Gelar Aksi Bakar Lilin dan Doa, Warga di Manggarai Timur Protes Penetapan Tersangka Gregorius Jeramu dalam Kasus Terminal Kembur

"Peristiwa yang dialami Bapak Gregorius adalah ancaman nyata bagi kita di kemudian hari. Bagaimana mungkin, kita sebagai pemilik yang menjual tanah menjadi tersangka. Tentu ini tidak diterima secara akal sehat," kata salah seorang orator.

Floresa.co – Lebih dari 50 warga menggelar aksi bakar lilin dan doa meminta keadilan bagi Gregorius Jeramu, warga yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur.

Aksi yang berlangsung pada Selasa malam, 1 November 2022 pada pukul 20.00 – 21.00 Wita itu di pertigaan jalan menuju Lehong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, merespon langkah Kejaksaan Negeri Ruteng yang menetapkan Gregorius (67), pemilik lahan Terminal Kembur sebagai tersangka.

Philipus Jehamat (53), adik Gregorius, mengatakan, aksi itu merupakan langkah awal yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan bagi Gregorius yang kini sudah ditahan.

“Selain aksi bakar lilin dan doa pada malam ini, kami keluarga juga akan menggelar aksi demonstrasi ke Kejaksaan Negeri Manggarai,” katanya kepada Floresa.co usai aksi.

“Semoga dengan cahaya lilin dan doa keluarga dan masyarakat lain yang bersolidaritas pada malam ini, pikiran jaksa bisa terbuka dan melihat secara jernih kasus ini,” tambahnya.

Dalam keterangan pers pada Jumat, 28 Oktober 2022, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Bayu Sugiri mengatakan Gregorius ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai pemilik lahan yang tidak memiliki alas hak berupa sertifikat atas tanah yang ia jual kepada Pemerintah Manggarai Timur untuk pembangunan terminal.

Lahan seluas 7.000 meter persegi di Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong itu dibeli pemerintah pada tahun 2012 dan 2013 dengan harga Rp 420 juta atau setelah dipotong pajak menjadi Rp 402.245.455.

Bayu mengatakan, saat melakukan perjanjian pembebasan lahan, Gregorius hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) sebagai alas hak, sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.

Selain Gregoris, Kejaksaan juga menetapkan tersangka Benediktus Aristo Moa, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Hubkominfo) Manggarai Timur, karena dianggap tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.

Tindakan keduanya, kata Bayu, merugikan keuangan negara dengan nilai kerugian total (total loss) atau senilai yang telah dibayarkan kepada Gregorius, yakni Rp 402.245.455.

Vitus Akong, koordinator aksi tersebut, dalam orasinya mempertanyakan penetapan tersangka Gregorius, yang disebutnya bentuk “pelacuran hukum” oleh Kejaksaan Negeri Manggarai.

“Peristiwa ini [penetapan tersangka terhadap Gregorius] mau menghilangkan kita dari tempat ini. Pengakuan terhadap hak ulayat sudah bukan menjadi kekuatan apa-apa lagi,” katanya.

Vitus Akong, koordinator aksi tersebut menyebut penetapan tersangka Gregorius Jeramu adalah bentuk “pelacuran hukum” oleh Kejaksaan Negeri Manggarai. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

“Peristiwa yang dialami Bapak Gregorius adalah ancaman nyata bagi kita di kemudian hari. Bagaimana mungkin, kita sebagai pemilik yang menjual tanah menjadi tersangka. Tentu ini tidak diterima secara akal sehat. Kalau Bapak Gregorius ikut terlibat memperkaya orang lain, orang lain yang mana yang diperkaya oleh Bapak Gregorius?” katanya.

“Kenapa aktor utama tidak ditangkap dan tidak disamakan statusnya saat ini,” katanya tanpa menjelaskan rinci aktor utama yang dia maksud.

“Bapak Gregorius jadi tumbal dari arogansi kekuasaan,” tambahnya.

Aksi tersebut diikuti oleh kerabat Gregorius dan warga lain di Kembur. Selain menyalakan lilin dan berdoa, beberapa warga bergantian melakukan orasi dan membacakan puisi menuntut keadilan untuk Gregorius.

Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan, yang umumnya berupa bis kayu, dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur, yakni dari Kecamatan Elar Selatan, Kecamatan Kota Komba bagian utara, Kecamatan Borong bagian utara dan beberapa wilayah lainnya, dengan angkutan khusus menuju Borong.

Untuk mengerjakan terminal tersebut, Pemkab Manggarai Timur melalui Dinas Hubkominfo menelan anggaran sebesar Rp 4 miliar.

Anggaran itu terhitung dari Rp 402 juta untuk pengadaan lahan tahun 2012 dan 2013 ditambah dengan Rp 3,6 miliar untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015.

Jaksa sudah mengendus kasus terminal ini sejak Januari 2021 dengan mengamati keberadaan bangunan terminal yang tidak terpakai sejak selesai dibangun.

Penyidik setidaknya telah memeriksa 25 orang saksi kasus ini, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote; hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Hubkominfo, seperti Kepala Dinas Jahang Fansialdus dan Kepala Bidang Perhubungan Darat, Gaspar Nanggar. Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.

Namun, Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.

spot_img

Artikel Terkini