Floresa.co – Polisi yang dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap dua anak di bawah umur di Sikka, NTT dicopot dari jabatannya, sementara penyelidikan lanjutan dua kasus itu dinilai aktivis kemanusiaan tidak berpihak pada korban.
Aipda Ihwanudin Ibrahim, eks Kepala Pos Polisi di salah satu Polsek di Sikka, dilaporkan melakukan kekerasan seksual secara langsung dan melalui video call terhadap dua siswi SMP pada 2024.
Ia kini ditahan di Polres sambil menanti waktu sidang kode etik.
Korban pertama, yang berusia 15 tahun dilecehkan pada Agustus 2024.
Kepala Seksi Humas Polres Sikka, Iptu Yermi Soludale berkata, dalam aksinya Irwanudin “melakukan video call dan menunjukkan alat kelaminnya” kepada korban.
Selain itu, katanya sebagaimana dilaporkan Tempo.co, pelaku juga mengajak korban berhubungan badan.
Sementara korban kedua, kata Yermi, juga berusia 15 tahun, dilecehkan Ihwanudin pada November 2024.
Ia mengklaim, polisi kesulitan memproses kasus kedua ini karena korban sebagai saksi kunci telah meninggal.
Korban Bakar Diri di Rumah
Heni Hungan, staf Tim Relawan untuk Kemanusiaan-Flores [TRUK-F], lembaga Gereja Katolik yang mengadvokasi kasus-kasus ini berkata, korban dalam kasus kedua meninggal karena membakar diri.
Peristiwa yang terjadi pada 23 November 2024 itu, katanya kepada Floresa pada 3 April bermula saat Ihwanudin bersama isterinya, Norma, mendatangi rumah kakek dan nenek korban sekitar pukul 21.00 wita.
Mereka bermaksud meminta agar kakek dan nenek itu menasehati korban agar “tidak lagi main ke rumah” pelaku.
“Pelaku menyampaikan kepada kakek dan nenek korban; ‘Bapak, tolong ajar [korban], sepertinya dia birahi’. Pelaku juga menyampaikan bahwa dia pernah menunjukan kemaluannya kepada korban, mengatakan ‘kalau kau mau lihat, kau lihat sendiri’, lalu menyuruh korban untuk menyentuh kemaluannya,” ungkap Heni.
Sementara itu, lanjutnya, Norma menjelaskan kepada kakek dan nenek itu bahwa korban pernah melaporkan perbuatan suaminya kepadanya.
“Kepada korban, Norma berkata ‘kalau tidak punya bukti dan saksi, bisa dipenjara dengan dugaan pencemaran nama baik’,” lanjut Heni.
Saat kakek dan nenek korban bersama pelaku dan istrinya membahas persoalan tersebut, tiba-tiba korban berteriak histeris dari dapur.
Mereka sontak bergegas menuju dapur, melihat tubuh korban sudah terbakar.
Korban kemudian dilarikan ke puskesmas terdekat, lalu dirujuk ke Rumah Sakit Umum TC Hillers, Maumere.
Pada 24 November, dokter menyarankan korban untuk operasi. Namun, ia akhirnya meninggal pada 30 November.
Heni berkata, keluarga korban sudah mengadukan kasus itu ke Kantor Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak [UPTD PPA] Kabupaten Sikka pada 5 Desember.
Pada 10 Desember, polisi dari Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam] Polres Sikka menghubungi keluarga korban untuk bertemu dan meminta keterangan. Setelah itu keluarga tidak lagi menerima kabar dari polisi.
Upaya pelaporan kembali kasus itu dilakukan keluarga pada 12 Maret.
Saat itu, kata dia, korban lainnya yang mengaku dilecehkan pada Agustus 2024 turut melapor.
Korban itu menyertakan bukti-bukti berupa tangkapan layar video call antara korban dengan pelaku.
Di dalam tangkapan layar itu, Ihwanudin menunjukkan alat kelaminya serta menjanjikan uang satu juta rupiah jika korban mau berhubungan badan dengannya.
Keterangan dan bukti-bukti itu ditolak polisi, kata Heni, dan meminta agar korban mendiskusikan terlebih dahulu laporan itu dengan orang tuanya.
Kendala Penyelidikan
Terkait kasus korban yang bakar diri, Kepala Seksi Humas Polres Sikka, Yermi Soludale berkata, kendala penanganan selain karena korban telah meninggal, adalah tidak adanya rekaman atau bukti lain yang dapat menguatkan salah satu dari dua versi kesaksian antara pelaku dan keluarga korban.
Ia menjelaskan Unit Propam masih berusaha mengumpulkan bukti tambahan, termasuk mencari saksi lain yang mengetahui peristiwa sebelum dan sesudah korban membakar diri.
Sementara itu, Kapolres Sikka, AKB Mohammad Mukhson berkata, penyelidikan terkendala karena “saksi tidak ada dan anak ini mengalami keterbelakangan mental.”
“Kalau ada saksi dan barang bukti, kita akan proses. Kita tidak lindungi anggota, tapi memproses sebuah masalah, kita harus betul-betul mendudukkan kasus dengan benar,” katanya.
Sementara untuk korban pelecehan pada Agustus 2024, Mukhson menyalahkan korban.
“Polisi tidak bisa memproses dugaan pidana kalau dari pihak korban tidak komunikatif,” katanya.
Kritik Klaim dan Cara Kerja Polisi
Heni Hungan dari TRUK-F mempersoalkan beberapa klaim polisi juga pola penanganan kasus ini.
Salah satunya adalah soal pernyataan Mukhson yang menyalahkan korban kasus pada Agustus 2024.
Padahal, kata dia, korban telah melapor dan membawa serta bukti-bukti pada 12 Maret. Namun, korban disuruh pulang ke rumah.
Ia menilai memulangkan korban dengan alasan tidak didampingi orangtua membuka potensi represi terhadapnya dan seharusnya “ada analisis terhadap kerentanan korban”.
“Perlu dilihat status korban dan pelaku yang faktanya tinggal bertetangga. Ada struktur sosial yang juga perlu dianalisis. Pelaku memiliki modal kuasa, jabatan dan sosial yang menjadi potensi represi,” katanya.
Selain itu, kata Heni, pada 12 Maret malam, ada lima orang polisi mendatangi rumahnya. Mereka meminta keterangan dan bukti tangkapan layar percakapan yang disimpan korban.
“Apa maksud dari kedatangan lima anggota polisi di malam hari untuk menemui korban. Apakah itu sesuai prosedur?,” kata Heni.
Kehadiran lima polisi itu, lanjutnya, bisa dianggap sebagai tindakan yang melanggar hak privasi dan menimbulkan rasa takut.
Di sisi lain, Heni juga mempersoalkan polisi yang hanya memproses laporan melalui jalur etik oleh Divisi Propam.
Kasus pencabulan yang dilakukan oleh anggota polisi, jelasnya, seharusnya tidak ditangani oleh Propam yang hanya berwenang menangani pelanggaran kode etik dan disiplin anggota Polri.
“Laporan seharusnya diterima lalu dikonsultasikan dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Mengapa langsung diarahkan ke Propam?”
Floresa beberapa kali menghubungi Kepala Seksi Humas Polres Sikka melalui pesan Whatsapp pada 1 dan 2 April 2025.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan.
Sementara itu, Kepala UPTD PPA Kabupaten Sikka, Maria Kristiani Yosepha berkata ini adalah pelecehan seksual yang pertama dilakukan polisi di Sikka.
“Dengan relasi kuasa, pelaku sudah punya alat untuk mengintimidasi korban secara tidak langsung dan itu yang membuat korban takut untuk berbicara”, katanya kepada Floresa pada 1 April.
Editor: Anno Susabun