Bagaimana Efek Pariwisata Bagi Warga Kampung Komodo?

Floresa.co – Pulau Komodo tentu tidak  asing lagi di telinga sebagian besar orang, terutama karena di pulau itu, terdapat satwa langka komodo (Varanus Komodoensis) yang sudah lama mendunia. Nama besar reptil raksasa itu  juga tidak terlepas dari penetapannya sebagai hewan terlindungi dan pembentukan Taman Nasional Komodo (TNK) sejak tahun 1980.

Berbeda dengan komodo yang kian mendunia dan menjadi daya tarik bagi wisatawan, warga Kampung Komodo yang hidup berdampingan dengan komodo selama bertahun-tahun, rupanya tak banyak yang tahu.

Padahal, jumlah mereka sudah mencapai 1.719 jiwa dari 400 kepala keluarga. Rumah-rumah mereka berdesak-desakkan dalam wilayah seluas 5 persen saja dari total luas pulau itu.

Monstar Simanjutak, salah satu fotografer misalnya, sempat kaget saat mengetahui adanya kampung dalam kawasan TNK. Ia lalu membuktikan itu dengan mengunjungi Kampung Komodo pada tahun 2016.

Begitu pula lima turis asal Italia yang terperangah saat menyaksikan padatnya Kampung Komodo. Mereka mengaku, mengunjungi Kampung Komodo tidak direncanakan. “Kita lihat dari kapal wisata, lalu kita ke sini,” ujar salah satu di antaranya.

Tidak hanya itu. Ichwan Susanto, salah satu wartawan harian Kompas menyampaikan rasa penasarannya tentang kampung itu.

“Tidak ada literaturkah tentang Kampung Komodo?,” tanyanya suatu ketika sebelum memulai program liputan Ekspedisi Komodo pada awal September ini.

Sejauh yang ia ketahui lewat mesin pencarian Google, tidak banyak informasi tentang kondisi sosial dan budaya di Kampung Komodo.

Salah satu atau mungkin satu-satunya literatur penelitian tentang penduduk komodo yang bisa ditemukan adalah penelitian dari J.A.J Verheijen.

Dalam bukunya berjudul Pulau Komodo: Tanah, Rakyat dan Bahasanya, ia mengungkapkan bahwa warga Kampung Komodo merupakan suatu bangsa yang memiliki bahasa dan kebudayaan yang independen dan mempunyai sejarah yang usianya kira-kira 2000 tahun.

“Orang Komodo memiliki bahasa tersendiri yang tidak dapat dipahami oleh segenap bangsa yang bertetangga,” tulis Verheijen dalam buku hasil penelitian pada 1977-1985 itu.

Sementara itu, bagi warga Kampung Komodo, kenyataan seperti itu sudah biasa mereka alami. Tidak hanya karena minimnya pengetahuan dan publikasi tentang mereka, tetapi juga karena mereka pernah menghadapi kenyataan pahit di masa lalu.

Pada awal pembentukan TNK, mereka nyaris dipindahkan ke daratan Pulau Flores, yang terletak di sebelah timur pulau mereka. Rencana itu mereka tentang, hingga hingga akhirnya tetap menempati Pulau Komodo sampai saat ini.

Pembentukan TNK adalah pembentukan kawasan pelestarian alam. Upaya mempertahankan ekosistem asli itu ditempuh dengan sistem zonasi. Tujuannya antara lain menunjang usaha penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 tahun 2011).

Dan, untuk mewujudkan hal itu, harus dibayar mahal yakni dengan sebisa mungkin membatasi keterlibatan dan aktivitas manusia.

Lalu, apakah yang terjadi dengan warga Kampung Komodo selama penetapan pulau itu sebagai kawasan TNK?

Salah satu kenyataan yang tidak banyak yang diketahui adalah perubahan sumber mata pencarian hidup yang drastis. Dari berburu dan meramu, berpindah mencari nelayan, dan kini sebagian besar menjadi pengrajin patung dan penjual souvenir.

Sebelum TNK

Sebelum terbentuknya TNK pada tahun 1980, warga Komodo sebagian besar menggantungkan hidupnya dari hasil meramu dan berburu. Hanya kelompok kecil saja yang sudah mulai melaut, terutama para pendatang dari Sulawesi.

Umumnya, mereka mengambil gabang dari hutan, mengumpulkan asam dan berburu rusa. Gabang adalah sejenis umbi-umbian liar. Tidak hanya dicari selama berhari-hari di hutan, model pengelolahannya juga mesti hati-hati agar tidak menjadi racun.

“Waktu kami datang ke sini, penduduk tidak ada di sini. Sepi sekali. Semua orang pergi mencari gabang dan asam di hutan,” kata seorang warga yang datang dari Sulawesi dan menjadi pengrajin kerang di Komodo.

Pada saat itu, pemukiman penduduk masih tersebar di sepanjang pulau. Ada yang tinggal di wilayah pegunungan, seperti di Bukit Ara dan ada yang menempati wilayah pantai.

Mereka umumnya tinggal mengelompok berdasarkan suku. Ada suku Komodo, Manggarai, Bajo, Bima, Sumba dan lain sebagainya.

Mereka tinggal berbaur dengan komodo. Meskipun dikenal luas sebagai hewan buas dan berbahaya, warga Kkomodo tak merasa terancam kehidupannya. Mereka terbiasa bertemu atau berpapasan dengan komodo. Komodo bahkan biasanya berkumpul di bawah rumah-rumah panggung mereka jika mencium bau amis ikan.

Penduduk Komodo umumnya masih memiliki pandangan yang sangat positif tentang komodo. Pertama, mereka percaya bahwa komodo dan manusia berasal dari satu keturunan. Dalam Bahasa Komodo, binang komodo disebut sebae, yang berarti sebelah. Mereka percaya, komodo dan manusia adalah saudara kembar.

“Kalau tidak percaya begitu, sudah lama komodo kita bunuh, karena sangat berbahaya” kata Haji Majid, seorang tokoh masyarakat Kampung Komodo.

Bagian dari kepercayaan itu, selama masa berburu rusa, penduduk pulai itu menjalin hubungan yang sangat erat dengan komodo. Biasanya, hewan buruan seperti rusa dibunuh di hutan. Bagian kepala, kaki, kulit dan organ ditinggalkan untuk komodo.

“Kalau anjing mulai gonggong di hutan, biasanya komodo mendekat. Tidak susah dapat makanan,” Kata Majid.

Kedua, penduduk setempat percaya bahwa komodo tidak sembarangan menyerang warga. Selama masa berburu dan meramu makanan, jarang sekali terjadi kejadian yang mengerikan. Sebaliknya, mereka lebih banyak memaparkan keharmonisan dengan komodo.

Haji Aksan, Kepala Desa Komodo menceritan bahwa dulunya warga Komodo bahkan tak sadar kalau tidur bersebelahan dengan komodo di pantai pada masa mencari ikan di laut. Komodo tidak sebuas yang dibayangkan.

Pak Raco, warga lain mengatakan, komodo seringkali menyerang saat keberadaannya terancam. Itu pun, jika secara tak sengaja mengetahuinya, ia memberikan sinyal. Ia mengeluarkan suara helaan nafas.

Penduduk Komodo juga percaya bahwa saat berpapasan di jalan, mereka hanya perlu menegur dalam Bahasa Komodo. Binatang itu akhirnya menjauh dan tidak menghalangi jalan.

Periode TNK

Terbentuknya TNK pada tahun 1980, sudah mulai mengubah kondisi kehidupan masyarakat di Pulau Komodo secara drastis.

Pulau itu diperlakukan sebagai zona terlindungi, mengikuti model Taman Nasional Yellowstone, Amerika Serikat. Tuntutannya, sebisa mungkin aktivitas manusia dalam kawasan ditiadakan. Hal itu ditempuh melalui pembentukan zonasi.

Akan tetapi, di sisi lain kebijakan TNK dan pembentukan zonasi ini membawa perubahan yang mengejutkan. Pada awalnya, masyarakat tiba-tiba dilarang meramu dan berburu rusa. Jika berburu rusa, mereka dituduh sebagai pemburu liar.

Meskipun keputusan tersebut terbilang semena-mena, masyarakat setempat hampir tak dapat melakukan perlawanan yang berarti. Pasalnya, saat itu Soeharto tengah berkuasa dan pendekatannya yang militeristik cenderung mengintimidasi dan menakutkan. Apalagi masyarakat belum dipandang sebagai warga negara yang punya hak menentukan kehidupannya.

“Orang tua dulu takut dengan tentara. Bahkan orang tua kami pikul mereka dari perahu motor kalau ke sini,” kata Pak Magu, seorang warga menceritakan kejadian itu. Ia mengaku sudah menginjak usia anak-anak saat itu.

Akibatnya, keadaan pemukiman mereka berubah. Dari tinggal tersebar, mereka dipaksakan berada di satu lokasi terbatas.

Salahudin, salah satu warga, menceritakan pengalaman perpindahan dari wilayah Loh Liang pada tahun-tahun itu. Loh Liang sekarang ini adalah pintu masuk wisatawan ke TNK dan di sana terdapat kantor Balai TNK.

Menurutnya, ada sekitar 60-an keluarga yang tinggal dan berladang di Loh Liang. Namun penetapan TNK membuat mereka terusir. Pondok-pondok dan berbagai tanaman dibakar dan dihilangkan jejaknya. Untuk membenarkan ucapannya, Salahudin menunjukkan surat kepemilikan tanah di Loh Liang.

Warga lain, Ridwan menunjukkan lokasi sebuah kuburan yang berada di Loh Liang. Sementara itu, Haji Majid mengatakan bahwa pohon yang tumbuh sejajar di Loh Liang sekarang ini tidak lain adalah bekas pagar kebun masyarakat.

“Tanah-tanah itu diambil begitu saja, tanpa adanya ganti rugi,” kata Salahudin yang berniat mengugat kembali kepemilikan atas lahan itu.

Tidak hanya itu. Setelah dipindahkan ke tempat baru, karena alasan murni konservasi, mulanya kondisi rumah mereka juga dipantau. Sebagian besar membuat rumah panggung dengan menggunakan bahan ramah lingkungan. Atap misalnya, hanya boleh terbuat dari alang-alang. Penggunaan seng dilarang. Kenyataan itu terkonfirmasi melalui beberapa koleksi foto yang disimpan Haji Isaka.

Sementara itu, perubahan yang tak kalah mengejutkan adalah soal mata pencarian. Bersamaan dengan penetapan TNK, mereka akhirnya beralih mencari  hasil laut. Mereka belajar melaut dari suku-suku pendatang dari Sulawesi yang sebelumnya sudah hidup sebagai nelayan.

Hasil laut dalam kawasan TNK sungguh melimpah. Secara geografis, kenyataan itu sangatlah beralasan. Kawasan TNK berada di antara pertemuan Laut Flores dan Samudra Hindia. Hal itu membuat lautnya sangat kaya raya dengan terumbu karang, plankton, dan berbagai jenis ikan.

Tidak heran pula, sekarang ini, TNK menjadi salah satu spot diving terbaik di dunia, berdasarkan survey CNN pada tahun 2015.

Pak Magu menceritakan, hasil tangkapan ikan pada tahun 1980-an sangatlah banyak. Sekali melaut, mereka bisa memperoleh sekitar ratusan bahkan sampai berton-ton cumi. Begitupula dengan ikan. Saat itu, harga jual cumi sekitar 5000 per kilogram. Pada saat melaut itulah, mereka terkadang tidur di pantai.

Sementara itu, pada pagi hari, di pantai Kampung Komodo, banyak ibu-ibu yang menjual ikan. Para pembeli dalam jumlah besar datang dari pulau-pulau lain. Meskipun belum terkonfirmasi lebih lanjut, ada yang mengatakan bahwa pada periode ini banyak penduduk Komodo yang bisa naik haji.

Pada masa itu pula, kapal penangkap ikan adalah bagang. Bentuk bagang unik. Penggeraknya adalah tenaga angin dan dilengkapi dua sayap. Disebut unik karena terdapat dua perahu yang disatukan dan terhubung dengan adanya semacam pondokan kecil di antara keduanya. Di pondok itu, mereka menyimpan bekal atau memasak sambil menanti hasil tangkapan ikan.

“Hampir semua orang punya bagang. Tahun 1993-1996 semua orang total menjadi nelayan,” kata Haji Aksan.

Periode menjual Souvenir dan Patung

Keadaan mulai berubah memasuki tahun 1997. Beberapa orang mulai bekerja sebagai pengrajin patung dan penjual souvenir. Mula-mula mereka ini hanya kelompok kecil, namun sekarang mereka menjadi kelompok besar. Sementara jumlah nelayan sudah menurun drastis.

Tempat jualan mereka berada di Loh Liang. Tepat di pintu masuk setelah dermaga bagi wisatawan di Loh Liang, terdapat sebuah lapak permanen yang disediakan Balai TNK. Tiap penjual hanya memperoleh ruang 2×1 meter persegi. Karena ruangan itu tak cukup, beberapa tenda dibangunkan di luar tempat tersebut. Ada juga beberapa tenda yang menjadi warung.

Dari Kampung Komodo, Loh Liang berjarak sekitar 3 km. Saat air laut surut, mereka bisa menempuhnya melalui jalan darat di sepanjang pesisir pantai. Warga juga sering menggunakan perahu motor, dengan waktu tempuhnya sekitar 10 menit.

Mengapa terjadi perubahan demikian? Hal ini terkait erat dengan managemen konservasi.

Kenyataan itu paling terlihat pada saat The Nature Conservancy (TNC) dan PT Putri Naga Komodo (PNK) terlibat dalam pengelolahan TNK. TNC mulai terlibat dalam urusan kebijakan pengelolahan sejak tahun 1995. Kemudian, terjadi privatisasi managemen pengelolahan TNK yang dilakukan oleh PNK pada tahun 2004-2011. Pemegang saham PNK masih termasuk PT TNC.

Ada dua hal yang mendorong perubahan drastis tersebut. Pertama, baik TNC maupun PNK mau mendorong penduduk setempat bekerja di sektor pariwisata.

Fajararudin, mantan anggota TNC dan PNK mengatakan, TNC dulunya mengusulkan dan memberikan pelatihan pembuatan patung dan pembuatan souvenir.

Menurutnya, hal itu mempertimbangkan beberapa alasan. Di antaranya, musim melaut tidak selalu setiap saat, maka waktu luang dapat digunakan untuk membuat patung dan kerajinan. Ini juga sebagai pintu masuk untuk menikmati kehadiran sektor pariwisata. Namun, dalam perjalanan selanjutnya, masyarakat justru meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan.

Alasan yang kedua, sistem zonasi turut mempercepat proses pengalihan pekerjaan warga Komodo. Di satu sisi, pembentukan zonasi dimaksudkan untuk mewujudkan sistem pengelolahan taman nasional secara optimal. Hal itu mulai ditetapkan melalui pemberlakuan Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pellestarian Alam (PP No. 68/1998), yang kemudian direvisi pada tahun 2011 menjadi PP No. 28/2011.

Akan tetapi, melalui penetapan zonasi dan perubahan aturan itu, penduduk Komodo tidak bebas lagi menangkap ikan. Peralatan penangkapan ikan juga dibatasi. Tidak boleh menggunakan jaring dengan tinggi 20-30 meter. Mereka juga tidak boleh menangkap ikan di tempat–tempat diving.

Meskipun tidak disertai sosialisasi yang cukup jelas, penerapan aturan ini tegas dilaksanakan. Melalui operasi gabungan antara pihak TNC, Balai TNK, dan polisi laut, masyarakat kerap dilarang menangkap ikan dari zonasi tertentu. Warga juga mendapat kekerasan, dipukul, disiksa, bahkan ada yang dipenjara.

Ketiga, perputaran uang dalam jualan patung dan souvenir jauh lebih cepat ketimbang menangkap ikan. Meskipun hasil laut melimpah, namun jarak pasar sangat jauh yakni berada di kota Labuan Bajo, dengan waktu tempuh hampir 4 jam.

Akibat faktor-faktor tersebut, masyarakat perlahan-lahan banyak bergelut di sektor kerajinan dan penjualan souvenir. Kini, hanya sekitar 30 persen yang masih sebagai nelayan. Yang menjual souvenir dan patung komodo mencapai sekitar 115 keluarga.

“Sekarang hanya di KTP yang nelayan,” kata Haji Aksan.

Namun, persoalannya, kini pekerjaan menjual souvenir tidak menguntungkan lagi. Seratus lima belas orang menjual barang yang hampir sama, sementara tempat jualnya tidak menarik.

Apalagi, jumlah wisatawan yang datang tidak stabil. Kunjungan terbanyak hanya terjadi dua kali dalam sebulan, yakni saat ada kunjungan kapal-kapal pesiar.

Perkembangan ini mengkuatirkan. Pihak Balai TNK dalam pertemuan rencana Master Plan Pengelolahan TNK tahun 2016 mengungkapkan gejala yang memprihatinkan tersebut.

Bahwasannya penjual souvenir dan patung bahkan telah menjual barang dagangannya di spot wisata dengan perahu motor. Sementara penduduk Komodo mengungkapkan gejala tersebut tidak lain karena dipengaruhi tekanan persaingan antarmereka, di tengah kebutuhan hidup yang semakin tinggi.

Lantas, akankah penduduk Komodo bertahan menjadi penjual patung dan souvenir? Apakah yang mereka dapat lakukan setelah itu?

Verheijen tampaknya sudah membayangkan apa yang terjadi puluhan tahun kemudian setelah masuknya pariwisata ke Pulau Komodo.

Ia menulis demikian dalam bukunya. “Pulau Komodo dibuka untuk pariwisata, maka amatlah dikhwatirkan bahwa pemburu wisatawan dan pedagang akan berusaha menembus ke dalam masyarakat….Ada bahaya bahwa pertanian, perikanan, pengumpulan di pantai dan di darat sera kebebasan gerak penduduk pada umumnya akan dibatasi lagi. Dengan demikian hancurlah hak mereka atas karya, tradisi, dan lingkungan hidup bebas.” (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini