme Data, Data Tu’ung atau Neka Daku Ngong Data yang intinya berarti jangan pernah klaim apa yang bukan milikmu,” kata Gregorius.
Memori banding kasus ini ke Pengadilan Tinggi Kupang sudah diajukan pada 20 Mei, di mana para hakim akan menilai sendiri klaim masing-masing pihak.
Editor: Ryan Dagur