Floresa.co – Pemerintah dan DPRD Kabupaten Manggarai Barat menetapkan pajak jasa hiburan pada angka minimum sesuai yang diatur dalam undang-undang.
Sesuai isi Peraturan Daerah atau Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah Nomor 6 tahun 2023, khusus untuk Pajak Barang Jasa Tertentu [PBJT] atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah di ujung barat Pulau Flores itu menetapkan angka 40 persen.
Dengan ketentuan tersebut, Manggarai Barat memilih angka minimum dari yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah [UU HKPD]. Pasal 58 UU itu menetapkan nilai pajak hiburan antara 40- 75 persen.
Tarif ini juga lebih rendah dibandingkan Perda Kabupaten Manggarai Barat Nomor 5 tahun 2012 tentang Pajak Hiburan.
Perda lama itu yang masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menetapkan pajak hiburan 45 persen.
Ketua DPRD Kabupaten Manggarai Barat, Martinus Mitar mengatakan mereka hanya mengikuti ketentuan yang ada di dalam UU HKPD.
“Yang tidak boleh itu di bawah ketentuan UU dan di atas ketentuan UU,” ujarnya kepada Floresa pada 16 Januari.
Ia berkata tarif tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan “daerah kita lagi berkembang.”
Karena itu, kata dia “kita tidak serta merta ambil tarif yang maksimum.”
Selain itu, pertimbangan yang tak kalah penting, kata Martinus, adalah kondisi sektor-sektor jasa hiburan di Labuan Bajo yang masih dalam proses pemulihan dari pandemi Covid-19 selama beberapa tahun.
“Atas pertimbangan-pertimbangan itu, kita mengambil tarif yang paling rendah,” ujar politikus Partai Nasdem ini.
Kepala Badan Pendapatan Daerah Manggarai Barat, Maria Yuliana Rotok mengatakan tahun ini pihaknya menetapkan target penerimaan pajak hiburan sebesar Rp1.376.292.769.
Target ini meningkat dari tahun lalu Rp1.058.686.746.
Maria menampik penurunan tarif tahun ini berpotensi makin menurunkan penerimaan pajak hiburan, mengingat pada tahun lalu realisasinya hanya Rp599.253.188 atau hanya 57 persen.
Penerimaan pajak, kata dia, “bisa naik dan bisa turun, karena pertumbuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh kenaikan atau penurunan tarif.”
Ia tidak merinci pemicu rendahnya penerimaan pajak hiburan tahun lalu.
Implementasi UU HKPD kini ramai dibicarakan di sejumlah wilayah di Indonesia.
Para pelaku usaha, terutama di daerah pariwisata seperti Bali dan Jakarta melakukan penolakan.
Mereka beralasan PBJT yang diatur dalam UU HKPD terlalu tinggi, tidak mempertimbangkan kondisi sektor ini yang baru saja pulih dari pandemi Covid-19.
Pelaku usaha juga mempersoalkan masuknya mandi spa dalam kategori jasa hiburan.
Mestinya, klaim mereka, spa bukan masuk kategori hiburan, tetapi bagian dari jasa kesehatan (wellness).