Floresa.co – Rektor Universitas Nusa Cendana [Undana] Kupang, universitas negeri terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur, menyatakan setuju dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi [MK] baru-baru ini yang membolehkan kampanye politik di lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi.
Maxs Sanam, rektor universitas yang memiliki 33 ribu mahasiswa itu mengatakan dalam wawancara dengan Floresa bahwa ia “menyambut positif putusan MK” itu sebagai “suatu kesempatan yang baik untuk pembelajaran politik.”
Menurutnya, “kampus, mahasiswa juga butuh pembelajaran politik.”
“Mereka ini juga pelaku politik. Mereka menentukan pilihannya kepada orang yang dianggap pantas untuk mewakili mereka,” katanya.
Ia mengatakan, tentu bukan mahasiswa saja yang membutuhkan pembelajaran politik itu, tetapi kita insan kampus lainnya.
Kampanye di lingkungan kampus, kata dia, juga membawa keuntungan bagi politisi atau calon-calon yang bertarung.
Kampus, lanjutnya, bisa menjadi wahana untuk melakukan kajian-kajian atau ujian terhadap berbagai ide atau program yang diusung oleh politisi.
Dengan keterlibatan kampus menguji gagasan mereka, maka, harapannya, masyarakat tidak lagi menenentukan pilihan berdasarkan pertimbangan politik kekeluargaan, tetapi dengan pertimbangan rasional.
“Basisnya harus pada gagasan dan kompetensi serta rekam jejak calon yang bersangkutan,” lanjutnya.
Kendati demikian, katanya, tantangannya adalah kampus juga memiliki agenda-agenda yang cukup padat.
Ada perkuliahan, ujian bahkan seminar-seminar akademik yang menyita waktu para mahasiswa. Sementara di satu sisi, lanjutnya, kampus juga diharapkan berlaku adil.
“Enggak mungkin kita hanya menerima si A, sementara si B datang kita bilang ‘Oh maaf kita waktunya enggak ada’. Kan bisa dipersepsikan bahwa kita ini memiliki preferensi terhadap individu A atau partai A. Itu yang kita khawatirkan,” katanya.
Maxs pun mengharapkan adanya ketentuan yang lebih rinci terkait praktik kampanye di kampus ini oleh Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.
Dalam putusan terkait gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum [UU Pemilu], MK memang membolehkan lembaga pendidikan dan fasilitas pemerintah sebagai tempat kampanye.
Dalam putusan yang diumumkan pada 15 Agustus itu, MK mengabulkan sebagian dari uji perkara UU Pemilu yang diajukan oleh Handrey Mantiri, seorang karyawan swasta dan Ong Yenny seorang anggota DPRD DKI Jakarta terhadap pasal 280 ayat (1) huruf h dan penjelasannya.
Pasal itu berbunyi: Pelaksanaan, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Namun, bagian penjelasan huruf h, ada pelonggaran pembatasan dengan memberikan pengecualian, yaitu jika peserta Pemilu hadir tanpa atribut kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.”
Keduanya mempersoalkannya karena menilai ada inkonsistensi yang merugikan hak konstitusional mereka sebagai pemilih dan/atau sebagai calon anggota DPRD DKI Jakarta.
MK menyatakan dalam putusan bahwa bagian penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas.
Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa “tempat ibadah.”
Lantas, pasal itu kini berbunyi: ‘[peserta pemilu dilarang] menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye Pemilu.”
Dengan perubahan itu berarti hanya kampanye di tempat ibadah saja yang dilarang sepenuhnya, tanpa pengecualian.
Sementara kampanye di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan diizinkan, sejauh sudah mendapat izin dari penanggung jawab dan tanpa atribut kampanye.