Protes Terhadap Penetapan Tersangka Gregorius Jeramu Berlanjut, Warga Gelar Aksi Damai di Borong

Demonstran menuding penetapan tersangka Gregorius Jeramu merupakan "bentuk diskriminasi hukum terhadap masyarakat kecil yang tidak mengerti hukum."

Floresa.co – Warga di Kabupaten Manggarai Timur menggelar aksi damai pada Rabu, 2 November 2022 di mana mereka menyuarakan protes terhadap penetapan status tersangka Gregorius Jeramu [62] dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Terminal Kembur.

Unjuk rasa oleh Aliansi Masyarakat Adat Kembur dan Masyarakat Peduli Keadilan ini merupakan lanjutan dari aksi protes berupa bakar lilin dan doa bersama yang diadakan pada Selasa, 1 November.

Dalam aksi damai ini, massa yang berjumlah lebih dari 100 orang berorasi mengitari kota Borong. Mereka terlihat berhenti di beberapa titik sembari membentangkan spanduk yang berisi tuntutan  pembebasan Gregorius dari status tersangka.

Selain itu, mereka juga mendatangi kantor DPRD Manggarai Timur, meminta bantuan untuk memberi perhatian pada kasus ini.

Vitus Akong, salah satu orator mengatakan, penetapan tersangka Gregorius  oleh Kejaksaan Negeri [Kejari] Manggarai merupakan “bentuk diskriminasi hukum terhadap masyarakat kecil yang tidak mengerti hukum.”

“Bapak Gregorius hanyalah seorang petani kecil yang tidak sekolah tinggi. Dia tidak mengerti prosedur dan regulasi terkait jual-beli tanah, sedangkan pembeli adalah pemerintah yang tahu aturan jual-beli tanah,” katanya.

“Mengapa Pemerintah Manggarai Timur dalam hal ini Dinas Perhubungan tetap beli tanah itu, sementara mereka tahu bahwa tanah tersebut tidak ada sertifikat?” lanjut Vitus.

Gregorius ditetapkan sebagai tersangka pada 28 Oktober 2022 bersama Benediktus Aristo Moa, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo).

Bayu Sugiri, Kepala Kejari Manggarai mengatakan Gregorius ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai pemilik lahan yang tidak mengantongi alas hak berupa sertifikat.

Lahan seluas 7.000 meter persegi di Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong itu dibeli pemerintah pada tahun 2012 dan 2013 dengan harga Rp 420 juta atau setelah dipotong pajak menjadi Rp 402.245.455 untuk pembangunan Terminal Kembur.

Bayu mengatakan, saat melakukan perjanjian pembebasan lahan, Gregorius hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) sebagai alas hak, sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.

Aristo Moa menjadi tersangka karena tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.

Tindakan keduanya, kata Bayu, merugikan keuangan negara dengan nilai kerugian total (total loss) atau senilai yang telah dibayarkan kepada Gregorius, yakni Rp 402.245.455.

Vitus dalam orasinya mempersoalkan alasan Bayu dengan mengatakan, Gregorius menguasai dan mengolah tanah yang kini sudah dibangun terminal tersebut sejak berpuluh-puluh tahun, yang status kepemilikannya sah secara huku dan kearifan lokal masyarakat hukum adat.

Massa mengatakan aksi ini akan terus berlanjut jika Gregorius Jeramu tetap dinyatakan sebagai tersangka. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

“Saat ini yang terjadi di masyarakat adalah kecemasan dan kekhawatiran terhadap persoalan yang dialami Bapak Gregorius Jeramu, juga akan dialami oleh warga lain yang telah menjual tanah tanpa sertifikat karena berisiko akan dipidanakan,” katanya.

Mestinya, kata dia, Kejaksaan melakukan uji petik terkait status kepemilikan tanah-tanah di Kembur sebelum menetapkan Gregorius sebagai tersangka.

“Jaksa tidak boleh memperkosa kearifan lokal masyakat adat soal status kepemilikan tanah,” teriaknya.

Vitus mengatakan, sejauh ini,  tidak ada pihak lain yang mengklaim tanah yang dijual Gregorius tersebut.

“[Karena] secara adat dan budaya kami, masyarakat Kembur mengakui bahwa tanah itu betul-betul milik Bapak Gregorius,” katanya.

“Tetapi, saat ini, tanpa mempertimbangkan kearifan lokal kami, Kejaksaan Negeri Manggarai menetapkan Bapak Gregorius sebagai tersangka,” tambahnya.

Ketika Vitus bertanya kepada masaa, “Apakah ini keputusan hukum yang adil?” mereka meresponnya dengan berteriak,  “Tidak…tidak …tidak…!”

Pantauan Floresa.co aksi tersebut menarik perhatian warga di sepanjang jalan Kembur-Borong. Tampak sejumlah warga yang berdiri di pinggir jalan mengacungkan jempol mereka ke arah massa aksi.

Di kantor DPRD, massa meminta para wakil rakyat memberikan atensi khusus terhadap kasus ini.

Bernadus Nuel, Pelaksana Tugas Ketua DPRD Manggarai Timur berjanji segera membuat rapat bersama Forkopimda membahas masalah tersebut.

“Segala aspirasi, kegusaran, kegelisahan dari Masyarakat Adat Kembur terkait Gregorius Jeramu, kami semua anggota dewan sudah mencatat dalam hati kami masing-masing. Kami siap menjembatani dan membantu dengan cara kami terkait persoalan ini,” katanya.

“DPRD turut prihatin dan tidak akan tidur lihat persoalan ini,” tambahnya.

Pankrasius Candra Juang Aliman, koordinator umum aksi mengatakan, aksi tersebut merupakan prakondisi sebelum mereka menggelar aksi lainnya.

“Dalam waktu dekat, kami akan lakukan demonstrasi besar-besaran di kantor Kejari Manggarai,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Firman Jaya, salah satu orator.

Ia mengatakan, jika Kejari Manggarai tidak segera membebaskan Gregorius dari status tersangka, selain menggelar demonstrasi dengan jumlah massa aksi ribuan orang, mereka juga akan menyurati Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Agung, dan Presiden Joko Widodo untuk memberi atensi atas kasus tersebut.

Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.

Untuk mengerjakan terminal tersebut, Pemkab Manggarai Timur melalui Dinas Hubkominfo menelan anggaran sebesar Rp 4 miliar. Anggaran itu terhitung dari Rp 402 juta untuk pengadaan lahan tahun 2012 dan 2013 ditambah dengan Rp 3,6 miliar untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015.

Jaksa sudah mengendus kasus terminal ini sejak Januari 2021 dengan mengamati keberadaan bangunan terminal yang tidak terpakai sejak selesai dibangun.

Penyidik setidaknya telah memeriksa 25 orang saksi kasus ini, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote; hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Hubkominfo, seperti Kepala Dinas Jahang Fansialdus dan Kepala Bidang Perhubungan Darat, Gaspar Nanggar. Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.

Namun, Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini