Dua Jam dengan Kupu-kupu Malam di Borong

Borong, Floresa.co –  Rapat paripurna Laporan Kerja Pertanggungjawaban (LKPJ) Penggunaan Anggaran Pemerintah Daerah  Kabupaten Manggarai Timur, Senin (27/4/2015) lalu, baru selesai pukul 20.15 Wita.

Rapat itu melibatkan anggota DPRD bersama  Bupati Yoseph Tote dan pimpinan SKPD lainnya.

Usai meliput rapat itu, dengan sepeda motor kesayangan, Revo, yang tidak berplat, saya berangkat dari kantor DPRD Matim.

Tujuan saya: Pasar Inpres Borong.

Malam itu, saya memang sengaja datang ke sana, untuk mengecek kebenaran informasi dari seorang tukang ojek sebelumnya yang biasa mangkal di pasar.

Kata dia, ada tempat kumpul kupu-kupu malam di area pasar itu.

Di pasar itu, saya mencoba berputar, mengamati kondisi sekitar. Empat kali mengelilingi pasar, namun saya tidak juga menemukan kupu-kupu malam.

Pukul 20.44 Wita, saya memutuskan pulang ke rumah. Malam itu, tujuan saya gagal.

Didorong rasa penasaran yang lumayan, Rabu kemarin, (29/4/2015), saya menyempatkan waktu mengunjungi lagi pasar itu.

Pukul 19.00 Wita, saya kembali mampir ke pasar yang terletak di ibukota Matim itu.

Berbeda dari hari sebelumnya, saya tak memilih untuk mengelilingi pasar lagi, tetapi duduk di satu lokasi di pasar itu, yang disebut-sebut jadi area mangkal kupu-kupu malam.

Saat itu, jam di HP menunjukan pukul 20.10 Wita, ketika tiba-tiba, seorang ibu datang mendekat.

“Ojek?” tanya ibu itu.

Saya segera menyahut, “Mau kemana bu?”

“Saya ingin kembali ke rumah,” jawabnya.

Melihat penampilannya, saya spontan menduga, ini pasti kupu-kupu malam.

Saya pun menerima tawaran ibu itu.

Namun, saya memberinya tawaran lain, “Bu, sebelum saya antar, kita makan malam dulu, saya yang traktir.”

Dan, ia setuju.

Kami pun  bergeser dari pasar menuju Warung Padang yang agak sepi pengunjungnya.

“Kamu orang baru ya,” kata ibu berinisial M itu. “Ia,” jawabku di tengah perjalanan.

Sepanjang perjalanan, saya lebih banyak memilih untuk diam, mencari akal bagaimana caranya agar ibu M bercerita tentang kehidupannya.

Setibanya di warung, saya memilih duduk di meja yang terletak di sudut rumah makan itu, biar orang-orang di sekitar tidak mendengar pembicaraan kami.

Nasi dengan lauk ikan goreng dan sayur daun singkong jadi menu kami berdua.

Rumah makan itu tampak sepi. Hanya ada pelayan warung yang sedang asyik nonton televisi.

Saya pun mulai membuka diskusi.

“Dimana suami ibu? Kenapa dia tidak datang menjemput?”.

Namun, tidak ada satu katapun keluar dari mulut ibu M.

Dalam benak, saya kian sadar, target saya sudah benar, bahwa M adalah kupu-kupu malam yang biasa mangkal di pasar.

Saya memilih untuk tidak bertanya lagi, biarkan kami menikmati makan malam.

Selesai makan, saya pun menghantar Ibu M pulang.

“Bu, saya sebenarnya bukan tukang ojek. Tadi di pasar saya mau mencari tempat kumpulnya kupu-kupu malam.”

Saya memilih berkata jujur di tengah perjalanan.

Tiba-tiba ia merespon. “Berapa uang kamu?”

“Lima puluh ribu,” jawab saya.“Tidak cukup uang tersebut,” katanya ketus.

“Kami biasa tarif Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Kalau orang baru biasanya Rp 300.000 sampai Rp 350.000. Kami biasa mangkal siang hari, malam kami tidak melayani laki-laki hidung belang,” jelas ibu 50 tahun itu.

Saya berusaha memperlambat laju motor, agar bisa lebih lama mengobrol.

“Kami tidak memiliki bos atau mucikari. Tamu kami adalah orang yang biasa menjadi langganan setiap hari. Kami bisa mengetahui kalau ada orang baru,” katanya.

Ia mengakui, di Pasar Inpres, memang ada dua tempat mangkal. Tempat yang satu ada mucikarinya, di mana mereka punya kewajiban membayar ke mucikari yang biasa mereka panggil bos.

“Kadang teman-teman bos mereka yang menjadi tamu mereka,” katanya.

Ia menjelaskan, kupu-kupu malam di pasar itu, semua orang Manggarai.

“Tidak ada orang luar,” katanya.

Ia menjelaskan kadang ada tamu yang membawa mereka ke hotel-hotel di sekitar.

“Kalau pakai untuk dibawa ke hotel pasti dibayar mahal,” katanya.

Ia menjelaskan, pendapatan mereka per hari tidak tentu.

“Kalau hari pasar seperti hari Senin pasti ramai. Kadang yang menjadi langganan pakai pesan singkat saja melalui HP”, katanya.

Ia menambahkan, pelanggan mereka ada juga dari kalangan pegawai di Borong.

“Ada PNS dan THL yang bekerja di dinas tertentu yang juga menjadi pelanggan kami,” akunya.

Kurang lebih 45 menit selama perjalanan, kami pun tiba di rumahnya.

Ibu ini mengajak saya mampir. “Ayo ke rumah.”

Namun, saya menolak. Saat itu, jam di HP sudah menunjukkan pukul 22.15 Wita.

Saya lebih memilih untuk kembali ke rumah. (Satria/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini