Catatan Sosialisasi Lanjutan Proyek Geothermal Poco Leok: Warga Utarakan Kecemasan dan Penolakan  

“Saya hanya memberi masukan, bahwa kegiatan seperti ini penting dilakukan di setiap kampung adat, sebab kehadiran kami di sini bukan berarti mewakili warga adat di kampung adat kami,"

“Kaka, mereka sudah datang semua. Ada beberapa mobil bagus sedang parkir depan Aula.”

Ungkapan itu, membuat kami langsung bergegas. Dengan meninggalkan kopi segelas yang baru saja disuguhkan oleh salah satu pemilik rumah di kampung adat Lungar.

Kami langsung menyiapkan tas, alat rekam dan kamera. Lalu menghampiri kendaraan roda dua yang kami gunakan untuk menuju ke Aula Stasi Lungar.

Aula Stasi Lungar dulunya adalah Gereja Katolik, Gereja dimana umat Katolik di Pocoleok berlutut untuk berdoa. Tempat dimana dulunya kami menata harapan tentang masa depan yang baik.

Namun beberapa warsa lalu, ada pembangunan Gereja baru dengan ukuran yang luas dan terlihat cukup megah, Gereja lama ini akhirnya dijadikan Aula.

Kami tiba di Aula Stasi Lungar dengan sapa riang dari beberapa orang yang sudah duluan tiba. Di Aula, Camat, Babinsa, Kapolsek dari Kecamatan Satar Mese beserta rombongan dari pihak PLN, peneliti dan mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Trisakti dan Universitas Pertamina Jakarta, sudah duduk di depan.

Terlihat beberapa orang sedang sibuk menyiapkan power point dan mic. Sementara peserta umumnya duduk berjarak menerapkan protokoler kesehatan. Setelah power point di layar besar sudah disiapkan. Penyelenggara acarapun memberi kode untuk memulai kegiatan.

Sabtu, 11 September merupakan momen dimana pihak Pemerintah Kecamatan dan PLN, mengadakan kegiatan sosialisasi ihwal eksplorasi geothermal di Pocoleok. Kegiatan ini dihadiri oleh tua adat dari lima kampung adat: Ncamar, Nderu, Lelak, Mesir dan Mocok.

BACA: Rencana Pengeboran Geothermal di Poco Leok dan Pengabaian Warga

Sementara tua dari beberapa kampung adat lainnya tidak hadir. Beberapa anak muda juga turut terlibat dalam kegiatan tersebut.

Dalam pembukaan acara, Camat Satar Mese mengatakan bahwa sosialisasi ini bertujuan untuk meminta ijin kepada tua-tua adat di Pocoleok.

“Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan sosialisasi dan meminta izin kepada tua-tua adat di Pocoleok, untuk melanjutkan survey pengeboran di 60 titik,” ujar Camat Satar Mese.

Setelah itu, Camat memberikan ruang seluas-luasnya kepada pihak PLN dan peneliti untuk mempresentasikan materi yang sudah disiapkan.

Namanya Aji, ia merupakan peneliti geofisika. Ia sudah sepuluh tahun bekerja di bidang yang digelutinya, itulah kalimat awal yang keluar dari mulut sang pemateri. Lalu ia melanjutkan untuk mempresentasi materi.

Dalam paparannya, ia memuji alam Pocoleok. Di dalamnya memiliki potensi energi terbarukan. Ia juga menjelaskan bahwa batuan dari Pocoleok yang sudah diteliti sebelumnya, itu sangat menarik dan baik.

Di sisi lain, Ia juga bersyukur bahwa PLTP Ulumbu selama ini sudah mendistribusikan listrik untuk Kota Ruteng (Ibu Kota Kabupaten Manggarai) hingga Labuan Bajo (Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat).

Dalam slide power point-nya, ditampilkan sebuah gambar dari gogle earth wilayah Pocoleok. Dalam gambar itu terdapat puluhan titik-titik bewarna merah dimana itu nantinya akan menjadi titik pengeboran pengambilan sample survey mereka.

Setelah mempresentasikan materi, ia langsung menyerahkan mic-nya kepada MC. Lalu MC memberikan kepada Camat untuk mengatur alurnya diskusi/dialog dengan masyarakat.

Camat pun langsung membuka sesi pertama kepada lima orang penanya.

Kecemasan dan Ketakutan Membeludak

Ada dua orang tua dan tiga anak muda mengangkat tangan untuk mengajukan pertanyaan.

Agustinus Tuju, tokoh muda dari kampung Nderu menyarankan agar sosialisasi dilakukan di setiap kampung.

“Saya hanya memberi masukan, bahwa kegiatan seperti ini penting dilakukan di setiap kampung adat, sebab kehadiran kami di sini bukan berarti mewakili warga adat di kampung adat kami,” kata Agustinus Tuju.

Hendrikus Hadu, tua adat dari kampung Ncamar tanpa tedeng aling-aling langsung menolak rencana pengeboran yang hendak dilakukan di wilayah adat mereka.

“Saya tidak mengizinkan, karena titik pengeboran itu dilakukan di kampung, perkuburan, dan di tanah ulayat (adat), serta dekat dengan sumber mata air dari kampung adat kami. Terimakasih tuan Camat,” jelas Hendrikus Hadu.

Hal yang sama disampaikan oleh Daniel Adur, tua adat Mocok. Ia memaparkan sesuatu dimensi antropologis. Menurutnya, betul apa yang disampaikan oleh Camat Satar Mese, pembangunan itu untuk mensejahterakan masyarakat, dalam arti bolek loke baca tara.

Pertama, pengeboran pengambilan sampel beberapa tahun belakangan, titiknya itu berada di Lingko Rame atau tanah ulayat komunal yang dikenal dengan istilah dalam Bahasa Manggarai, uman peang, gendang one.

“Dari sebab itu, kami semua lima penga di Gendang Mocok, menyatakan tidak setuju,” tegas Adur.

Lebih lanjut Adur menjelaskan beberapa alasan mereka tidak setuju.

“Pertama, apabila kami setuju, berarti semua ritus adat kami hilang, baik mbaru one lingko peang, rumah adalah tempat kami lahir dan tempat kami lindung sebelum kami lahir,” paparnya.

“Kedua, natas bate labar, kalau kami serahkan semua itu maka langsung hilang ritus adatnya,” tambahnya.

Ketiga, tutur Adur, ialah terkait dengan compang bate dari, kalau kami serahkan itu berarti budaya ritus adat itu akan hilang.

“Keempat, uma bate duat, kalau serah itu, maka semua ritus adat kami hilang. Kelima, wae bate teku sebagai sumber kehidupan kami,” pungkasnya.

Sementara itu perwakilan dari tokoh muda gendang Mocok menjelaskan tentang kondisi ril kecemasan dan ketakutan yang dihadapi masyarakat, terkait implikasi dari eksplorasi geothermal.

Dalam penjajakan kami juga, ketakutan dan kecemasan ini memang menghantui beberapa masyarakat di beberapa kampung adat di Poco Leok setelah ada kegiatan survey pengeboran pengambilan sample.

Setelah mendengar pertanyaan, keluh, kesah dan pernyataan sikap dari peserta. Camat dan pihak PLN pun menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh peserta.

“Saya menanggapi dari penanya pertama tadi, bahwa sosialisasi di setiap gendang tetap diteruskan kalau memang itu sudah dijadwalkan,” ujar Camat Satar Mese.

Selain itu ia juga menghimbau kepada pihak PLN agar dalam kegiatan pengeboran survey penting meminta izin dan memperhatikan daerah-daerah seperti di Lingko Rame, pekuburan, mata air dan compang.  Menurutnya jika tiitiknya ada di situ, maka harus digeser.

BACA: Bencana Geothermal di Mandailing Natal Peringatan bagi Tempat Lain, Termasuk Flores

Sementara dari pihak PLN, Aji menuturkan, bahwa geothermal itu baik untuk penerangan. Dalam gambar di materi yang ditampilkan, ia mengkomparasikan daerah-daerah seperti di Jawa.

Ia mengambil contoh di Dieng daerah Jawa Tengah yang berdekatan dengan lokasi geothermal, terdapat perkebunan teh dan usaha pertanian masyarakat.

Ia juga menjelaskan bahwa saat ini kita bisa menggunakan laptop, bisa cas handpone, buat story di Instagram, whatsapp, itu karena listrik dari PLTP Ulumbu.

Setelah ditanggapi berbagai pertanyaan pada sesi pertama, lalu penyelenggara acara menghimbau untuk makan siang. Semua yang hadirpun akhirnya berjalan satu-satu untuk mengambil makanan yang sudah dihidangkan.

Selesai makan siang, akhirnya sosialisasi dilanjutkan pada sesi kedua. Camat mengajak semua peserta untuk memfokuskan diskusi terkait tema sosialisasi.

Berbagai pertanyaan pada sesi kedua dimunculkan. Seperti, pernyataan dari salah satu tua adat kampung Mesir yang mengatakan, bahwa nama proyek ini tidak boleh diberi nama PLTP Ulumbu.

Terdapat juga orang tua yang mengatakan untuk tidak menyatakan sikap menolak atau menerima.

Ada juga beberapa anak muda yang menanyakan soal surat izin survey dari Universitas, serta menunjukan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dari mahasiswa, menanyakan soal independensi peneliti, serta menjelaskan bahwa Pocoleok sebagai daerah wisata tidak pernah cocok dengan geothermal.

Menanggapi itu semua, dengan spontanitas para mahasiswa menunjukan KTM mereka masing-masing dengan wajah tersenyum.

Mengambil Keputusan: Menolak dan Mengizinkan Untuk Survey Pengeboran

Lalu Camat akhirnya mengajak peserta untuk masuk pada hal inti yakni meminta tua-tua adat yang hadir untuk menyatakan apakah menolak atau menerima tentang survey pengeboran geofisika yang dilakukan oleh PLN.

Camat juga dengan tegas mengatakan bahwa sudah ada kejujuran dari pihak PLN yakni kegiatan ini memang berkaitan dengan pengeboran geothermal nantinya.

Kelima tua adat yang hadir pun langsung berbicara. Tua Gendang Lelak, Damianus Jehaman mengatakan jika untuk keperluan studi, maka saya mengizinkan.

Namun selesai acara dia menjelaskan kepada kami, jikalau nanti tujuannya adalah geothermal, maka saya akan menolak.

BACA: Meski Dijanjikan Membawa Kesejahteraan dan Tidak Beresiko, Proyek Geothermal Wae Sano Tetap Ditolak Warga

Sementara dari gendang Mesir, belum bisa mengambil keputusan. Sebab kehadirannya bukan mewakili secara menyeluruh anggota adat. Apalagi model pembagian tanah di kampung adat Mesir, bukan bersifat komunal, melainkan sudah berbentuk moso atau pemilikan pribadi dan bersifat warisan.

Ia juga melanjutkan kalau tanah yang dibor nantinya di tanah saya maka saya akan mengizinkan.

Dari gendang Nderu, juga tidak mengambil keputusan. Karena kehadirannya bukan perwakilan dari warga adat.

Sementara dua kampung yang solid menyatakan sikap penolakan adalah Gendang Ncamar dan Mocok. Mereka secara tegas menolak untuk pengeboran survey.

Setelah pernyataan dari tua-tua adat, Camat akhirnya menutup kegiatan, lalu bersalaman jarak jauh (mematuhi prokes) dengan peserta lainya.

Hujan cukup deras, dan pihak Pemerintah Kecamatan, akhirnya pamit pulang. Begitu juga dengan pihak PLN dan Universitas, berpamitan pulang.

Catatan ini dibuat oleh Warga Adat Poco Leok, Ernest Teredi dan Marselinus J. Jaya

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini