Terkait Pungutan SP3, Pengusaha Nilai Pemkab Manggarai Tidak Taat Aturan

Ruteng, Floresa.co – Pemberlakuan Peraturan bupati (Perbup) dan Peraturan daerah (Perda) terkait pungutan Sumbangan Pihak Ketiga (SP3) kepada pengusaha dagang antar pulau oleh pemerintah kabupaten (Pemkab) Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) dinilai tidak taat aturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebelumnya, Maksimus Man, Kepala Bagian Ekonomi Setda Manggarai mengatakan, terdapat 10 pengusaha dagang antar pulau yang sudah menandatangani berita acara kesepakatan pungutan SP3 di tahun 2011 lalu.

BACA Juga: Sejak 2011, Pemda Manggarai Pungut Sumbangan ke Pedagang Komoditi

Kesepakatan tersebut, kata Maksimus, sudah dituang dalam Peraturan Bupati Manggarai Nomor 9 Tahun 2011 tentang Kesepakatan bersama penetapan besaran sumbangan pihak ketiga atas pengumpulan dan/atau pengeluaran hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hasil laut, kehutanan, dan hasil perindustrian.

Meldyanti Hagur, pemilik Toko Monas mengaku, pihaknya sudah berkali-kali menyampaikan agar SP3 dihapuskan, namun hingga kini tidak digubris oleh Pemkab Manggarai.

Meldyanti menjelaskan, Pemkab Manggarai tidak mematuhi Surat Edaran Kementrian dalam negeri Nomor 188/2010 tentang Penataan Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

“Pada poin ketiga disebutkan bahwa Perda tentang SP3 supaya dicabut agar tidak membuat ekonomi biaya tinggi dan menghambat peningkatan iklim investasi di daerah,” jelasnya kepada Floresa.co, Kamis (2/10/2015).

Menurut Meldyanti, Pemkab tidak saja melanggar surat edaran Kementrian dalam negeri tersebut, tetapi juga sudah melangkahi Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

“Karena itulah keluar surat edaran Mendagri tentang penataan Perda tentang pajak dan retribusi daerah. Di situ tidak diberikan ruang adanya SP3, yang bukan merupakan pajak maupun retribusi daerah,” katanya.

Ia mengaku, pada tahun 2011 lalu, pihaknya bersama sejumlah pengusaha dagang antar pulau pernah mengadakan rapat di kantor bupati Manggarai.

Rapat tersebut dipimpin oleh Frans Nandu, Asisten sekretaris daerah dan Ansel Asfal, Kepala bagian hukum Setda yang menjabat saat itu.

“Setelah kami tunjukkan soal Surat Edaran Mendagri tersebut disepakti bahwa SP3 tetap diberlakukan sampai tahun 2012, dan dihentikan mulai 2013. Tapi nyatanya masih tetap diberlakukan sampai skrg,” aku Meldyanti.

Karena itu, ia meminta Kepala Bagian Ekonomi Setda Manggarai, untuk tidak hanya bicara soal kesepakatan penentuan SP3, tetapi juga segera menghentikan pungutannya.

Sebelumnya Floresa.co memberitakan pungutan SP3 di Manggarai dilakukan sejak tahun 2011 lalu pasca dikeluarkannya Perbup Manggarai Nomor 9 Tahun 2011 tentang SP3.

Namun Meldyanti membantah bahwa Pemkab Manggarai sejak tahun 2011.

Menurutnya, pungutan SP3 itu sudah dilakukan jauh sebelumnya dengan mengacu kepada Undang- undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

“Di sana disebutkan tentang sumber-sumber pendapatan daerah, yang salah satunya adalah SP3. Tetapi setelah terbitnya Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentag Pajak dan Retribusi Daerah, SP3 sudah tidak ada lagi,” jelasnya.

Saat ditanya alasan mengapa dirinya tetap membayar SP3 walau undang-undang melarang, Meldyanti mengaku berada pada situasi tak berdaya.

Sebab, kata dia, tanpa bukti pembayaran SP3, kendaraan pengangkut hasil dagangan ke luar daerah Manggarai tidak dapat melewati pos penjagaan di Nte’er, perbatasan Manggarai dan Manggarai Barat jika hendak dibawa ke Pulau Jawa.

“Pengusaha tidak mau repot-repot melakukan gugatan, tetapi dalam rapat rutin pada awal tahun tetap kami anjurkan penghapusan,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut juga, Meldyanti membandingkan daerah Manggarai dengan kabupaten Ngada yang sejak lama sudah menghapus Perda dan Perbup tentang SP3.

Pemkab Ngada, kata dia, hanya menerbitkan Surat Keterangan Asal Hasil (SKAH) kepada pengusaha yang mau mengantar-pulaukan hasil, tanpa pungutan sepeser pun.

“Inilah juga yang menyebabkan pengusaha hasil bumi di Bajawa dapat melakukan ekspansi bisnis hasil bumi di seluruh NTT, dan pendapatan masyarakat petani tetap stabil,” ungkap Meldyanti.

“Kami pengusaha juga serba salah. Toko Monas Perumnas, misalnya membeli komoditi dari Mabar (Manggarai Barat), dan sudah membayar di Mabar untuk hasil yang dibawa ke Manggarai tetapi ketika kami harus mengantar-pulaukan hasil, kami harus membayar SP3 lagi,” ujarnya keberatan.

Namun situasi dan pungutan SP3 tersebut tersebut dianggapnya sebagai tanggung jawab moral untuk memberikan sumbangan kepada daerah Manggarai, terutama pembangunan infrastruktur fisik yang memang sudah menjadi kebutuhan masyarakat pada masa lalu.

“Pemerintah juga berkontribusi terhadap turunnya pendapatan petani yang memiliki hasil pertanian, perkebunan, peternakan. Jadi, pemerintah jangan cuci tangan dan melempar kesalahan hanya kepada pengusaha,” tegas Meldyanti. (Ardy Abba/PTD/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini