Floresa.co – Praktisi hukum menilai seorang istri yang memukul suaminya hingga meninggal di Manggarai Timur mestinya bebas dari jeratan pidana lantaran “pengaruh daya paksa [overmacht]” dan “membela diri” yang melandasi tindakannya.
“Ia [sang istri] dalam keadaan ‘terjepit.’ Tak bisa lari. Bila tak memukul suaminya, ia yang meninggal,” kata Siprianus Edi Hardum, pakar hukum asal Reok, Kabupaten Manggarai.
Pernyataan Edi menanggapi informasi kronologi oleh Kepolisian Resor [Polres] Manggarai Timur yang diterima Floresa pada 13 Desember.
Dalam kronologi, Polres Manggarai Timur menyebut sang istri sebagai pelaku sementara suaminya adalah korban.
Edi menilai “polisi memposisikan sang istri sebagai pelaku karena telah membuat suaminya meninggal.”
Polres menyatakan Yohanes Burfolmon meninggal pada 12 Desember malam setelah dipukul istrinya, Marta Semung.
Peristiwa terjadi di Kampung Golontoung, Kelurahan Rana Loba di Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur.
Perempuan 38 tahun itu tak secara tiba-tiba menganiaya suaminya yang berusia 47 tahun.
Berdasarkan keterangan Polres, penganiayaan terjadi sesudah Jon, panggilan Yohanes, pulang dalam kondisi mabuk lalu “memaki dan menendang” Marta yang sedang memasak di dapur.
Merespons tindakan Jon yang terjadi pada sekitar pukul 19.30 Wita itu, Marta memukul kakinya, sehingga terjatuh.
Jon yang mampu berdiri kembali kemudian mengambil sebongkah kayu menyala di tungku, berancang-ancang menyerang Marta.
Mengetahui sebongkah kayu panas sedang diarahkan kepadanya, Marta kembali memukul Jon pada bagian kepalanya, kali ini menggunakan sebatang kayu yang tergeletak di dekat tungku.
Pukulan kedua Marta, menurut keterangan Polres, mengakibatkan Jon “mengalami luka parah pada kepala bagian belakang.”
Jon jatuh tak sadarkan diri bersamaan darah mengalir keluar dari lubang telinganya.
Melihat kondisi Jon, Marta bergegas pergi ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu [SPKT] Polres Manggarai Timur. Ia membawa serta sebatang kayu yang digunakan untuk memukul suaminya.
Sesudah mendengar pengakuan Marta, petugas jaga SPKT segera mendatangi rumah keduanya.
Di pekarangan depan rumah, mereka mendapati Jon tertelungkup tidak sadarkan diri dengan tubuh bersimbah darah.
Jon lalu dibawa ke RSUD Manggarai Timur di Lehong.
“Penanganan dan pertolongan medis telah dilakukan secara maksimal, tetapi korban tidak bisa diselamatkan karena mengalami luka parah pada bagian kepalanya,” tulis Polres dalam keterangan kepada media.
Jon meninggal pada pukul 23.55 Wita di Unit Gawat Darurat RSUD Manggarai Timur.
“Tak Punya Niat Jahat”
Selagi kasusnya memasuki tahap pemeriksaan, Siprianus Edi Hardum menilai polisi perlu mempertimbangkan “alasan pembenar dan pemaaf dalam hukum pidana” sebagai “penghapus pidana.”
Dalam kasus tersebut, kata Edi, yang menjadi alasan pembenar ialah sebongkah kayu menyala diayunkan Jon ke arah tubuhnya, yang memaksa Marta untuk membela diri.
Sementara alasan pemaaf dalam peristiwa itu adalah “Marta merasa nyawanya terancam.”
“Polisi,” kata Edi, “bisa saja menghukum Marta. Tetapi mesti mempertimbangkan alasan pemaafnya.”
Edi meminta Polres tidak menjerat Marta dengan pasal penganiayaan, misalnya Pasal 351 ayat [2] dan Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP].
Sebaliknya, ia mendesak penanganan kasus tersebut mengacu pada Pasal 48 KUHP, yang intinya berbunyi “seseorang yang melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.”
Selain itu, kata Edi, pengusutan juga dapat merujuk pada Pasal 49 KUHP yang intinya mengatur “seseorang tidak dapat dipidana jika melakukan pembelaan diri atau pembelaan terpaksa untuk diri sendiri, orang lain, kehormatan, atau harta benda.”
“Marta tak punya niat jahat,” katanya, “kalaupun polisi mau menghukum, tolong hukum seringan-ringannya.”
Editor: Petrus Dabu