ReportaseMendalamKasus Kekerasan Meningkat, Lembaga Advokasi di Sikka Desak Pembentukan Peraturan tentang Desa...

Kasus Kekerasan Meningkat, Lembaga Advokasi di Sikka Desak Pembentukan Peraturan tentang Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak

Pemerintah daerah mengaku ada kelemahan koordinasi lintas sektor dalam penanganan kasus

Floresa.co – Salah satu lembaga advokasi di Kabupaten Sikka, NTT mencatat tren peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga April tahun ini yang hampir separuh dari jumlah kasus sepanjang tahun lalu.

Hal ini mendorong Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores atau TRUK-F itu mendesak pemerintah mempercepat Rancangan Peraturan tentang Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak atau DRPPA.

Heni Hungan, aktivis dari TRUK-F berkata peraturan itu akan menjadi  “langkah progresif penanganan kasus kekerasan seksual dalam ranah mitigasi.”

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) meluncurkan DRPPA pada 2021. Fokusnya adalah menciptakan lingkungan desa yang mampu melindungi anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi demi  mewujudkan kesetaraan gender, perlindungan perempuan dan anak serta pemenuhan hak anak di seluruh Indonesia.

Kendati diluncurkan secara nasional, implementasinya di daerah masih bergantung pada adanya peraturan daerah.

Tren Peningkatan Kasus

Menurut data TRUK-F, terdapat 30 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mereka tangani sejak Januari, termasuk sembilan kasus kekerasan seksual. 

“Belum sampai bulan Juni atau dalam kurun waktu belum sampai satu semester untuk perhitungan, tetapi angka kasus sudah melonjak, tiap bulan selalu ada kasus yang ditangani,” tambahnya.

Heni berkata peningkatan drastis angka kasus tersebut “bukan hal yang sepele, tetapi harus menjadi perhatian publik dan pemerintah.”

Jumah kasus tahun ini sudah hampir setengah dari 77 kasus sepanjang 2024, dengan jumlah korban 123 orang. 

Dari jumlah itu, enam di antaranya adalah kasus kekerasan seksual yang menimpa satu perempuan dewasa dan enam anak di bawah umur. 

Mayoritas atau 84 korban berasal dari Kabupaten Sikka, 33 dari Kabupaten Ende dan enam lainnya dari luar dua wilayah itu. 

“Yang lebih memprihatinkan, 73 korban adalah anak-anak, sementara 50 lainnya orang dewasa,” kata Heni Hungan kepada Floresa.

“Hal ini menegaskan bahwa anak-anak masih menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan,” tambahnya.

Heni berkata, dari sisi jumlah korban, ada peningkatan 30,85 persen dari tahun 2023 yang mencatat 94 korban. Mereka  berasal dari wilayah Kabupaten Ende, Sikka dan Lembata. Ia tidak menyebut jumlah kasusnya.

“Peningkatan ini bukan sekadar angka statistik, tetapi sebuah peringatan keras bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terjadi dengan pola yang semakin kompleks.”

Ia berkata, rata-rata pelaku dalam kasus-kasus itu berasal dari lingkaran keluarga terdekat korban, hal yang membuat kekerasan berlangsung tidak hanya sekali ”tetapi bisa beberapa kali bahkan bertahun-tahun.”

“Bukan remaja, tetapi orang dewasa dalam kategori usia tua, yakni 50-an 60-an sampai 70-an (tahun),” katanya.

Dalam catatan Floresa, beberapa pelaku kekerasan seksual di Sikka tahun ini adalah orang tua kandung dan anggota polisi

Korban Tanggung Beban Operasional saat Melapor

Heni menjelaskan, kebanyakan kasus terjadi di wilayah desa, sehingga akses terhadap informasi dan ruang aman dari kekerasan seksual menjadi terbatas.

Korban juga kesulitan “mendapat layanan pengaduan yang baik, konseling, dan kebutuhan untuk mendapat layanan hukum ketika kasusnya di ranah hukum.” 

Selain itu, ia berkata kebijakan anggaran pemerintah daerah tidak berpihak pada korban, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak atau UPTD-PPA Kabupaten Sikka. 

Salah satu contohnya, kata Heni, adalah biaya visum korban yang tidak ditanggung Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan atau BPJS.

“Tahun lalu biaya visum Rp350.000 kita bisa dapat, dan kita menggunakan mekanisme yang dibangun oleh UPTD-PPA. Akhirnya ada sebagian korban yang gratis,” ungkapnya. 

Biaya itu meningkat menjadi Rp800.000 hingga Rp2 juta pada tahun ini, padahal “sudah ada dokter forensik di Rumah Sakit Umum Daerah TC Hillers.”

“Seringkali, akses terhadap kebutuhan visum dengan biaya yang tidak terjangkau membuat kasus pelecehan seksual berakhir pada ruang mediasi, tanpa ada keadilan bagi korban,” katanya.

Sementara itu, Kepala UPTD-PPA, Maria Kristiani ‘Yani’ Yosepha berkata dalam Rapat Koordinasi Penanganan Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak pada 15 April bahwa ada persoalan “koordinasi layanan lintas sektor yang belum dilaksanakan secara maksimal” yang menjadi kendala pelayanan terhadap korban. 

Dalam rapat yang difasilitasi oleh Divisi Perempuan TRUK-F di Aula Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah Sikka itu, Yani mengaku belum ada prosedur operasional standar atau SOP di lapangan, hal yang menyebabkan “pencatatan dan pelaporan kasus belum terintegrasi dengan baik.”

Kendala lainnya, kata dia, adalah dalam pemulihan korban karena belum ada jadwal konseling yang rutin, dampak dari  ketiadaan tenaga “psikologi klinis”. 

Yani juga menyinggung beban pembiayaan visum kepada korban, yang akhirnya “menghambat pengungkapan kasus”. 

Ia pun menegaskan “perlu peran dan penanganan pencegahan mulai dari keluarga, masyarakat dan lintas sektor.”

UPTD-PPA mencatat terdapat 177 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2023, terdiri atas 132 kasus terhadap anak dan 45 kekerasan terhadap perempuan.

Sementara pada 2024 terdapat 139 kasus, terdiri atas 78 kasus kekerasan terhadap anak dan 61 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa.

Terkait data tersebut, Yani menegaskan “perlu peran dan penanganan pencegahan mulai dari keluarga, masyarakat dan lintas sektor.”

Pencegahan Sistemik dari Desa lewat DRPPA

Menurut KPPPA, implementasi DRPPA dilakukan dalam kerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Tujuannya untuk memastikan prinsip-prinsip DRPPA dapat diintegrasikan dalam regulasi dan perencanaan pembangunan desa, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Heni Hungan dari TRUK-F berkata, dalam implementasi DRPPA, pemerintah desa membentuk lembaga Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan Forum Anak.

Dengan adanya lembaga yang terstruktur serta memiliki jejaring kerja lintas sektor, katanya, desa memiliki sistem deteksi dini terhadap potensi kekerasan, termasuk kekerasan seksual. 

“Lembaga ini dapat menjadi ruang aman dan nyaman bagi korban kekerasan seksual. Warga bisa melapor secara informal ke kader PATBM tanpa takut dipermalukan,” katanya.

Lembaga ini juga dapat menyediakan “jalur hukum dan sanksi sosial di tingkat desa,” karena setiap desa yang menerapkannya akan membentuk peraturan desa yang memuat “larangan dan sanksi sosial terhadap pelaku.”

“Hal ini akan membuka ruang partisipasi publik serta membuat pelaku tidak bebas bergerak dan tidak bisa sembunyi di balik budaya diam,” kata Heni. 

Heni menyayangkan belum adanya implementasi DRPPA di Kabupaten Sikka.

Padahal, selain dalam ranah mitigasi, kata dia, program ini juga membantu penanganan korban dalam ranah mobilisasi dan kebutuhan lainnya. 

Dari segi penganggaran, lanjutnya, dana desa bisa menjadi salah satu sumber untuk memenuhi kebutuhan korban.

Kendati petunjuk teknis penggunaan dana desa tak mengatur anggaran penanganan kekerasan seksual, Heni mengusulkan pemerintah desa “bersiasat”, seperti menggunakan anggaran sosial kebencanaan.

Ia berkata, TRUK-F telah “membangun dialog” dengan beberapa dinas terkait di Sikka. Salah satunya dalam lokakarya “Penerapan Dana Desa dalam Pembentukan dan Penyelenggaraan Desa Ramah Perempuan dan Perlindungan Anak” pada 25-27 Maret 2025.

Kegiatan ini “bertujuan mengadvokasi implementasi dana desa yang berpihak pada kelompok marginal”, dengan peserta para pemimpin yang mewakili 45 desa, sementara pembicara adalah, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kepala Dinas DP2KBP3A. 

“Ini menjadi langkah awal, supaya membuka dialog bersama semua pihak bahwa ada alarm bahaya yang harus segera diwaspadai,” kata Heni.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA