Floresa.co- Sejumlah isu di Flores telah menjadi dan masih menuntut perhatian publik, mulai dari proyek strategis nasional yang abai terhadap hak warga hingga penanganan kasus dugaan pemerkosaan yang belum mencapai titik terang.
Selama 2023, Floresa memberi perhatian terhadap beberapa isu utama, yang kami rangkum sebagai berikut:
Polemik proyek geotermal
Setidaknya ada empat lokasi yang menjadi titik proyek geotermal di Flores, yakni Wae Sano [Kabupaten Manggarai Barat], Poco Leok [Kabupaten Manggarai], Mataloko [Kabupaten Ngada], dan Sokoria [Kabupaten Ende].
Proyek geotermal di Wae Sano dan Poco Leok adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional bidang energi dan sumber daya mineral, yang dirancang pasca penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi [Geothermal Island] melalui SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017.
Proyek geothermal Mataloko mulai dikerjakan pada 1998. Namun, proyek itu gagal berulang kali, di mana berbagai lubang bekas pengeboran mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga. Kini, proyek di atas lahan seluas 210.700 meter persegi itu dilanjutkan, dengan target menghasilkan listrik pada 2024.
PLTP Sokoria mulai dikembangkan sejak 2016. Unit 1 PLTP Sokoria terealisasi pada Maret 2022 untuk energi berkapasitas 5 MW dan unit 2 pada pada 28 Juli 2023, dengan kapasitas 3 MW.
Di sejumlah lokasi ini, warga masih terus menyuarakan protes karena hak-hak mereka yang diabaikan pemerintah.
Pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata super premium Labuan Bajo yang mengabaikan hak warga
Laporan Floresa pada 14 Maret menyebutkan Presiden Joko Widodo meresmikan jalan Labuan Bajo-Golo Mori di tengah persoalan terkait tidak adanya ganti rugi lahan dan rumah warga yang digusur dalam proses pembangunan jalan itu. Hingga kini, warga terus menuntut ganti rugi itu kepada pemerintah.
Sementara itu warga di Labuan Bajo yang tergabung dalam Komunitas Racang Buka terus melayangkan kritik terhadap pemerintah karena menyerahkan kawasan seluas 400 hektar di Hutan Bowosie kepada Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Flores [BPO-LBF] untuk pembangunan kawasan bisnis pariwisata.
BPO-LBF, yang sejak 2021 statusnya menjadi Badan Layanan Umum, telah menamai kawasan itu sebagai Parapuar dan sedang memasarkannya kepada para investor.
Pada Oktober lalu, BPO-LBF sudah mengantongi Sertifikat Hak Pakai Lahan [HPL] dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang melalui SK MenATR/BPN Nomor 110 untuk wilayah seluas 129,608 hektare.
Menurut warga dan aktivis setempat, sebagian dari wilayah itu sudah dikuasai oleh mereka bepuluh-puluh tahun. Mereka juga khwatir proyek itu memicu krisis ekologi untuk Labuan Bajo.
Pengerjaan proyek infrastruktur di pedalaman yang asal-asalan
Sejumlah warga di pedalaman Flores mempersoalkan sejumlah proyek infrastruktur, yang umumnya dikerjakan asal-asalan.
Warga di Kampung Ojang, Desa Lante, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai misalnya membongkar susunan batu pendukung lapis penetrasi pada sebuah ruas jalan karena menilai pengerjaannya oleh kontraktor asal jadi.
Pengerjaan hotmix pada segmen Lengko Ajang-Rana Kulan-Pota di Manggarai Timur sudah mulai rusak sepekan usai dikerjakan.
Sementara proyek peningkatan struktur jalan segmen Golo Gereng-Beamese di Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai mulai rusak tiga pekan usai dikerjakan.
Kesenjangan pembangunan di Manggarai Barat
Sementara Labuan Bajo, ibukota kabupaten menjadi sasaran berbagai proyek pembangunan, situasi berbeda ditemukan di wilayah lain di Manggarai Barat.
Dusun Angkor, Desa Matawae, Kecamatan Sano Nggoang merupakan salah satu daerah yang terlupakan dari pembangunan. Padahal, warga sudah lama merindukan pembangunan jalan. Usulan kepada pemerintah sudah disampaikan berkali-kali saat rapat di berbagai tingkatan, baik di desa maupun kecamatan.
Kondisi jalan kabupaten yang menghubungkan tiga kampung, Kotok – Ba’ang – Nggolo, Desa Golo Ndari, Kecamatan Welak jugamemprihatinkan. Sejak dibuat telford beberapa tahun silam, jalan itu tidak diperhatikan lagi oleh pemerintah, “belum ditingkatkan menjadi lapisan penetrasi.”
Jalan kabupaten yang menghubungkan Kampung Dange, Teko dan Mbatak di Desa Mbuit, Kecamatan Boleng juga bertahun-tahun ditelantarkan pemerintah daerah. Padahal, jalan itu merupakan jalur menuju ke sumber pangan dan berperan penting bagi perekonomian mereka karena “persawahan paling besar di Terang itu diakses lewat jalan rusak itu.”
Situasi di beberapa desa ini kontras dengan wajah kota Labuan Bajo yang dalam beberapa tahun terakhir selalu dikunjungi Presiden Joko Widodo bersama para pejabat lainnya dan telah menjadi sasaran berbagai proyek pembangunan, dengan kucuran dana triliunan rupiah.
Gotong royong, cara warga merespons “ketidakpedulian” pemerintah untuk infrastruktur dasar
Sementara pemerintah tidak kunjung memberi perhatian, warga akhirnya memilih gotong royong.
Pada 4 Desember, Floresa melaporkan aksi warga di Dusun Golo Karot, Kelurahan Tangge, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat bergotong royong memperbaiki deker yang nyaris jebol akibat luapan air hujan.
Sementara pada 8 Desember, Floresa melaporkan aksi warga Dusun Lujang, Desa Pong Lengor, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, gotong royong memperbaiki jalan rusak.
Sementara pada 11 Desember, Floresa melaporkan aksi warga Desa Pota Wangka, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat yang memperbaiki jembatan yang bertahun-tahun rusak.Jembatan yang terbuat dari bambu dengan panjang sekitar delapan meter itu menghubungkan Kampung Wangkung dan Golo Galang di Dusun Wae Baling, yang dipisahkan oleh sebuah kali. Jembatan tersebut merupakan satu-satunya akses menuju sejumlah sarana publik yang vital, termasuk satu gereja dan dua sekolah.
Sebelumnya pada 22 dan 25 November, warga Dusun Ba’ang, Desa Golo Ndari, Kecamatan Welak, Kabupaten bahu-membahu membangun jalan yang selama bertahun-tahun tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah.
Kriminalisasi warga adat yang jual tanah kepada pemerintah
Gregorius Jeramu, warga asal Kampung Kembur, Kabupaten Manggarai Timur menjadi tersangka, hingga divonis bersalah karena menjual tanahnya yang belum bersertifikat untuk pembangunan terminal.
Pada 29 Maret 2023, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang memvonis Gregorius 2,6 tahun penjara, denda Rp100 juta subsider kurungan tiga bulan, dan diwajibkan mengembalikan kerugian negara Rp402 juta, senilai harga tanah.
Hukuman Gregorius bertambah menjadi 4 tahun saat jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang. Keluarga dan pengacara Gregorius kemudian mengajukan kasasi yang kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Dalam putusan Nomor 5047 K/Pid.Sus/2023 yang diumumkan pada 16 November, Mahkamah Agung menyatakan Gregorius “tidak terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan penuntut umum” dan memerintahkan agar ia dikeluarkan dari tahanan.
Ia meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan Kupang pada Jumat siang, 8 Desember, tempat dia mendekam selama beberapa bulan terakhir, setelah sebelumnya ditahan di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.
Upaya membungkam warga yang kritis terhadap proyek pemerintah
Pada Jumat, 6 Oktober tujuh warga Poco Leok menjalani pemeriksaan karena dituding Polres Manggarai membekingi aksi warga menolak proyek geotermal.
Dalam surat panggilan, polisi menjelaskan melakukan penyelidikan terkait dugaan tindak pidana “yang dengan sengaja menghalangi kegiatan pengusahaan pembangunan panas bumi dan/atau melakukan kekerasan terhadap pejabat. Ketujuh warga, berdasarkan surat itu, berpeluang dijerat dengan UU Cipta Kerja dan atau Pasal 212 KUHP.
Pemeriksaan ini, menurut kelompok advokasi, adalah bentuk upaya pembungkaman suara warga yang sedang berjuang untuk hidup mereka.
Intimidasi terhadap jurnalis
Pada Maret 2023, jurnalis Floresa di Labuan Bajo mendapat intimidasi usai menulis laporan berjudul “Presiden Jokowi Resmikan Jalan di Labuan Bajo yang Dibangun Tanpa Ganti Rugi untuk Warga”. Jurnalis itu mendapat intimidasi dari anggota TNI yang memaksa untuk bertemu di rumah atau kantor redaksi, hingga terjadi peretasan akun WhatsApp jurnalis dan situs Floresa.
Sementara pada 20 April, Floresa melaporkan intimidasi yang dilakukan oleh Kapolres Nagekeo terhadap Patrik Meo Jawa, jurnalis Tribunflores.com.Intimidasi itu terungkap setelah beredarnya tangkapan layar isi obrolan di sebuah Grup WhatsApp beranggotakan polisi dan jurnalis di Kabupaten Nagekeo. Dalam obrolan itu ada ancaman kekerasan terhadap Patrik.
Merespons beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis di NTT, Aliansi Jurnalis Independen [AJI] telah menginisiasi pembentukan Forum Koordinasi Keselamatan Jurnalis yang melibatkan organisasi masyarakat sipil.
Kasus pemerkosaan yang pengusutannya dihentikan polisi
Kasus dugaan pemerkosaan yang dialami seorang wisatawan di Labuan Bajo ramai dibicarakan setelah korban mengisahkan kasusnya yang terjadi pada 2020 itu lewat X [Twitter].
Ia mengaku kecewa dengan Polres Manggarai Barat yang tidak bisa menindaklanjuti proses hukum kasus itu. Hingga kini, korban dan kuasa hukumnya terus memperjuangkan keadilan dan terus menuntut polisi membuka kembali kasus ini.
Kekerasan yang masih menjadi persoalan serius di lembaga pendidikan
Pada 15 November, Floresa melaporkan aksi Romo Agustinus Hadun, Kepala SMA Katolik St. Familia yang memukul GRV, seorang siswa kelas XII. Tidak hanya memukul, Agustinus juga mengeluarkan RGV dari sekolah. Peristiwa itu terjadi pada Sabtu, 4 November.
Kasus itu telah diselesaikan dengan cara mediasi antara keluarga GRV dan kepala sekolah. Kini, GRV melanjutkan pendidikan SMA-nya yang tinggal beberapa bulan lagi di SMA Negeri 2 Lembor.
Sebelumnya, pada Agustus 2023, guru di SMK Swasta Bina Karya Larantuka menyiksa muridnya dengan mencelupkan tangan ke dalam air mendidih. Sejumlah foto yang memperlihatkan tangan siswa itu melepuh dan bernanah telah beredar luas di media sosial, seperti Facebook. Pelakunya adalah Bruder Nelson, seorang biarawan Katolik yang merupakan pendidik di sekolah itu.