Polemik Pantai Pede: Panggung Sandiwara Politik Dula dan Hamsi

Floresa.co – Dalam polemik Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), ada dua sosok yang ikut memainkan peran penting: Bupati Agustinus Ch Dulla dan Ketua DPRD Mateus Hamsi.

Peran mereka menentukan, karena diandaikan berdiri di garis depan dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat Mabar, berhadapan dengan arogansi Gubernur NTT Frans Lebu Raya, yang sama sekali abai dengan suara protes warga Mabar.

Namun, gelagat Dula dan Hamsi dalam polemik ini, lebih condong ke adanya upaya menjadikan polemik Pantai Pede, sebagai panggung sandiwara politik.

Pantai Pede dijadikan sebagai instrumen untuk kepentingan politik dan transaksi kepentingan dalam menyambut Pilkada 2015 mendatang.

Ini bukan hipotesis tak berdasar, tetapi berangkat dari fakta sikap mereka dalam kasus ini.

Terkait Hamsi misalnya, bisa dibaca dari pertemuannya dengan Lebu Raya pada Senin (26/1/2015) di Kupang.

Pertemuan ini merupakan realisasi janji Hamsi untuk membawa aspirasi masyarakat Mabar yang menolak pembangunan hotel di Pantai Pede.

Kita patut memberikan apresiasi kepada Hamsi yang sudah menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Namun, jika menyimak inkonsistensi Hamsi dalam polemik Pantai Pede, patut dipertanyakan, apakah benar agenda pertemuan dengan Lebu Raya murni untuk membawa aspirasi masyarakat Mabar.

Pertemuan kedua pejabat publik serentak politisi dari dua partai yang berbeda ini perlu dibaca dari sisi kepentingan politik menjelang Pilkada Mabar.

Dalam kegiatan sosialisasi pada 17 Januari silam, Hamsi yang merupakan Ketua DPP II Partai Golkar, lantang menolak penyerahan Pantai Pede kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM), perusahan milik Setya Novanto, yang nota bene bos Hamsi di Partai Golkar.

Namun, dalam pertemuan dengan Lebu Raya, rupanya Hamsi tidak berkutik, pasrah menerima kekukuhan sikap sang gubernur yang tetap akan memberikan Pantai Pede kepada PT SIM.

Sebagai bakal calon bupati yang akan maju dalam Pilkada 2015 ini, Hamsi pasti tidak mau kehilangan dukungan dari partainya sendiri, di mana Novanto adalah satau orang kuat di partai beringin itu.

Lalu, dalam salah satu wawancara dengan Floresa.co, ia menegaskan sudah memilih bakal calon wakilnya, yaitu Paul Baut, politikus PDI-Perjuangan yang pernah menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009 dari daerah pemilihan Papua.

Saat ini, Paul Baut menjadi anggota dewan pertimbangan DPP PDI-Perjuangan.

Hamsi juga mengakui, rencana ini sudah dikomunikasikan dengan Gubernur Lebu Raya yang berasal dari PDI-Perjuangan bersamaan dengan agenda penyampaian aspirasi masyarakat Mabar yang menolak pembangunan hotel di Pantai Pede.

Artinya, benar yang disampaikan Kris Bedha Somerpes, dari Komunitas Bolo Lobo, sikap penolakan Hamsi dalam acara sosialisasi hanya sebuah strategi untuk menghindari tekanan publik.

Penyampaian aspirasi masyarakat Mabar kepada gubernur hanya sebuah panggung sandiwara tetapi sesungguhnya agenda pertemuan itu adalah sebuah proses komunikasi politik antara Hamsi dan Lebu Raya, pertemuan untuk kepentingan pribadi Hamsi, bukan kepentingan rakyat.

Sandiwara yang sama coba ditampilkan Dula. Dalam hitungan Minggu, Dula berubah-ubah pendirian dalam polemik Pantai Pede.

Sulit untuk menolak opini yang berseliweran di masyarakat bahwa sikap plin-plan ini memiliki benang merah dengan negosiasi dan komunikasi politik yang belum final menjelang Pilkada.

Bukan tidak mungkin, Dula yang berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN), ingin mengandeng kader atau bahkan ingin menyeberang ke PDIP.

Maka, mudah diduga, inkonsenstensi Dula dalam polemik ini merupakan bagian  dari drama negosiasi politik dengan gubernur.

Ketika masalah publik (Pantai Pede), hanya dijadikan sebagai panggung sandiwara politik, pada saat yang sama, kepentingan rakyat diabaikan.

Dan, ketika sudah mereguk betapa nikmatnya kekuasaaan, justru rakyat jadikan “bahan baku” untuk mereproduksi kekuasaannya.

Kekukuhan sikap Lebu Raya untuk membangun hotel di Pantai Pede merupakan salah satu contoh nyata.

PAD yang selalu menjadi dasar argumentasi sang gubernur hanya merupakan panggung sandiwara, sedangkan tujuan sandiwara (kepentingan) ini, hanya Lebu Raya dan Tuhan yang tahu.

Alih-alih memihak rakyat, Dula dan Hamsi, juga ikut berada di posisi musuh rakyat, sebuah pilihan posisi yang menjauhkan mereka dari kriteria pemimpin bermartabat.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini