Floresa.co – Warga di Desa Nangahale dan Likong Gete, korban penggusuran paksa oleh korporasi milik Keuskupan Maumere mengaku trauma, berharap pemerintah daerah Kabupaten Sikka segera mengambil langkah serius dan memberi bantuan.
Fernandes ‘Ricky’ Ricyanto, warga Nangahale yang berbicara kepada Floresa pada 26 Januari berkata, “sebagian besar warga yang trauma adalah ibu hamil, lansia, dan anak sekolah.”
Guna mendapat fasilitas kesehatan dan pelayanan di sekolah, kata Ricky, mereka terpaksa dipindahkan oleh kerabatnya ke kampung-kampung terdekat.
“Warga terdampak lainnya tetap berusaha bertahan sambil mendirikan tenda-tenda darurat berdekatan dengan lokasi penggusuran,” kata Ricky.
Ia berkata, alasan mereka bertahan karena ingin memperjuangkan hak ulayat “yang dirampok semenjak masa kolonialisme Belanda dan kini hendak dirampas kembali oleh PT Krisrama.”
PT Krisrama, akronim dari PT Kristus Raja Maumere merupakan perusahaan milik Keuskupan Maumere yang beralamat di Jalan Sultan Hasanudin, Kelurahan Kabor, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.
Pada 22 Januari “orang-orang sewaan” perusahaan itu, yang dikawal aparat TNI, Polres Sikka dan Satpol PP, meruntuhkan rumah-rumah warga dan menggusur tanaman pertanian mereka.
Aksi yang dipimpin Romo Robertus Yan Faroka, Direktur Pelaksana PT Krisrama itu menghancurkan setidaknya 120 unit rumah warga, yang kemudian memicu kecaman luas terhadap Keuskupan Maumere.
Total rumah warga terdampak yang mencapai lebih dari seratus unit berada di Pedan, Desa Nangahale. Dua unit rumah warga lainnya berada di Utan Wair dan lima unit rumah di Wair Hek, Desa Likong Gete.
Romo Epy Rimo, Direktur Utama PT. Krisrama mengklaim tindakan perusahaan yang bernaung di bawah Keuskupan Maumere itu bukan penggusuran, melainkan ‘pembersihan’ terhadap “okupan yang masih berada di dalam lokasi.”
“Kami sama sekali tidak ada persoalan dengan siapa pun, hanya bahwa ada satu dua rumah yang masih ada di dalam lokasi HGU, yang sebelumnya berdasarkan janji pemerintah, mereka direlokasi oleh pemerintah,” katanya kepada Floresa pada 23 Januari.
Saat aksi penggusuran itu terjadi, para tetua dari Nangahale dan Likong Gete tengah mendampingi delapan warga adat yang disidang di Pengadilan Negeri Sikka setelah dilaporkan melakukan pengrusakan aset PT Krisrama pada Juli tahun lalu.
Dua di antaranya merupakan perempuan, yakni Magdalena Marta, 53 tahun, yang ditahan di Rutan sejak Oktober dan Maria Magdalena Leny, 43 tahun, yang menjadi tahanan rumah karena memiliki seorang anak balita.
Mengandalkan Bantuan Pihak Lain
Ricky menuturkan, pascapenggusuran itu mereka harus menetap di tenda darurat yang hanya beralaskan pelepah kelapa dan beratapkan terpal.
Warga, kata Ricky, terpaksa membangun tenda darurat mandiri secara swadaya yang bisa ditempati 3-4 keluarga.
Dalam video yang Floresa terima pada 26 Januari, beberapa di antara mereka tampak bahu-membahu membangun tenda darurat di antara reruntuhan rumah.
“Selain tenda darurat, ada dua dapur umum dipakai untuk memasak,” kata Ricky.
Alih-alih mendapat bantuan pemerintah, kata Ricky, dalam serba keterbatasan di hari kelima pascapenggusuran “warga secara sukarela mengumpulkan masing-masing lima kilogram beras untuk dimasak di dapur umum.”
“Pengumpulan itu sesuai dengan jumlah anggota keluarga,” kata Ricky.
Beras tersebut berasal dari bantuan yang diberikan oleh lembaga Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan atau Justice, Peace, and Integrity of Creation [JPIC] SVD-Ende.

Gereja Tak Boleh Pakai Kekerasan
Mendengar bantuan dari JPIC-SVD Ende, kata Ricky, awalnya mereka sempat ragu, karena menganggap bantuan tersebut datang dari institusi gereja yang sama.
Bantuan baru diterima usai mendapat penjelasan “bahwa tidak semua pastor berkelakuan buruk.”
Perwakilan JPIC-SVD Ende, Pastor Otto Gusti Madung, SVD berkata, bantuan sembako yang diberikan merupakan “wujud keprihatinan serikat terhadap warga yang menderita.”
Otto yang berbicara kepada Floresa pada 26 Januari mengibaratkan kehadiran mereka sebagaimana “rumah sakit darurat di medan perang” atau field hospital.
Otto, yang juga Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere berkata Paus Fransiskus sering menyerukan agar Gereja menjadi “rumah sakit lapangan” yang membantu orang-orang menderita dan terpinggirkan.
Dalam situasi seperti itu, kata dia, warga tentu membutuhkan bantuan berupa makanan.
“Kami tidak melihat benar dan salah. Faktanya mereka sedang menderita,” kata Otto.
Menurutnya, kewenangan memutuskan benar dan salah menjadi ranah lembaga penegak hukum.
Otto berharap Pemda Sikka bersedia memoderasi Keuskupan Maumere dan warga Nangahale dalam sebuah pertemuan “untuk menyelesaikan persoalan tersebut.”
“Gereja tidak boleh menggunakan kekerasan. Satu-satunya jalan untuk mempertemukan dua persepsi yang berbeda ialah dialog,” kata Otto.
Pemda Sikka Wajib Bertanggung Jawab
Ricky Fernandes berkata semenjak penggusuran hingga kini Pemda Sikka “tidak punya “kepedulian dan seolah-seolah tutup mata terhadap persoalan yang menimpa warganya sendiri.”
“Mungkin saja Pemda Sikka mendukung dan menjadi bagian dari pihak yang ikut mendukung penggusuran,” kata Ricky.
Hal itu, kata Otto, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, termasuk membangun kembali rumah warga yang telah digusur agar “mereka bisa tempati kembali.”
Hal senada disampaikan Muhamad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], yang menuntut Pemda Sikka segera bergerak untuk memberikan bantuan dan perlindungan, sebagai kewajiban mereka.
“Kewajiban negara untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada warga negaranya tercantum dalam UUD 1945,” kata Isnur kepada Floresa.
Jika bantuan dan perlindungan diabaikan, katanya, maka “pemerintah harus ditegur karena lalai mengamanatkan UUD 1945.”
“Pemda Sikka jangan sampai menganggap warga Nangahale bukan bagian dari wilayah negara Indonesia,” katanya.
YLBHI mendesak Menteri Sosial, Mendagri serta Presiden Prabowo Subianto untuk turun menegur pemerintah serta memberikan bantuan secepatnya.
Kehadiran pemerintah, kata Isnur, penting untuk memulihkan hak-hak warga, tempat tinggal, dan rasa keamanan.
“Jangan sampai sebaliknya, negara menjadi seperti penjajah yang menyakiti rakyatnya,” kata Isnur.
Floresa menghubungi Rudolfus Ali, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sikka sejak 26 Januari. Rangkaian pesan WhatsApp itu baru diresponnya pada 28 Januari sore dengan jawaban awal “sedang berlibur dan pulang kampung.”
Rudolfus pun menjelaskan bahwa masalah di Nangahale [menjadi] urusan antara masyarakat dan PT. Krisrama, “bukan dengan pemerintah.”
“[Masalah] itu di luar ranah Dinas Sosial,” kata Rudolfus.
“Kalau toh [mau] minta tanggapan pemerintah, maka yang menjelaskan Pj. Bupati Sikka, Adrianus Firminus Parera,” tambahnya.
Ketika Floresa menanyakan perihal tugas Dinas Sosial memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat, Rudolfus mengklaim “untuk bantuan sosial ada ketentuan sesuai Peraturan Menteri Sosial.”
Namun, ia tidak merincikan Permensos dimaksud sembari berkata “[hari] Kamis baru ke kantor untuk cek Permensos.”
Ricky berkata warga berharap pemerintah memediasi persoalan ini, hal yang penting dilakukan mengingat “masyarakat sudah sangat dirugikan akibat penggusuran.”
Ia menuturkan, pada masa pemerintahan Bupati Robby Idong, sudah pernah diterbitkan surat keputusan [SK] pada 2021 yang isinya untuk mengadakan mediasi dan pertemuan antara masyarakat adat dan pihak Keuskupan Maumere.
Robby, bernama lengkap Fransiskus Roberto Diogo menjadi bupati pada 2018-2023.
“Sampai Robby Idong sudah tidak lagi menjabat, perintah SK itu tidak dijalankan,” kata Ricky.
Editor: Anno Susabun