Desak Polisi Tuntaskan Kasus Penganiayaan Warga Labuan Bajo oleh Anggota Polairud, YLBHI: Tidak Boleh Ada Impunitas

Polres Manggarai Barat berjanji melanjutkan penyelidikan setelah urusan pilkada selesai

Floresa.co –  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI] mendesak Polres Manggarai Barat mengusut tuntas kasus penganiayaan seorang warga di Labuan Bajo oleh anggota Kepolisian Perairan dan Udara [Polairud].

“Jangan sampai kasus kekerasan dan pelanggaran hukum anggota kepolisian bertambah banyak, tetapi tanpa penghukuman atau tanpa penindakan,” kata Muhammad Isnur, Ketua YLBHI, lembaga advokasi yang juga salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian [Koalisi RFP].

Berbicara dengan Floresa pada 30 November, ia menekankan agar tidak boleh ada impunitas terhadap pelaku dalam kasus ini.

Penganiayaan yang dialami Bernardinus Budiman Tri Idu pada 1 November itu terjadi di Deja’vu Bar 2.0, Labuan Bajo. 

Meski sudah sebulan berlalu, Polres Manggarai Barat belum juga menetapkan tersangka.

Di sisi lain, atasan terduga pelaku aktif melakukan pendekatan ke keluarga Bernard agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

Isnur khawatir pendekatan ini “bagian dari upaya menekan korban dan keluarganya.” 

Ia pun mendorong Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memberikan atensi terhadap kasus ini serta “berinisiatif melindungi saksi dan korban.”

Selain itu, Isnur mendorong Kapolda NTT, Daniel Tahi Monang Silitonga dan Kapolri, Listyo Sigit Prabowo memberikan perhatian karena kasus ini melibatkan anak buah mereka.

Dihubungi terpisah, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Lufthi Darmawan Aditya mengatakan, proses penyelidikan kasus ini masih berlanjut.

“Kita masih penyelidikan. Setelah pilkada kita cek kembali,” katanya kepada Floresa melalui pesan WhatsApp pada 1 Desember.

Di sisi lain, keluarga korban khawatir pengusutan kasus ini sulit untuk dilakukan, karena para pelaku dari Polairud Badan Pemelihara Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia [Baharkam Polri] sudah tidak berada di Labuan Bajo.

“Saya tadi dapat informasi dari kawan di Kampung Air, sepertinya kapal  Polairud sudah tidak ada di bawah,” ujar salah satu anggota keluarga Bernard kepada Floresa pada 30 November.

Kampung Air merujuk pada kampung yang terletak di pesisir Labuan Bajo, dekat pelabuhan.

Floresa mengkonfirmasi informasi ini ke AKP Lufthi Darmawan Aditya.

Namun, pertanyaan yang diajukan melalui WhatsApp tak direspons, meski sudah dibaca, yang ditandai dengan centang dua berwarna biru.

Muhamad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. (Dokumen Pribadi)

Bagaimana Kronologi Kejadian?

Awal bulan lalu, Bernard dianiaya sejumlah orang di Deja’vu Bar 2.0, Labuan Bajo, sesuai rekaman pengawasan berbasis video atau CCTV yang telah diperiksa Floresa.

Pada penggalan rekaman itu tertera cap waktu atau time stamp 1 November 2024 antara semenit sebelum dan sesudah pukul 03.08 Wita.

Tampak empat orang sedang mondar-mandir di depan Deja’vu, sementara enam lainnya duduk di sekitar kafe itu. 

Tak lama kemudian seseorang masuk ke kafe, disusul empat lainnya yang berancang-ancang mendekati pintu, sebelum mundur kembali.

Beberapa detik kemudian terlihat sejumlah orang keluar dari kafe sembari memukuli seseorang, yang diakui Bernard adalah dirinya.

Ditemui Floresa pada 20 November, Bernard bercerita, menjelang subuh pada 1 November itu ia dan beberapa temannya tengah mengikuti acara Halloween di kafe yang terletak di Kampung Ujung, Kelurahan Labuan Bajo itu.

Tiba-tiba, katanya, petugas keamanan kafe menghampirinya saat sedang berjoget, memintanya keluar kafe, “beralasan ada yang mencari saya.” 

Ia semula menolak permintaan petugas keamanan itu, namun, “karena terus didesak, saya akhirnya menurut.”

Sesampai di pintu utama kafe, “tiba-tiba tiga orang yang tak dikenal” menarik baju sebelum mulai memukulinya.

Tiga orang itu, kata Bernard, lalu menariknya menjauhi pintu kafe sebelum beberapa lainnya juga ikut memukulinya. 

Ia sempat terjatuh dan “orang-orang tak dikenal itu menginjak tubuh saya.”

Pukulan bertubi-tubi turut melemahkan tubuhnya. Bernard tak mampu membela diri.

Yang bisa ia lakukan saat itu hanya “menutup kepala dengan kedua tangan agar terhindar dari pukulan.”

Beberapa pengunjung kafe yang melihat peristiwa itu berusaha melerai, termasuk seorang satpam. Mereka lalu mengevakuasi Bernard ke Gardena Bungalow, sekitar 300 meter dari Deja’vu.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya jika mereka tidak melerai,” kata Bernard.

Ia mengatakan sekujur tubuhnya terasa sakit setelah peristiwa itu.

Dalam video yang ditunjukkan ke Floresa, tampak tangan kirinya terluka dan berlumuran darah. Luka dan lebam juga terlihat pada bagian kening, pipi dan punggung. 

Oleh beberapa teman, Bernard kemudian diantar pulang ke rumah seorang kerabat. 

Ia tak berani pulang ke rumah orang tuanya “karena khawatir mereka akan panik.”

Dalam kesakitan, Bernard yang ditemani kerabat dan sejumlah temannya melaporkan penganiayaan tersebut ke Polres Manggarai Barat sekitar pukul 05.00 Wita. Ia kemudian melakukan visum di Puskesmas Labuan Bajo, ditemani dua polisi. 

Setelah visum, ia dimintai keterangan di bagian Reserse dan Kriminal Umum Polres Manggarai Barat. Baju yang dikenakan, yang sudah robek dan berlumuran darah, menjadi  barang bukti.

Pasca kejadian itu, atasan terduga pelaku tiga kali menghampiri keluarga Bernard. Mereka meminta menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan. Namun, keluarga Bernard menolak karena ingin kasus ini diselesaikan secara hukum.

Pihak Polairud yang didamping Tokoh Adat Labuan Bajo, Anton Antam kembali mendatangi rumah Bernardinus Budiman Tri Idu di Kelurahan Labuan Bajo pada 6 November 2024 untuk meminta maaf dan menyelesaikan masalah secara kekeluargaan (Dokumen Keluarga Bernardinus Budiman Tri Idu)

Menambah Daftar Kekerasan oleh Polisi

Kasus penganiayaan terhadap Bernard menambah daftar tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. 

Selama November 2024, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mengungkap sejumlah kasus yang menyedot erhatian publik. 

Pada 24 November, anggota kepolisian di Polres Semarang, Jawa Tengah menembak mati Gamma Rizkynata Oktafandy, pelajar SMKN 4 Semarang berusia 16 tahun.

Pada hari yang sama, Beni, 45 tahun, warga Desa Tugang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat meninggal usai ditembak anggota Brimob Polda Bangka Belitung setelah dituduh mencuri sawit di sebuah perusahan perkebunan.

Pada 22 November, seorang polisi di Sumatera Barat menembak rekannya. Kepala Bagian Operasi Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar yang diduga menjadi beking tambang ilegal menembak mati AKP Ryanto Ulil Anshar.  Penembakan itu terjadi setelah Ryanto yang merupakan Kepala Satuan Reserse dan Kriminal menangkap pelaku tambang ilegal.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS], yang juga bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian mencatat, sepanjang Januari-April 2024, terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan polisi.

Bentuknya antara lain termasuk penembakan, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, penculikan, pembunuhan, intimidasi, kejahatan seksual, hingga pembunuhan di luar proses hukum.

Sementara menurut YLBHI, sepanjang 2019,  67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum di tangan anggota polisi. 

Selama Juli 2022- 2023, YLBHI juga menghimpun setidaknya 130 kasus pelanggaran oleh polisi. 

Beberapa di antara bentuk pelanggarannya adalah salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang hingga pembunuhan di luar hukum.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA