Krisis Air Bersih di Labuan Bajo: Ironi Kota Pariwisata

6710

Labuan Bajo, Floresa.co – Krisis air  bersih menjadi problem menahun di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, yang kini terus berkembang sebagai kota pariwisata.

Sejumlah proyek pengadaan air bersih selama beberapa tahun terakhir masih belum bisa memenuhi kebutuhan warga. Air dari keran milik Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) hanya bisa dinikmati dua atau tiga kali seminggu.

Pengamatan Floresa.co, di sejumlah ruas jalan di Labuan Bajo bertebaran pipa-pipa di atas badan jalan, yang kebanyakan sudah rusak.

Kondisi tersebut ironi, karena dari sumber airnya, sebenarnya tidak ada persoalan.

Pada Selasa, 31 Juli 2018, Floresa.co mengunjungi sumber air yang dimanfaatkan PDAM, yakni di mata air Wae Mbaru yang berada di Kampung Pau, Desa Compang Liang Ndara, sekitar 10 kilometer dari Labuan Bajo.

Di lokasi itu, tampak tidak ada tanda-tanda masalah. Air mengalir lancar ke bak penguras untuk selanjutnya diteruskan ke pipa pengairan. Bak penguras berfungsi sebagai terminal.

Kondisi yang sama juga terjadi di Wae Kaca yang jaraknya sekitar 100 meter dari Wae Mbaru. Aliran air tampak lancar.

Di mata air Wae Mbaru, dari bak penguras yang berukuran 1,5 meter x 1,5 meter, terpasang dua pipa yang masing-masing disertai keran pada bagian ujungnya.

Satu pipa berukuran 8 dim untuk mengaliri air ke Kota Labuan Bajo. Satunya lagi berukuran 3 dim, untuk memasok air ke Kampung Wae Moto, yang jaraknya 2 kilometer dari mata air.

Maksimus Ismail yang dipercaya menjaga mata air Wae Mbaru mengatakan, ia bekerja di tempat itu sejak Januari tahun ini dan mendapat gaji Rp 500.000 per bulan.

Ia pun menyebut proyek air minum itu dikerjakan pada 2017 oleh kontraktor bernama Franky Totos.

Maksimus menjelaskan, sebelum dikerjakan oleh Pemda Mabar, proyek air minum di wilayah itu pernah dikerjakan pada tahun 2003 oleh Pater Ernesto Waser SVD, imam Katolik asal Swis yang dikenal banyak berjasa dalam pembangunan infrastruktur di Manggarai.

Ia pun menunjuk peninggalan Pater Waser di sekitar mata air itu. Sejumlah potongan pipa berukuran 6 dim dan 1,5 dim tampak masih baik melintang di atas pipa yang kini dialiri air.

Pipa-pipa itu tidak lagi digunakan karena diganti dengan pipa milik pemerintah berukuran 8 dan 3 dim.

Beda Cara Kerja

Kepada Floresa.co, Maksimus menjelaskan perbedaan cara kerja Pater Waser dengan yang dilakukan Franky.

Yang dilakukan Pater Waser, kata dia, pipa ditanam. Beda halnya, kata dia, dengan yang dikerjakan oleh pemerintah, di mana pipa dibiarkan berada di atas tanah

 “Kalau pater punya dulu, semua ditanam di bawah tanah, pekerjanya juga banyak. Sekarang, harusnya (juga) ditanam, tetapi mereka tidak mampu membayar,” katanya.

Perihal masalah dana itu, kata dia, ia alami sendiri saat diminta kontraktor menangani pemasangan dari mata air  ke Kampung Wae Moto.

Bersama ketiga rekannya, mereka dibayar Rp 2,5 juta rupiah.

Awalnya, ia menolak tawaran itu. “Saya bilang Frangky Totos, Rp 2,5 juta ini tidak memungkinkan. Bayangkan dari hulu ke Wae Moto itu jaraknya dua kilometer lebih. Jadi kalau ditanam pipa 8 dim itu, minimal 80 cm kedalamannya, lebarnya pun 80 cm,” kata Maksimus, mengulang pernyataannya saat negosiasi dengan Franky.

Ia menyatakan keberatan karena saat itu masih musim kemarau, di mana untuk menggali tanah sangat susah. “Apalagi kalau ada akar kayu. Belum lagi kalau ada batu dan akar bambu,” lanjut Maksimus.

Tetapi, setelah diminta berulang-ulang, ia pun menerimanya dan menyelesaikan pekerjaan itu dalam sembilan hari.

“Pokoknya bagaimana saja caranya. Uangnya cuman Rp 2,5 juta,” ujarnya, mengulang kata-kata Franky.

Maksimus juga sempat menyinggung soal upahnya saat ikut dalam proyek itu senilai Rp 3 juta yang hingga kini belum dibayar.

”Saya pernah minta ke pihak PU (Pekerjaan Umum-red) tapi mereka bilang minta di kontraktor. Saat ke kontraktor, tidak jelas juga jawabannya,” tuturnya.

Sementara, Laurensius Sahadun, penjaga di mata air Wae Kaca, sekaligus pemilik lahan tempat mata air itu muncul mengaku bingung dengan berbagai aduan dari petugas PDAM Labuan Bajo soal kekurangan air di kota tersebut.

“Mereka selalu tanya, mengapa air tidak jalan, sementara dari mata air, air selalu mengalir seperti yang kita saksikan hari ini, selalu stabil,” katanya.

Berbeda dengan Maksimus, Laurensius sedikit beruntung soal honor. Ia digaji oleh Pemda  Mabar Rp 1.750.000, setara dengan gaji pegawai honorer, ditambah insentif dari PDAM sebesar Rp 500.000, per bulan.

Ia mengatakan, proyek yang dikerjakan pada 2017 oleh Pemda Mabar bukanlah proyek yang pertama.

Pada tahun 2008, Pemda juga mengelontorkan dana untuk membangun bak penguras serta pemasangan pipa. Namun, kata dia, bak dan pipa lama itu tidak difungsikan lagi karena sudah ada bak dan pipa baru dari proyek tahun 2017.

Persoalan Menahun

Apa yang terjadi hari ini di Labuan Bajo, tidak berbeda dengan kondisi beberapa tahun lalu, setidaknya sebagaimana terekam dalam riset yang pernah dibuat oleh Dr. Stoma Cole dan Marta Muslin Tulis pada 2015.

“Hanya 24 % dari populasi (52.000) yang terhubung ke suplai air perpipaan tapi air umumnya hanya berjalan di pipa dua kali seminggu dan selama beberapa jam pada suatu waktu,” demikian hasil penelitian mereka.

“Hal ini membuat kebanyakan orang tergantung pada sesuatu yang tidak diatur, tidak dapat diandalkan, sementara kualitas penyedia swasta seringkali diragukan atau harus mengumpulkan dan membawa air dari pasokan publik,” demikian menurut mereka.

Harga yang dibayarkan untuk air yang dipasok swasta, kata mereka, sangat tinggi dan melanggar hukum internasional.

“Pembelian terkecil seharga Rp 75 per liter, membebani keluarga Rp 15.000 per hari setara 30 % pendapatan untuk keluarga dengan pendapatan minimum,” demikian menurut mereka.

Meski tidak mengulas lebih jauh, mereka mensinyalir bahwa para pejabat pemerintah terlibat dalam korupsi pasokan air dan penjualannya.

Pada 2015, Floresa.co pernah mengungkap praktek penyedotan air dari pipa milik PDAM oleh warga di Labuan Bajo, yang memiliki hubungan dekat dengan salah satu anggota DPRD. Modusnya, mereka menampung air di rumah mereka, lalu kemudian menjualnya kembali ke warga di Labuan Bajo, di mana per tangki 1.100 liter adalah Rp 100.000.

Belum ada penelusuran lebih lanjut saat itu, terkait dugaan keterlibatan pihak lain, termasuk pihak PDAM dalam bisnis sumber daya publik itu.

Sementara praktek demikian tidak ditangani serius oleh aparat, proyek terus bermunculan. Dan, sejauh ini, tidak ada yang benar-benar berhasil, setidaknya dengan melihat krisis yang terus terjadi.

Pada 6 Juni lalu, Kejaksaan Negeri Labuan Bajo sempat memeriksa salah satu kontraktor yang mengerjakan proyek air bersih ini.

Pemeriksaan itu dilakukan menyusul adanya laporan masyarakat.  “Dan kita cek, ternyata pipa tidak mengeluarkan air,” kata Julius Sigit, Kepala Kejari Manggarai Barat.

Ia menjelaskan, dari laporan masyarakat itu, diketahui bahwa awal mula terungkapnya kejanggalan proyek itu adalah saat ada pertemuan dengan Menko Maritim, Luhut Binsar Panjaitan di Labuan Bajo.

“Keran di beberapa tempat, seperti kantor bupati dan Bandara Komodo, tidak ada airnya,” katanya.

Ia menyebut sejumlah indikasi kebobrokan pengerjaan proyek itu, termasuk pipa yang ditempatkan di atas tanah.

Bagaimana tindak lanjut upaya kejaksaan? Tidak ada kabar lagi, hal yang kemudian terus melahirkan pesimisme di kalangan warga bahwa praktek busuk demikian, akan bisa ditangani hingga tuntas.

Ketika warga Labuan Bajo terus dilanda perasaan marah dan kecewa, para penjaga di sumber air tetap saja bingung.

Laurensius Sahadun mengaku sering dihubungi pihak PDAM.

“Mereka selalu telepon (menanyakan) kenapa air tidak jalan,” katanya. “Saya jawab, air jalan terus ini. Saya ini tidak bisa masuk ke dalam pipa.”

Ario Jempau/Ferdinand Ambo/ARL/Floresa