BerandaREPORTASEMENDALAMSurati Kapolri Terkait Ancaman...

Surati Kapolri Terkait Ancaman dan Dugaan Kriminalisasi, Forum Jurnalis Flores-Lembata Desak Pecat Kapolres Nagekeo

Para jurnalis menilai pernyataan Kapolres Nagekeo adalah ancaman serius terhadap keselamatan mereka dan penghinaan terhadap profesi jurnalis.

Floresa.co – Forum Jurnalis Flores-Lembata mendesak pimpinan Polri untuk memecat Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata yang menyebar ancaman, hinaan dan diduga mendalangi kriminalisasi seorang jurnalis terkait pemberitaan.

Forum itu menyampaikan desakannya dalam surat yang dikirim pada Kamis, 20 April 2023 kepada Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Dalam surat yang ditandatangani Ebed de Rosary dan Alex Nunu, koordinator dan sekretaris forum itu, mereka “mendesak Kapolri untuk memeriksa dan memecat AKBP Yudha Pranata.”

Selain itu, para jurnalis berbagai media yang bertugas di daratan Pulau Flores dan Lembata itu juga “meminta Komisi III DPR-RI segera memanggil Kapolri untuk mempertanggungjawabkan tindakan Kapolres Nagekeo.” 

Kapolres Yudha mendapat sorotan usai beberapa tangkapan layar berisi obrolan di grup WhatsApp KH Destro atau Kaisar Hitam Destroyer yang dibuatnya tersebar luas.

Obrolan di grup dengan anggota polisi dan sejumlah jurnalis itu berisi rencana untuk melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis Tribunflores.com, Patrik Meo Djawa. 

Mereka antara lain mendiskusikan bagaimana menjadikan Patrik stres, mematahkan rahangnya, hingga menjadikannya sampah.

Forum Jurnalis Flores-Lembata mengatakan, percakapan dalam grup WA itu diduga merupakan permufakatan jahat terhadap Patrik.

“Permufakatan jahat” tersebut “merupakan ancaman serius terhadap kemerdekaan pers,” kata mereka. 

Mereka juga menyebut pernyataan Yudha bahwa Patrik adalah wartawan sampah yang hendak dibuang atau dimusnahkan sebagai “ancaman serius terhadap keselamatan jurnalis” sekaligus penghinaan terhadap profesi mereka.

Dengan mendirikan kelompok KH Destro, kata mereka, Yudha juga “diduga telah mendesain perpecahan antarwartawan dan mendesain upaya kriminalisasi terhadap Patrik.”

Berawal dari Polemik Berita

Kasus ini bermula dari peristiwa penghadangan mobil Kapolres Yudha oleh sekelompok pemuda di Aeramo pada Minggu, 9 April, yang disebut sedang mabuk minuman keras.

Peristiwa itu sempat tersiar luas melalui video amatir berdurasi 46 detik yang memperlihatkan salah satu pemuda yang ditangkap itu diikat dengan tali, lalu dibanting oleh seorang polisi. Kapolres Nagekeo ikut menyaksikan peristiwa itu.

Usai beredarnya video itu, Patrik menghubungi Kasat Reskrim Polres Nagekeo, Iptu Rifai untuk mendapatkan informasi terkait peristiwa tersebut. Namun, pesan yang terkirim melalui aplikasi WhatsApp tidak direspon Kasat Reskrim. 

Sehari kemudian, barulah Patrik mendapat informasi dari warga Suku Nataia yang juga keluarga salah satu pemuda yang diamankan polisi, lalu menulis berita.

Dalam berita yang dimuat di media Tribun Network,Tribunflores.com dan Poskupang.com itu, Patrik juga menjelaskan bahwa salah satu pemuda yang ditangkap itu adalah keponakan dari ketua Suku Nataia.  Ia juga menyinggung jasa suku tersebut yang menyerahkan lahan secara cuma-cuma untuk pembangunan fasilitas Polres Nagekeo.

Belakangan, para pemuda yang ditangkap itu dibebaskan menyusul pencabutan laporan polisi yang diajukan oleh ajudan Kapolres Yudha.

Usai berita itu tayang, Patrik kemudian dilaporkan ke polisi oleh Ketua Suku Nataia, Patrisius Seo pada Senin, 10 April, dengan tuduhan mencemarkan nama baik suku tersebut.

Setelah laporan itu, beredar isi obrolan di grup WA Destro, di mana Kapolres Yudha meminta jurnalis di grup itu untuk mewawancarai Patrik terkait laporan Ketua Suku Nataia.

Ia juga meminta para jurnalis itu mengirimkan bukti hasil permintaan klarifikasi kepada Patrik dan “bikin dia stres.”

Anggota-anggota grup itu menulis komentar yang mengarah ke Patrik, seperti “patahkan rahangnya,” “dijadikan sampah,” dan “dimusnahkan saja.” 

Dalam salah satu komentar lainnya, Kapolres Yudha menyatakan: “sampah mau ‘dibuang’ atau ‘dimusnahkan.’”

Ia sudah mengakui lewat video di kanal YouTube Humas Polres Nagekeo pada Sabtu, 15 April terkait kebenaran isi obroal itu dan mengakui bahwa “Destro adalah tim saya.”

“Ini untuk pembinaan dan juga sebagai mitra Polri dalam bentuk penyiaran berita yang tidak pernah kita tutupin,” katanya dalam video itu, di mana dia didampingi tersangka kasus pengadangan mobil bersama keluarga dan pengacara mereka, perwakilan Suku Nataia dan Camat Aesesa Yakobus Laga.

Yudha juga mengakui bahwa obrolan dalam tangkapan layar itu adalah “petunjuk bagi wartawan saya.”

Ia mengatakan, komentar-komentar yang menyebut Patrik dibuat stres, dibuang dan dimusnahkan, muncul “karena perbuatan saudara Patrik sering buat kita pening.”

Patrik, katanya, kerap tidak menulis berita berdasarkan rilis resmi polisi, “tetapi dia investigasi sendiri,” yang menurutnya “terkesan mengaburkan” fakta. 

Minta Atensi Dewan Pers dan Organisasi Pers Nasional

Forum Jurnalis Flores-Lembata menyatakan kebencian Yudha sudah berlangsung lama terhadap Patrik dan jurnalis lainnya yang tidak bergabung dalam KH Destro karena “kerap menyajikan berita berdasarkan data investigasi, tidak semata-mata berdasarkan siaran pers pihak Polres Nagekeo.”

Namun, kata mereka, ia baru menemukan pelampiasannya ketika Ketua Suku Nataia melaporkan Patrik dengan tuduhan mencemarkan nama baik suku tersebut. 

Padahal, menurut forum itu, apa yang dipersoalkan ketua suku merupakan produk jurnalistik yang seharusnya menjadi tanggung jawab redaksi media tempat Patrik bekerja dan sengketa karya jurnalistik merupakan urusan Dewan Pers, bukan ranah kepolisian. 

Mereka mempersoalkan Yudha yang justru “memerintahkan jurnalis binaannya untuk mendesain berita yang membuat Patrik stres dengan laporan ketua suku.”

Dalam salinan pernyataan Forum Jurnalis Flores-Nagekeo, mereka juga mengharapkan perhatian dari Dewan Pers dan organisasi pers di tingkat nasional terhadap kasus ini.

Mereka meminta Dewan Pers untuk “memberikan perhatian serius demi menjamin kemerdekaan pers bagi jurnalis yang bertugas di Kabupaten Nagekeo.” 

Sementara kepada Komite Keselamatan Jurnalis dan organisasi-organisasi pers nasional mereka meminta untuk “memberikan advokasi kepada Patrik dan jurnalis lainnya yang mengalami masalah serupa.”

Mereka menegaskan bahwa sebagai pilar ke empat demokrasi, selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif, “insan pers yang bertugas di Kabupaten Nagekeo merupakan mitra sekaligus pengontrol kinerja Polres Nagekeo.”

“[Pers dan jurnalis] bukan bawahan yang dijadikan obyek binaan Kapolres,” kata mereka.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga