Tabiat Korporasi vs Janji Manis Tambang dan Pabrik Semen di Matim

Oleh: DILO JEMAGUR, pemuda asal Manggarai Timur, alumnus STIE YAI Jakarta

Rencana Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Matim) meloloskan investasi pertambangan batu gamping dan pendirian pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk menyedot perhatian banyak pihak.

Dua perusahan yang hendak beroperasi di dua kampung yang masuk wilayah Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda itu adalah PT Istindo Mitra Manggarai (PT IMM) dan PT Semen Singah Merah NTT (PT SSM). Orang-orang di balik PT IMM disebut-sebut sama dengan PT Istindo Mitra Perdana yang sebelumnya menambang mangan di wilayah itu, sementara PT SSM, dari berbagai data yang bisa diakses, disebut berasal dari Tiongkok.

Rencana ini telah memantik perdebatan publik. Pro dan kontra menghiasi media massa dan media sosial.

Bagi Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Matim serta para pendukung rencana investasi ini, tambang dan pabrik itu dianggap akan membawa kesejahteraan bagi warga, di mana lapangan kerja tersedia, pendapatan mereka meningkat dan ada pemasukan bagi kas daerah.

Bersamaan dengan itu, aktivitas pertaniaan yang selama ini menjadi mata pencaharian warga dianggap kuno dan karena itu perlu ditinggalkan. Klaim ini diperkuat dengan dukungan mayoritas warga dua kampung itu yang mencapai angka 95 persen. Hal ini pun dijadikan sebagai amunisi untuk menyerang kelompok yang kontra dan menganggap suara mereka akan sia-sia.

Namun, kita juga melihat arus penolakan terus menguat. Setelah sebelumnya ada petisi dari kelompok Manggarai Diaspora, ada juga surat terbuka dari kelompok Lami Tana Dading serta pernyataan tegas dari kelompok Gereja, seperti JPIC Keuskupan Ruteng dan JPIC-OFM.

Kelompok kontra tambang beranggapan bagaimana mungkin dua perusahaan itu yang pada dasarnya, sesuai watak korporasi, memiliki hasrat mengakumulasi modal besar bisa memberi kesejahteraan bagi warga. Yang akan terjadi malah rakyat tambah miskin, lahan pertanian disabotase, sumber air dan sumber kehidupan dicaplok, lingkungan dirusak dan menghasilkan limbah yang berdampak pada polusi dan mengganggu kesehatan warga.

Apalagi, ada rencana relokasi Kampung Lengko Lolok, yang sudah masuk dalam dokumen MoU masyarakat dengan perusahan. Kampung halaman itu, yang adalah Natas Bate Labar, Beo Bate Elor terancam akan hilang bersamaan dengan narasi sejarahnya.

Tabiat Korporasi

Apakah tambang dan pabrik itu benar-benar akan membawa masa depan yang cerah bagi warga di Lengko Lolok dan Luwuk? Dari bacaan saya terhadap gelagat dan tabiat korporasi, apalagi korporasi global, sangat sulit untuk memberi jawaban ya atas pertanyaan semacam itu.

Korporasi tentu berorientasi profit, dengan prinsp menekan biaya serendah mungkin untuk memperoleh keuntungan paling maksimal.

Dalam dunia terglobal seperti saat ini, korporasi tergolong sebagai pelintas batas. Mereka bak pemain bola yang bisa bermain di seluruh lapangan pertandingan. Tak ada peraturan yang benar-benar mampu membendung ruang gerak korporasi untuk masuk ke suatu negara atau suatu daerah.

Kekuatan modal yang dimiliki korporasi bahkan mampu menaklukan kekuasaan. Dengan kekuatan modalnya, korporasi sering menjadikan pejabat publik berubah menjadi penyambung lidah yang berpihak pada kepentingan mereka, lalu mengabaikan kepentingan masyarakat umum.

Demi memuluskan hal itu, mereka bisa bermain kotor dengan penguasa. Sudah banyak contoh tentang hal ini. Tahun lalu misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Supian Hadi, Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sebagai tersangka kasus korupsi terkait penerbitan izin tambang di wilayahnya.

Dalam kasus tambang dan pabrik di Matim ini, Bupati Agas tampak berupaya keras memuluskan langkah investor. Ia proaktif mempengaruhi warga, termasuk mengumpulkan mereka di kediaman pribadinya.

Karena aksinya itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus menudingnya menjadi makelar tanah. Dalam pertemuan tersebut, warga memang diberikan uang sebesar Rp 10 juta per kepala keluarga yang diklaim sebagai down payment (DP) lahan mereka.

Jebakan Statistik

Yang juga tampak jelas dari sikap Bupati Agas dalam polemik ini adalah upayanya mengkapitalisai situasi di mana mayoritas warga setuju dengan rencana investasi ini. Sebanyak 154 kepala keluarga (KK) Kampung Lingko Lolok dan Kampung Luwuk memang sudah menyatakan mendukung, sementara 9 kepala keluarga menolak dan sedang dalam proses negosiasi. Dengan kata lain, kurang lebih 95 persen warga telah mendukung hal yang membuat Agas  berada di atas angin.

Namun, angka-angka itu tidak bisa dibaca dengan kacamata kuda, tanpa menelaah soal-soal lain, termasuk apakah memang warga-warga di dua kampung itu sudah diberikan informasi yang memadai perihal dampak kehadiran dua perusahan itu bagi kehidupan mereka dan anak cucu mereka, sebelum mereka memilih menerima investasi itu.

Pemerintah tidak bisa berpatokan pada soal angka semata, yang saya sebut sebagai jebakan statisti, apalagi kebijakan pertambangan ini menyangkut masa depan, hak hidup, tidak saja bagi warga di dua kampung itu, tetapi juga di wilayah yang jauh lebih besar, mengingat dampak yang akan ditimbulkan jika dua perusahan itu beroperasi.

Tugas pemerintah sejatinya adalah melindungi seluruh warga negara. Itu adalah sendi dasar berdemokrasi. Pemerintah tidak boleh menjebak masyarakat dengan logika kuantitas, lalu mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat kualitatif.

Warga pada dasarnya tidak berada pada posisi setara dan tidak benar-benar memahami dampak kehadiran tambang saat berhadapan dengan perusahan dan pemerintah. Itu tentu bukan kesalahan mereka, tetapi akumulasi dari berbagai keterbatasan struktural yang mereka hadapi; terbatasnya akses terhadap informasi, hal yang masih menjadi barang mahal bagi mereka. Jangankan itu. Infrastruktur dasar penunjang kehidupan harian, seperti listrik, air bersih, jalan raya, sekolah, Puskesmas saja masih belum tersedia.

Selain itu, campur tangan pemerintah pada sektor pokok sumber penghidupan mereka, sepertipertanian dan peternakan sangat minim. Sektor pendidikan juga luput dari perhatian pemerintah.

Tentu kita tidak bisa begitu saja percaya pada janji-janji manis yang disodorkan pemerintah dan korporasi. Apalagi, di wilayah Desa Satar Punda pernah bertahun-tahun beroperasi perusahan tambang mangan dan setelah mereka pergi situasi warag tidak berubah signifikan. Hanya lubang-lubang bekas tambang yang mereka tinggalkan.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya berpikir kembali. Upaya menghadirkan kesejahteraan masyarakat seharusnya memperhitungkan situasi kehidupan mereka, dengan berbagai potensi yang pada dasarnya sudah mereka miliki dan tinggal dioptimalkan, sambil memperluas horizon jauh ke depan untuk melihat dampak dari setiap kebijakan.

Tambang hanya akan bertahan untuk beberapa tahun. Dan harusnya, pemerintah berkaca pada pengalaman sebelumnya. Jangan dengan sengaja menjerumuskan rakyat pada lubang yang sama. Jika tidak, Anda akan tercatat sebagai salah satu pemimpin terburuk dalam sejarah, di mana namanya disebut-sebut sebagai model pemimpin yang tidak layak dicontoh.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini