Catatan Pertemuan Antara Pemerintah dan Perusahaan dengan Pemilik Lahan Proyek Geothermal Wae Sano, Pihak Kantor Staf Presiden Tampil Sebagai Pembicara

Warga penolak proyek geothermal menilai, pertemuan tersebut sudah melangkahi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya di mana pemerintah dan perusahaan telah menyampaikan akan membatalkan pembangunan di well pad B tersebut.

Floresa.co – Pemerintah kabupaten Manggarai Barat [Mabar], Nusa Tenggara Timur [NTT] menggelar pertemuan dengan warga pemilik lahan untuk proyek panas bumi atau geothermal di Nunang, Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, pada Kamis, 23 September 2021.

Dalam pertemuan itu, tampil sebagai pembicara dan mewakili pemerintah pusat, Yando Zakaria yang merupakan staf dari Kantor Staf Presiden [KSP]. Sementara itu dari pihak warga, beberapa dari 28 warga pemilik lahan hadir dan menyatakan sikap terhadap proyek itu. Ada yang setuju pun tetap kukuh menolak dengan berbagai alasan.

Pertemuan dimulai sekitar pukul 09.20, molor sekitar 30 menit dari waktu yang ditentukan. Selain Yando, hadir juga perwakilan PT Geodipa Energi, John Sinurat; Camat Sano Nggoang; serta Plt Kepala Desa Wae Sano.

Selain itu, ada juga Tim Kerja hasil MoU antara Keuskupan Ruteng dan pemerintah yakni Itho Umar, Geri Minus serta Sil Harsidi yang bertindak sebagai moderator.

Pertemuan bertajuk “Rencana Tindak Lanjut Pembangunan di Well Pad B” itu dibuka oleh Plt Kepala Desa Sano Nggoang. Dalam sambutannya ia menegaskan bahwa pertemuan diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Sementara, dirinya hanya menjalankan perintah.

“Ini undangan karena diperintah oleh bapak bupati. Dimandatkan kepada saya selaku kepala desa. Sebagai perpanjangan tangan, dari bapa bupati, dari pa camat yang hadir pada hari ini, maka saya keluarkan undangan,” tuturnya di hadapan sekitar puluhan warga yang hadir.

Yando Zakaria menceritakan kembali proses-proses yang sudah dilalui terkait dengan proyek tersebut.

Ia menyatakan bahwa ihwal kegiatan tersebut digelar sebagai tindak lanjut atas surat Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat kepada Presiden Joko Widodo terkait dengan persoalan-persoalan sosial yang terjadi di lapangan.

BACA: Surat Uskup Ruteng Terkait Geothermal Picu Protes Warga Wae Sano

“Atas surat itu, pemerintah pusat mengambil langkah untuk turut secara langsung untuk menangani persoalan-persoalan yang berkembang itu,” tutur Yando.

Ia mengklaim, melalui proses komunikasi yang penuh kesabaran dan penuh rasa persaudaraan para pihak, baik pemerintah daerah, pemerintah desa dan warga bersepakat untuk mengklarifikasi persoalan yang ada pun potensi-potensi yang terjadi di masa yang akan datang.

Petrus Lapur salah satu warga penolak menyampaikan keberatannya atas pertemuan tersebut. [Foto: Floresa].
“Rancana bersama itu kita tuangkan ke dalam apa yang kita sebut sama-sama pada saat itu sebagai Rencana Kerja Tindak Lanjut [RKTL] Tahap I. Ada rangkaian kegiatan yang kita lakukan bersama-sama, termasuk hal-hal yang bersifat sangat teknis, melihat ke lapangan, mengukur titik bor yang dipersoalkan, batas letak dan seterusnya,” katanya.

Kegiatan RKTL I itu sendiri katanya telah berkahir pada Desember 2020 lalu di mana temuannya telah dilaporkan kepada para pihak terkait.

Lebih lanjut, jelasnya, RKTL I tersebut menghasilkan sejumlah tanggapan pun rencana-rencana tindak lanjut terhadap proyek itu dengan menyesuaikan berbagai hal yang dianggap perlu disesuaikan baik karena alasan lingkungan, masalah sosial, masalah ekonomi, masalah operasional dan sebagainya.

BACA: Bupati Mabar, Pastor Vikep Labuan Bajo, dan Perusahaan Pantau Titik Geothermal, Ibu-ibu: Listrik Sudah Ada, Kami Tolak!

“Salah satu rangkaian penyesuaian-penyesuaian yang perlu dilakukan perusahaan yang tertuang ke dalam laporan RKTL I itu adalah antara lain yang terpenting salah satunya terjadi perubahan prioritas langkah-langkah operasional di tingkat bawah,” ujarnya.

“Ini secara umum proyek masih berada didesain semula sesuai yang direncanakan, tetapi bagaimana mencapai, mewujudkan proyek itu dalam kondisi kondusif, baik untuk kepentingan lingkungan, kepentingan sosial, dan lain sebagainya. Perlu penyesuaian langkah prioritas-prioritas apa yang dilakukan,” tambahnya.

Perubahan Prioritas

Lebih lanjut Yando mengklaim bahwa di dalam RKTL II, penyesuain telah didapatkan. Adapun agenda yang dilaksanakan pada pertemuan kali ini ialah terkait dengan perubahan prioritas operasional untuk langkah eksplorasi yang semula dimulai dari Well Pad B kemudian disesuaikan menjadi Well Pad A.

Well Pad B sendiri terdapat di Kampung Nunang. Sementara, Well Pad A terdapat di Kampung Lempe.

“Dengan kata lain bisa kita simpulkan bahwa, kegiatan-kegiatan yang akan berlangsung di well pad, yang semula direncanakan di Well Pad B, untuk sementara akan ditunda pelaksanaannya tergantung nanti perkembangan apa yang kita peroleh melalui kegiatan pada Well Pad A,” tuturnya.

“Tetapi kami percaya bahwa di dalam proses-proses yang lalu, telah terjadi komunikasi antar proyek dengan bapak ibu sekalian selaku pemilik lahan. Dan oleh sebab itu, dengan adanya perubahan prioritas langkah operasional proyek ke depan ini, tentu perlu kita komunikasikan kembali rencana pemanfaatan lahan di Well Pad B itu,” tambahnya.

Ia menegaskan bahwa, pertemuan tersebut merupakan agenda tunggal yang harus dibuat untuk sampai pada rencana penggunaan lahan untuk kepentingan proyek tersebut.

BACA: Gereja Keuskupan Ruteng dan Geothermal Wae Sano

“Pada hari ini, pemerintah berharap kita bersama-sama dapat merumuskan informasi yang selengkap-lengkapnya, apa-apa yang sudah terjadi pada masa-masa lalu terhadap rencana penggunaan lahan itu,” katanya.

“Nah, dengan adanya perubahan, nah itu yang pertama kami ingin kumpulkan informasi yang lengkap tentang pembicaraan-pembicaraan yang telah dilakukan sebelumnya. Semacam menelusuri kembali apa yang sudah terjadi,” tambahnya.

Warga penolak menyampaikan aspirasinya. [Foto: Floresa].
Menurut Yando, dengan adanya perubahan prioritas dari well pad B ke well pad A, pemerintah dan pelaksana proyek belum bisa memastikan jangka waktu penundaan. Pihaknya ingin agar aspirasi dan pandangan pemilik lahan diakomodir untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.

“Secara proyek tentu, secara normal bahwa satu lahan yang tidak digunakan secara langsung oleh proyek tentu tidak bisa masuk ke dalam sistem keuangan proyek,” ujarnya.

“Pemerintah dan para pihak yang terlibat dalam proyek ini menyadari sepenuhnya bahwa proses-proses yang kita lalui selama ini tentu sudah membuat mungkin ada harapan ataupun sejenisnya dan juga misalnya hampir selama satu tahun atau lebih karena rencanan pemanfaatan lahan itu, lahan itu tidak lagi dapat digunakan oleh masyarakat dan seterusnya,” tambahnya.

BACA: Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi

Ia mengklaim perubahan operasional proyek tersebut tidak akan merugikan masyarakat. Ia justru menekankan dua agenda penting yakni melihat apa yang sudah terjadi serta menjaring aspirasi masyarakat untuk menyelesaikan rencana penggunaan lahan di well pad B.

“Atas hasil lonto leok hari ini, akan menjadi rumusan teman-teman dari PT Geodipa bersama pihak pemerintah daerah untuk merumuskan satu usulan untuk menyelesaikan rumusan bagaimana penyelesaian rencana penggunaan lahan di well pad B ini,” tuturnya.

“Muda-mudahan berdasarkan lonto leok kita hari ini, pemerintah bisa mengambil tindakan yang diperlukan bersama mitra kerjanya untuk penawaran penyelesaian yang tidak merugikan masyarakat,” tambahnya.

Tanggapan Pemilik Lahan        

Dalam pertemuan tersebut, hadir sekitar belasan dari 28 orang pemilik lahan di well pad B. Masing-masing yang hadir menyatakan sikapnya terhadap perwakilan pemerintah dan perusahaan.

Petrus Lapur misalnya menegaskan bahwa pembicaraan tentang well pad B seharusnya sudah selesai.

Pasalnya, saat Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi mengunjungi well pad B pada Mei lalu, warga dengan jelas dan tegas menyampaikan penolakan. Bahkan ibu-ibu melakukan aksi dan menangis di hadapan politisi Nasdem itu.

BACA: Catatan Hendro Sangkoyo Tentang Daya Rusak Industri Ekstraksi Panas Bumi untuk Pembangkitan Listrik

“Bagi kami, apa yang sudah diputuskan oleh pak bupati itu sudah selesai, tidak ada lagi pembicaraan hari ini,” katanya sembari menegaskan bahwa Kampung Nunang sudah nyaman untuk menjadi tempat tinggal.

Proyek geothermal yang digagas oleh pemerintah justru akan mengganggu kehidupan mereka.

Lebih lanjut, dia menyatakan bahwa dirinya bersama dengan pihak penolak proyek tersebut masih menunggu kehadiran Bank Dunia yang telah berjanji untuk datang ke Wae Sano untuk menemui mereka.

“Pernyataan dari Bank Dunia bahwa mereka akan mendatangi kami setelah covid ini mereda,” ujarnya sembari menambahkan bahwa harapan tersebut sudah dia sampaikan juga kepada Bupati Edi saat mengunjunginya di kediamannya pada suatu malam di Kampung Dasak.

Pemilik lahan lain yakni Siprianus Jalu menyampaikan tentang perhitungan ganti kerugian atas lahan dan tanaman serta janji sertifikasi atas lahan yang akan menjadi lokasi proyek.

Suasana Pertemuan di Kantor Desa Wae Sano [Foto: Floresa].
Lalu, ada juga Margaretha Mueng yang masih menunggu lahannya disertifikasi.

Sementara itu, Theresia Mila menegaskan menolak proyek tersebut. “Dakun ra pak, hena le dampak po’ong hitu. Landing aku ga warga tolak, dengan sendirnya po’ong hitu ga te teing laku,” ujarnya dalam bahasa Manggarai yang artinya menolak proyek tersebut.

BACA: Catatan Sosialisasi Lanjutan Proyek Geothermal Poco Leok: Warga Utarakan Kecemasan dan Penolakan

Ada juga Valentinus Emang yang dengan tegas menyatakan penolakan terhadap proyek tersebut. Penolakannya didasarkan pada laporan Tim Kerja yang dibentuk berdasarkan MoU antar Keuskupan Ruteng dan Pemerintah.

“Hasil rekomendasi dari tim kerja, wellped B dibatalkan, sehingga sekarang wellped B itu tidak bisa diganggu gugat lagi, karena sudah dibatalkan. Itu hasil rekomendasi. Ini ada kami pegang rekomendasinya ke pemerintah. Maka well pad B tidak boleh diganggu gugat baik oleh pemerintah maupun perusahaan,” tegas Valen.

Turut berbicara juga Maksimus Taman, selaku Tua Golo Nunang yang turut menjelaskan secara teknis proyek tersebut.

Sementara itu, merespons tanggapan pemilik lahan tersebut, Yando yang juga merupakan antropolog masyarakat adat itu mengaku hanya ingin fokus terhadap tahapan-tahapan yang tengah mereka jalankan, meskipun masih ada penolakan dari warga.

“Tujuan utamanya, walaupun tadi ada suara-suara tentang penolakan, tetap menolak, itu cerita yang lain lagi. Seperti yang diceritakan tadi, sudah ada di tangan Pa Bupati. Saya tidak akan mengulangi itu,” ujarnya sembari menyatakan bahwa kegiatan di well pad B tetap akan dijalankan.

Mengingat tidak semua warga pemilik lahan hadir dalam pertemuan tersebut, Yando berjanji akan berupaya untuk menemui pihak-pihak tersebut.

“Soal proyek itu lain lagi nanti. Ini kita bicara bagaimana, tadi kan orang per orang sudah berbicara oleh proyek begitu, yang 28 orang. Tentu yang tidak hadir kita akan coba lagi menghubungi masing-masing,” katanya.

BACA: Bencana Geothermal di Mandailing Natal Peringatan bagi Tempat Lain, Termasuk Flores

“Dengan pertemuan hari ini, masalah penyelesaian rencana penggunaan lahan di Well Pad itu menjadi resmi. Ada undangannya, terserah nanti, yang datang mungkin tidak semua. Yang ga datang bagaimana caranya kami akan mendatangi satu-satu mungkin aspirasinya. Dihadiri oleh Pa Camat, atas nama Pa Bupati,” kata Yando yang juga pakar antropologi juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat di Yogyakarta itu.

Petrus Sama, pemilik lahan lainnya menegaskan bahwa sudah sejak awal dirinya menolak proyek tersebut. Menurutnya, apa pun pembahasan teknis dan lain sebagainya dengan sendirinya sudah tidak relevan lagi.

“Sejak masuknya program ini, saya sudah menolak dari sana, dengan sendirinya apa yang menjadi proses, tahapan-tahapan dari apa, itu semua sudah saya tolak,” pungkasnya.

Pertemuan yang digelar di Kantor Desa Wae Sano berakhir sekitar pukul 11.30.

ARJ/Floresa

spot_img

Artikel Terkini