Darah Petani Colol dan Masa Depan Konflik Tanah di Manggarai

Floresa.co – Di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada tanggal 10 Maret sebelas tahun silam, ada kejadian yang memilukan. Tepat di depan Polres Manggarai, lima orang petani asal Colol, Desa Uluwae (yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Manggarai Timur) ditembak mati. Satunya lagi meninggal di rumah sakit keesokan harinya. Dua puluh delapan yang lainnya terluka parah.

Dari cerita-cerita yang masih terekam, kota Ruteng saat itu menjadi senyap seketika. Lalu-lalang orang di seputaran pertokoan dan lapangan Motang Rua menghilang. Ruteng tiba-tiba berubah menjadi kota “mati.” Semua orang takut. Peluru yang terpeleset bisa mengenai siapa saja. Yang terlihat lain dari biasanya, darah tercecer dimana-mana saat peluru menyobek daging para petani tersebut.

Petani yang berjumlah sekitar 400 itu sebetulnya tidak datang tanpa sebab. Sehari sebelum Rabu berdarah itu, yakni tanggal 9 Maret 2004, tim gabungan dari Pemkab Manggarai menangkap tujuh petani. Mereka dituding melakukan pembabatan liar. Tidak menerima mereka diperlakukan begitu, yang lain mengambil sikap. Bupati Manggarai, Anton Bagul Dagur kala itu menjadi sasaran protes.

Tetapi nasib sial berpihak pada mereka. “Saat kami masih di dalam mobil, kami sudah ditembaki. Ada yang kena kaki dan ada yang langsung melarikan diri,” aku Yakobus, salah seorang warga adat Colol yang ikut mendatangi Polres pada hari Rabu itu, sebagaimana dilansir Bisnis.com (14/11/2014).

Kesaksian demikian hanya sedikit berpengaruh di kemudian hari. Sebab di ranah hukum, intepretasi semakin meluas. Fakta demi fakta dipertimbangkan secara teliti mengingat fakta-fakta hukum konon adalah sumber keadilan. Walaupun orang sebaliknya juga percaya bahwa fakta itu bisa dibuat dan direkayasa. Orang yang mau dianggap “benar” bisa membuat fakta. Tak heran, berbicara tentang fakta, orang bisa memperdebatkan segalanya. Fakta secuil dilihat seratus kepala tak lebih dari sebuah perdebatan panas.

Tetapi patut diingat, penafsiran juga merupakan masalah kekuasaan. Apapun yang diakui sebagai fakta paling solid tetap pada ujung-ujungnya akan bermuara pada siapa yang menafsirkan. Kalaupun seseorang merasa pernyataannya benar, tetap tergantung kepada siapa “wartawan” yang menuliskan berita. Kalaupun semua saksi mengaku kesaksiannya yang paling benar, tetap tergantung kepada “siapa” hakim yang memutuskan perkara.

Tak heran, beberapa tahun kemudian, perkara ini menjadi menguap begitu saja. Semula ada empat perwira dan 19 bintara polisi yang diduga terlibat. Namun sampai dengan tahun 2014 kemarin, mantan Kapolres Manggarai kala itu, AKBP Boni Tompoi yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka, divonis bebas. Alasannya, mereka diserang para petani. Dengan demikian,sampai sekarang, tak satu pun yang pernah ditetapkan jadi tersangka.

Kebalikan yang dialami para petani. Sekitar 15 orang di antara mereka sudah meringkuk di balik jeruji besi.

Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang mau diajukan bertolak dari kenyataan demikian. Siapa yang memutuskan perkara? Pengakuan siapa yang lebih dipercaya? Mengapa pengakuan para petani bisa diabaikan begitu saja? Bagaimana sekarang orang mengenang kejadian itu?

Namun pertanyaan demikian tak banyak artinya. Saat jarak waktu dengan insiden itu semakin jauh, perhatian tiap orang terhadap masalah tersebut makin menguap. Bahkan upaya mengingat lagi kasus itu dinilai sebagai upaya mereka yang “kurang kerjaaan.”

Pada 10 Maret 2015 lalu, tepat 11 tahun pasca kejadian itu keadaan sudah berubah jauh dan orang-orang di Manggarai punya setumpuk masalah bersama yang butuh konsentrasi dan perhatian.

Di kabupaten Manggarai, isu Pilkada mulai bergulir. Sebentar lagi, Lapangan Motang Rua dikerumuni orang banyak. Gegap gempita pesta demokrasi bakalan seru. Sebab pertarungan kekuasaan tak mungkin sepi.

Kematian orang-orang itu lantas tenggelam dengan sendirinya saat riuh politik Pilkada semakin menggema.

Lalu boleh dibilang, kematian enam petani kopi yang ditembak itu seakan tak terlalu istimewa. Kematian mereka seolah hanya dipandang setara dengan kematian orang yang kena musibah bencana alam dan sakit. Bahkan kematian mereka terlampau istimewa kalau mungkin disetarakan dengan kematian para wartawan media Charlie Hebdo di Perancis baru-baru ini.

Nah, bukankah kematian petani kopi yang merasa dikakangi oleh kekuasaan negara itu sesuatu yang sebenarnya berbeda dari kematian, misalnya karena usia tua dan musibah bencana alam? Bukankah kematian para petani karena masalah tanah itu punya arti penting dalam masyarakat Manggarai?

Perkara tanah di Manggarai sebetulnya tak boleh dianggap enteng. Beberapa fakta yang diperlihatkan sosiolog, Robert M.Z Lawang sangat perlu dicermati. Dalam buku Konflik Tanah di Manggarai, Flores Barat, ada banyak pertanyaan yang ia ajukan, misalnya mengapa begitu banyak konflik tanah di Manggarai? Mengapa konflik tanah harus meminta korban yang begitu besar? Apa arti nyawa bagi orang Manggarai? Apakah tanah pantas dibayar dengan nyawa? Dan lain sebagainya.

Beberapa pertanyaan tersebut menggambarkan kompleksnya masalah tanah di Manggarai. Saking kompleksnya persoalan tanah, masalah tanah tak cukup diselesaikan di ranah hukum. Apalagi hukum itu sendiri mengandung kontroversi internal. Hukum bisa menjadi sumber keadilan,sebaliknya juga memenuhi prosedur hukum belum tentu keadilan tercapai. Hukum yang tersandera kepentingan pihak-pihak tertentu amat rentan untuk menguburkan prinsip keadilan. Maka meskipun selesai secara hukum, masalah tetap terbengkelai, tak terjamah dengan baik.

Lebih penting dari sekadar usaha untuk melampaui diskursus hukum itu, tentu masalah tanah sangat relevan dibahas karena memperhatikan kenyataan saat ini. Bahwasannya seiring pertumbuhan penduduk dan perkembangan wisata yang kian mengglobal, tanah menjadi sumber pengisi pundi-pundi keuangan yang paling manjur. Di Manggarai Barat, pintu parawisata di Flores, tanah sudah banyak dijual kepada orang asing.

Kenyataan demikian tentu saja memperihatinkan. Bisa dipastikan, masalah tanah menjadi semakin rumit. Potensi konflik semakin besar ke depan. Cukup tak nyaman untuk mengatakan bahwa “ enam para petani” yang lain akan ada lagi dikemudian hari, entah dalam model konfliknya macam apa, kita belum tahu. Tetapi yang jelas, masalah tanah di Manggarai telah menambah satu faktor lagi, yakni faktor ekonomi.

Padahal, sebelumnya masalah tanah bukan karena alasan ekonomi. Sekitar tahun 1930-an sampai tahun 1950-an konflik tanah sudah marak di Manggarai. Tentu alasannya tidak mungkin dari segi ekonomi mengingat jumlah penduduk masih kurang dan tanah masih luas. Jumlah penduduk pada tahun 1950-an berjumlah sekitar 193.054 jiwa. Kepadatan penduduk per kilometer persegi sekitar 16 jiwa. Dengan jumlah demikian, kemungkinan untuk konflik tanah sangat kecil.

Ketika di satu pihak persoalan tanah pada masa lalu tak terselesaikan dengan baik sementara di lain pihak potensi konflik tanah semakin meninggi di masa yang akan mendatang, di situlah kita perlu berhati-hati.

Tanah Manggarai (dalam kasus Colol) pernah menjadi panas dan tak pernah didinginkan melalui upaya rekonsiliasi. Inilah pekerjaan rumah bagi masyarakat Manggarai. Karena bisa jadi dendam dan kebencian masih terpelihara di hati sebagian orang, ketika orang lain masih sibuk dengan pesta Pilkada dan peristiwa Rabu berdarah itu tak lagi dianggap sebagai catatan sejarah penting, tidak saja bagi konteks 11 tahun yang lalu, tetapi juga untuk konteks sekarang dan di masa depan.

spot_img

Artikel Terkini