PMKRI: Jangan Takut Membela Rakyat yang Tertindas

Sikap pemerintah yang ngotot melanjutkan rencana eksplorasi geothermal tak menyurutkan perjuangan warga. Mereka mempertaruhkan apa pun demi keselamatan lingkungan Wae Sano. Sebab kawasan di sekitar Danau Sanonggoang itu merupakan ruang hidup warisan leluhur yang harus mereka jaga untuk diwariskan kepada anak cucu kelak.

Labuan Bajo, Floresa.coPintu gerbang kantor Bupati Manggarai Barat (Mabar) setinggi lebih dari dua meter, tertutup rapat pada Rabu, 2 Februari 2022. Di balik pintu yang terbuat dari besi itu, puluhan Polisi Pamong Praja (Pol PP) tampak siaga.

Mereka menahan pintu yang terus didorong oleh mahasiswa. Di hadapan mereka, di luar pagar tersebut, lebih dari seratus orang demonstran berusaha menerobos masuk.

“Kawan-kawanku sekalian. Jangan pernah mundur. Jangan pernah takut. Kita adalah pembela rakyat. Memperjuangkan hak-hak orang yang tertindas!”

Orasi Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng, Yohanes Nardi Nandeng melalui pengeras suara dari mobil komando membakar semangat massa untuk terus maju.

Dan setelah lebih dari satu jam berusaha menerobos, akhirnya mahasiswa merobohkan pintu gerbang. Beberapa mahasiswa yang mengenakan baret merah bol kuning pada barisan terdepan menerobos masuk area kantor bupati.

Saat itu, terlihat seorang aktivis mahasiswa ditarik beberapa anggota Polisi Pamong Praja. Mereka menggebuknya hingga jatuh terkapar lalu ditendang dan diinjak. Saat bersamaan, terlihat beberapa polisi dari Polres Mabar mencegah Pol PP.

BACA: Proyek Geothermal Dipaksakan, Warga Wae Sano: Kalau Pemerintah Tetap Ngotot, Kami Siap Mati

Mahasiswa yang belakangan diketahui bernama Apolinaris Marisal itu kemudian diarahkan ke halaman depan Kantor Bupati Mabar. Di sana, ia dikelilingi oleh beberapa orang. Antara lain, Kepala Satuan Pol PP Stef Salut dan Staf Khusus Bupati Bernardus Barat Daya.

Dua orang dekat Bupati Mabar yang juga alumni PMKRI ini mempersoalkan demonstran yang dinilai tidak sopan. Salah satunya, tindakan merobohkan pintu gerbang dan menerobos barikade Pol PP.

Apolinaris menjelaskan, ia bersama demonstran lainnya tidak pernah berniat untuk mendobrak pintu gerbang. Mahasiswa dan warga Wae Sano hanya ingin menyampaikan langsung aspirasinya kepada Bupati dan Wakil Bupati Mabar.

Namun niat mereka dihalangi Pemkab Mabar dengan mengunci pintu gerbang. Mereka pun berusaha mendorong gerbang agar bisa masuk dan menyampaikan langsung tuntutannya kepada Bupati dan Wakil Bupati Mabar. Itu sebabnya, pintu gerbang roboh setelah berkali-kali didorong dan ditarik oleh mahasiswa.

Salah satu aktivis mahasiswa PMKRI saat beradu pendapat dengan Kepala Satpol PP Mabar, Stef Salut dan Alumnus PMKRI, Dus Barat Daya di Halaman Depan Kantor Bupati Mabar. [Foto: Istimewa].
Seakan tak mau mendengarkan penjelasan tersebut, Bernardus memotong pembicaraan Apolonaris dengan suara keras. “Jangan. Jangan. Kau juga jaga sopan santun cara ngomong. Kami ini omong dengan kau juga sopan santun. Gitu lho.”

BACA: Komite Bersama Proyek Geothermal Klarifikasi Surat Warga Wae Sano kepada Bank Dunia

Ia bahkan menuduh gerakan mahasiswa bermuatan politis. “Kalau menyampaikan pendapat, boleh-boleh saja. Asal jangan ada unsur politiknya,” ujar mantan anggota DPRD Mabar itu.

Desakan massa untuk menyampaikan langsung aspirasinya baru terpenuhi sekitar pukul 12.00 WITA. Satpol PP mengizinkan 10 orang perwakilan massa yang terdiri dari lima orang mahasiswa dan lima orang warga Wae Sano.

Di ruang pertemuan yang terletak di lantai dua kantor bupati, tampak Wakil Bupati Yulianus Weng, Sekretaris Daerah Hans Odo, Wakapolres Mabar Eliana Papote dan sejumlah pejabat. Sementara Bupati Edistasius Endi tidak terlihat.

Audiensi berjalan sekitar 30 menit. Warga dan mahasiswa menyampaikan aspirasinya. Mereka mempertahankan ruang hidupnya di Wae Sano, Kecamatan Sanonggoang yang kini terancam dengan rencana proyek pengeboran panas bumi (geothermal) untuk tenaga listrik.

Pada akhir sesi penyampaian aspirasi, Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng Yohanes Nardi Nandeng menyampaikan pernyataan sikap. Mereka mendesak Pemkab Mabar, Kementerian ESDM, dan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk menghentikan seluruh proses proyek ekstraksi panas bumi Wae Sano.

Mereka juga mendesak Bank Dunia agar membatalkan kerja sama dan pemberian dana hibah kepada PT SMI dan PT GeoDipa Energi.

Pemerintah, kata Nardi, jangan menjadi pelayan investor dan elit politik tertentu lalu mengabaikan kepentingan masyarakat Wae Sano yang sejak lima tahun lalu berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

Massa mendesak Bank Dunia agar tidak memberikan uang kepada pelaksana proyek, PT SMI dan Geo Dipa Energi. [Foto: Floresa].
Bagi mereka, rencana penambangan panas bumi yang persis berhimpitan dengan pemukiman dan rumah adat, sumber air, lahan pertanian/perkebunan, fasilitas publik seperti sekolah dan gereja, itu tentu saja membawa ancaman besar bagi warga.

Mereka memaparkan sejumlah contoh kerusakan lingkungan dan bahaya yang ditanggung masyarakat pada beberapa lokasi penambangan geothermal untuk pembangkit listrik.

Yang terdekat, misalnya, di Ulumbu dan Mataloko. Masyarakat sekitar lokasi pengeboran panas bumi menanggung resiko berupa atap rumah yang karatan, menurunnya produktivitas tanaman, hingga rusak dan menipisnya lahan produktif.

Belum lagi soal adanya korban jiwa akibat semburan gas seperti yang dialami warga Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal pada akhir Januari 2021 lalu.

Bagi mereka, ada yang aneh di balik ngototnya pemerintah untuk melanjutkan proyek tersebut sementara warga setempat bersikeras untuk menolak.

“Ekstraksi panas bumi dalam skala raksasa itu hanya untuk memenuhi kebutuhan industri pariwisata yang model pengembangan pariwisatanya sendiri bermasalah dan dikuasai segelitir elit politik dan pengusaha tertentu,” kata Nardi.

BACA: Pemerintah Hendak Eksekusi Proyek Geothermal Wae Sano, Warga Tetap Menolak dan Tagih Janji Bank Dunia

Massa aksi mempertanyakan keberadaan Bupati Mabar. [Foto: Floresa].
Kritikan dan penolakan mahasiswa dan warga tidak ditanggapi oleh Wakil Bupati Yulianus Weng. Weng hanya membacakan dokumen berupa penjelasan PT Geo Dipa, investor yang akan menangani proyek itu.

Dokumen tersebut mengklaim cara kerja proyek geothermal Wae Sano tidak akan mengganggu ruang hidup warga sekitar.

“Ini kami akan foto kopi dan akan kami berikan kepada adik-adik untuk menjadi sumber atau pemahaman bersama bagi kita semua,” ujar Weng usai membacakan dokumen tersebut.

Pertemuan pun berakhir meski aspirasi warga dan mahasiswa tak didengarkan oleh Pemkab Mabar. Selanjutnya massa bergerak ke kantor DPRD Mabar. Di sana, tak seorang pun wakil rakyat menyambut mereka.

Sikap pemerintah yang ngotot melanjutkan rencana eksplorasi geothermal tak menyurutkan perjuangan warga. Mereka mempertaruhkan apa pun demi keselamatan lingkungan Wae Sano. Sebab kawasan di sekitar Danau Sanonggoang itu merupakan ruang hidup warisan leluhur yang harus mereka jaga untuk diwariskan kepada anak cucu kelak.

“Kalau pemerintah tetap ngotot, kami bertaruh nyawa. Kami siap mati untuk mempertahankan ruang hidup kami,” kata perwakilan warga Wae Sano, Frans Napang.

Tim Floresa

spot_img

Artikel Terkini