Bupati dan Wakil Bupati Flores Timur Tolak Gunakan Kendaraan Baru, Akan Menjualnya untuk Bantu Warga yang Kesusahan

Pengamat kebijakan publik menyebutnya sebagai langkah tepat demi pelayanan publik

Floresa.co – Bupati Flores Timur, Antonius Doni Dihen dan wakilnya, Ignasius Boli Uran memutuskan menolak menggunakan kendaraan dinas baru, mengklaim akan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan warga.

Duo pemimpin Flores Timur periode 2025-2030 itu menyatakan komitmennya usai mengikuti rapat paripurna di gedung DPRD pada 7 Maret. 

Anton berkata, ia dan Ignas memutuskan tetap menggunakan kendaraan lama karena “masih layak untuk menunjang operasional.”  

Ia juga mengklaim masih banyak kebutuhan warga yang harus diprioritaskan, terutama untuk pembangunan infrastruktur dan bantuan bagi korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. 

“Untuk berempati dengan warga yang miskin dan susah, terutama korban bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, kami memutuskan tetap menggunakan kendaraan lama,” katanya dalam video berdurasi dua menit 27 detik yang diterima Floresa.

Laporan kupang.tribunnews.com menyebutkan pembelian dua unit kendaraan itu menelan anggaran Rp1.320.000.000 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. 

Sementara itu, laporan Floresa pada 21 Desember 2024 mengungkap, selain untuk Anton dan Ignas, pemerintah daerah juga membeli mobil dinas baru untuk Ketua DPRD dan dua wakilnya. Total anggaran untuk pembelian lima unit mobil itu adalah sebesar Rp3,12 miliar.

Pemerintah Kabupaten Flores Timur mengklaim pembelian mobil baru itu berbasis pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2022 yang mengatur tentang Penjualan Barang Milik Negara/Daerah berupa kendaraan perorangan dinas. 

Namun, langkah itu menuai kritik karena dilakukan di tengah erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki yang terus berlanjut dan memaksa ribuan warga bertahan di pengungsian.

Tiga dari lima mobil merek Toyota Fortuner yang dibeli dengan menghabiskan anggaran Rp3,12 miliar sedang diparkir di halaman kantor DPRD Flores Timur pada 20 Desember 2024. Ketiga mobil itu akan digunakan oleh Ketua DPRD dan kedua wakilnya. Dua mobil lainnya akan digunakan oleh Bupati dan Wakil Bupati. (Dokumentasi Henderita Maryaty Senak)

Anton mengklaim telah meminta Badan Keuangan Daerah atau Badan Pengelola Aset Daerah untuk langsung menjual kendaraan bermerek Toyota Fortuner tersebut.

Semua proses tersebut, kata dia, harus mengikuti mekanisme penjualan aset daerah atau barang milik daerah.

“Ini [dua kendaraan] dihitung sebagai aset dan dinas terkait akan mengurusnya, sehingga gampang untuk dijual,” katanya.

Anton berkata, hasil penjualan kendaraan tersebut bisa dipakai untuk kepentingan warga, terutama untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak dan bantuan bagi korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki yang masih membutuhkan dukungan pemerintah.

Selain itu, kata dia, hasil penjualan mobil itu juga bisa digunakan untuk menambah biaya pengadaaan kendaraan Organisasi Perangkat Daerah [OPD].

“Penjualan tersebut didasarkan pada laporan dari pimpinan OPD yang menyebut banyak kendaraan operasional dinas yang tidak layak lagi digunakan,” katanya.

Langkah yang Tepat

Herman N. Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah menilai langkah tersebut sangat bijak di tengah kondisi fiskal daerah Kabupaten Flores Timur yang rendah.

Indeks Kapasitas Fiskal adalah ukuran kemampuan keuangan daerah yang diukur dari pendapatan dan penerimaan pembiayaan daerah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65 Tahun 2024 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, kondisi fiskal Kabupaten Flores Timur adalah 0,990 atau masih lebih rendah dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mencapai 1,221.

Arman, sapaannya, menilai penolakan Anton dan Ignasius didasarkan pada pertimbangan etika politik dan sosial, yakni keberpihakan untuk kepentingan warga. 

Apalagi, kata dia, untuk spesifikasi operasional kendaraan Toyota Fortuner membutuhkan “biaya tidak sedikit” serta diperlukan proses atau tindakan untuk menjaga kondisi kendaraan agar tetap optimal.

“Rencana penjualan mobil adalah opsi yang tepat. Keputusan untuk menjualnya kembali kepada wewenang pemerintah daerah,” katanya kepada Floresa pada 8 Maret. 

Arman berkata, dalam sistem pemerintahan, setiap kepala daerah memiliki hak diskresi, yaitu “kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi.”

Namun, katanya, dalam konteks kendaraan baru yang belum dipakai, perlu mempertimbangkan cost benefit analysis, metode untuk menghitung dan membandingkan biaya serta manfaatnya.

“Pada prinsipnya, output penjualan itu harus berdaya manfaat bagi kepentingan dan kebutuhan utama warga,” kata Arman.

Senada dengan Arman, Kanis Soge, Ketua Gerakan Anti Korupsi Flores-Lembata juga menilai penjualan kendaraan dinas baru tersebut merupakan langkah yang tepat demi pelayanan publik di Flores Timur. 

“Ini merupakan langkah strategis dalam rangka pemanfaatan aset daerah sesuai peruntukannya,” katanya. 

Namun, ia mengingatkan penjualan kendaraan tersebut harus sejalan dengan fungsi pengawasan dari pihak terkait demi terhindar dari upaya penyelewengan dan manipulasi.

Kanis juga menyoroti Ketua DPRD dan dua wakilnya yang “tidak punya nurani” karena tetap memakai kendaraan baru yang menelan anggaran Rp1,8 miliar itu.

“Pimpinan DPRD masih terpaku pada formalitas rutinitas. Seharusnya dana yang dikeluarkan untuk pembelian tiga unit mobil baru itu dipakai untuk biaya kebutuhan warga,” katanya.

Kanis Soge, Ketua Gerakan Anti Korupsi Flores-Lembata (Gertak Florata). (Dokumentasi pribadi)

Apa Kata Penyintas Erupsi?

Remigius Yos K. Soge, warga Dusun Puor, Desa Boru di Kecamatan Wulanggitang berkata, kebijakan tersebut terdorong oleh “perasaan malu” pemimpin baru karena “terlanjur membeli mobil baru di tengah kesusahan warga penyintas erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki.”

Erson, sapaannya, menilai pembelian kendaraan tersebut seharusnya dibatalkan saat warga yang menjadi korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki mengungsi ke Desa Bogantar, Kabupaten Sikka pada awal November tahun.

Desa Bogantar berjarak 7,9 kilometer dari desanya. Hingga kini, ia bersama warga lain masih memilih mengungsi mandiri dan mencari makan sendiri. 

“Awal-awal kami dapat sedikit, tapi hingga sekarang kami cari sendiri,” katanya kepada Floresa pada 8 Maret.

Erson mengaku ia dan penyintas lainnya tetap menanti realisasi bantuan dari pemerintah daerah.

Karena itu, ia berharap Antonius Doni Dihen dan Ignas Boli Uran agar menjadi pemimpin yang “peduli dengan masyarakat.”

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA