Floresa.co – Film dokumenter ‘Barang Panas’ yang mengungkap persoalan dalam pengembangan proyek geotermal demi transisi energi di Indonesia, termasuk di wilayah Flores, ditayangkan dan didiskusikan di puluhan kampus di Amerika Serikat dan Kanada.
Terbaru, film itu tayang serentak atau simulcast di 23 universitas di Amerika Serikat dan Kanada pada 31 Maret waktu setempat atau 1 April dini hari waktu Indonesia.
Sebelumnya film ini disaksikan dalam film ekspo konferensi tahunan Asosiasi Studi Asia atau Assosiation of Asian Studies di Columbus, Ohio, pada 13-16 Maret. Konferensi ini dihadiri 3.300 akademisi ilmu sosial yang melakukan studi Asia, baik yang datang dari Amerika Utara maupun dari Asia sendiri.
Selain itu, pada 21 Maret Universitas Wisconsin Madison juga secara khusus mendiskusikannya, menyusul di Universitas Yale pada 5 April.
Acara nobar serentak pada 31 Maret diinisiasi oleh Konsorsium Studi Pascasarjana Kajian Asia Tenggara [The Graduate Education and Training in Southeast Asia Studies, GETSEA].
Chris Hulshoff dari GETSEA yang menjadi ketua panitia acara berkata, peserta di 23 universitas menonton film secara serempak, lalu bergabung dalam diskusi secara daring melalui Zoom yang terpusat di Pusat Studi Asia Tenggara University of Michigan di Ann Arbor.
“Sutradara Dandhy Laksono hadir dari Jakarta dan Cypri Paju Dale hadir langsung di Pusat Studi Asia Tenggara University of Michigan,” katanya kepada Floresa.
Kampus-kampus di Amerika Serikat yang terlibat adalah Harvard University; New York University Wagner; University of California Berkeley; University of California Santa Cruz; University of Wisconsin-Madison dan CUNY City College of New York.
Beberapa kampus lainnya adalah University of Washington Seattle; University of Hawai’i at Manoa; University of Illinois Urbana-Champaign; University of Michigan; Michigan State University; Northern Illinois University; University of North Carolina at Chapel Hill; State University of New York; Buffalo State University; Luther College dan SUNY New Paltz.
Sementara di Kanada, ada University of Toronto; University of Victoria; York University; Bishop’s University Quebec; McGill University; Université Laval dan University of British Columbia.

Diskusi usai nobar, kata Chris membahas isi film, kebijakan energi di Indonesia dan respons pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terhadap gerakan perlawanan warga di lingkar proyek geotermal.
Ia berkata, nobar dan diskusi ‘Barang Panas’ “dapat dikatakan luar biasa sukses” karena “ratusan akademisi dan mahasiswa di 23 universitas menonton film dan berdiskusi langsung dengan para pembuat film.”
“Saya sudah menjadi koordinator acara GETSEA Simulcast selama hampir tiga tahun, dan acara kali ini memiliki jumlah penonton terbanyak dalam catatan kami,” katanya.
“Film ini sangat populer di kalangan akademisi khususnya karena memberikan sudut pandang berbeda yang sangat dibutuhkan dalam pembahasan mengenai energi geotermal yang seringkali tidak memiliki discourse yang memadai,” tambahnya.
Bagi Chris, film ini “membuka wawasan banyak orang, termasuk saya sendiri.”
Chris yang sempat menetap di Jakarta pada 2023-2024 berkata, “sangat jelas bahwa Indonesia harus segera bertransisi dari energi berbasis batubara.”
Geotermal adalah “opsi yang tampaknya gampang karena sepertinya tidak membutuhkan lahan yang luas dan daerah sekitarnya masih hijau.”
Namun, hal itu “melahirkan asumsi bahwa geotermal tidak berdampak negatif terhadap lingkungan, hal yang membuat banyak orang dengan mudah terpengaruh untuk mendukungnya.
“Film ‘Barang Panas’ membantu kita untuk berhenti melihat dari kejauhan dan mengamati dari dekat masalah yang sebenarnya, bahwa pemanfaatan energi geotermal membahayakan kelangsungan hidup masyarakat di sekitar,” kata Chris.
Hanya dalam durasi 90 menit film itu, kata dia, “kita belajar bahwa masalahnya jauh lebih kompleks dari apa yang kita ketahui sebelumnya.”
Chris juga mengapresiasi film itu sebagai “tipe advokasi yang mampu menggeser perdebatan yang ada—durasi yang cepat, jelas, menyeluruh dan menawarkan sudut pandang yang berbeda.”
“Sangat beralasan jika film ini bergema hebat di Amerika Utara, dan saya harap hal serupa juga terjadi di Indonesia,” katanya.
‘Barang Panas’ diproduksi pada 2023 atas kerja sama Ekspedisi Indonesia Baru, Sunspirit for Justice and Peace dan Jaringan Advokasi Tambang.
Film ini telah dipublikasi di kanal YouTube Ekspedisi Indonesia Baru. Versi barunya dengan subtitle Bahasa Inggris dirilis belum lama ini, berjudul Hot Stuff.
Menurut film ini, ada 300 lokasi cadangan geotermal yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia yang umumnya ada di hutan lindung dan dekat pemukiman warga, hal yang kemudian memicu perlawanan.
Salah satu yang banyak disorot dalam film adalah proyek geotermal di Wae Sano dan Poco Leok – keduanya di Flores, pulau yang ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi dengan 21 titik eksplorasi.
Dandhy Dwi Laksono dari Ekspedisi Indonesia Baru berkata, acara ini adalah “apresiasi besar bagi kami” tim produksi film.
“Untuk ukuran film yang dibuat sambil berkeliling mengendarai motor, ini menunjukkan bahwa kekuatan riset dan kolaborasi dapat menutupi kekurangan lain di aspek produksi yang memang diniatkan untuk membangun jejaring advokasi secara visual,” katanya kepada Floresa.
Ia berkata, dengan nobar dan diskusi ini “kami juga senang karena isu transisi energi berkeadilan diperbincangkan, alih-alih merespon film ini dengan komentar, ‘batubara ditolak, geotermal pun ditolak, jadi maunya apa?’”
Di sisi lain, kata Dandhy, acara ini “sekali lagi membuktikan tesis kami bahwa film yang dikemas dengan gaya editorial seperti ‘Barang Panas’ justru lebih banyak memancing diskusi dari multipihak, dibanding gaya advokasi yang kaku.”
Sementara itu, Cypri Paju Dale mengaku bangga film ini bisa didiskusikan secara luas di kalangan akademik internasional.
“Film ini merupakan bagian dari sejumlah film yang diproduksi berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia beberapa tahun terakhir yang menyelidiki kebijakan energi, keterkaitan korporasi dengan kebijakan tersebut, konstelasi politik lokal dan global, serta dampaknya yang merugikan bagi lingkungan dan masyarakat lokal,” katanya,
Ia menambahkan, film ini memberi kontribusi positif terhadap transisi energi yang adil dengan mengangkat apa yang terjadi di lapangan.
Ia berkata, orang-orang yang tinggal di sekitar lokasi proyek-proyek geotermal sebetulnya “berkontribusi paling kecil terhadap krisis iklim yang menjadi alasan transisi energi, namun dipaksa melepaskan ruang hidup mereka.”
Menurutnya, ruang hidup mereka “dipaksa menjadi ‘zona pengorbanan’ atau ‘sacrifice zone’ untuk menyelamatkan planet kita.”
Melihat komunitas ilmiah di Amerika Serikat dan Kanada mendiskusikan film ini secara serius “adalah pengalaman yang sangat mengharukan,” katanya.
Apalagi, kata Cypri, “pada masa-masa gelap seperti sekarang ini, di mana semakin banyak pemimpin politik dan elit ekonomi, di Indonesia dan di Amerika, yang menolak untuk mendengarkan jeritan masyarakat dan planet dan menolak bertindak secara bertanggung jawab.”
“Kita berharap semakin banyak orang yang kritis terhadap transisi energi palsu dan bekerja sama mencari alternatif transisi energi yang berkeadilan,” katanya.
Editor: Ryan Dagur