Floresa.co – Di tengah menguatkan desakan warga Poco Leok agar mencabut izin lokasi proyek geotermal, Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit terbang jauh ke Sulawesi Utara bersama rombongan para pimpinan daerah untuk studi banding ke salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP].
Kunjungan itu, klaim Nabit, dibiayai sepenuhnya oleh PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN], yang mengerjakan proyek di Poco Leok, hal yang memicu dugaan sebagai bagian dari praktik gratifikasi.
Rombongan itu berangkat dari Manggarai pada 9 Maret menuju PLTP Lahendong di Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, yang ditangani oleh PT PT Pertamina Geothermal Energy [PGE].
Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Fauzi dan Komandan Kodim 1612 Manggarai Budiman Manurung ikut dalam rombongan.
Selain itu, Sekretaris Daerah Fansy Aldus Jahang, Asisten Bidang Perekonomian Marianus Yosef Djelamu, Kepala Badan Kesbangpol Gondolpus B. Nggarang dan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Livinus Vitalis Liven juga turut serta.
Dari unsur legislatif, ada Ketua DPRD Paulus Peos, Ketua Komisi B Aventinus Mbejak dan Ketua Komisi C, DPRD Klementinus Malis/
PLN juga membawa beberapa masyarakat Poco Leok yang mendukung proyek dan wartawan yang selama ini bekerja sama dengan korporasi itu.
Perjalanan studi banding tersebut dilakukan beberapa hari setelah Nabit melaporkan warga Poco Leok ke Polres Manggarai terkait kerusakan pagar saat aksi unjuk rasa menolak proyek geotermal pada 3 Maret.
Polres Manggarai telah menerbitkan surat panggilan untuk klarifikasi kepada beberapa warga yang merupakan koordinator lapangan unjuk rasa.
Mengapa Mesti Pergi Jauh?
Tadeus Sukardin, warga asal Kampung Adat atau Gendang Lungar yang aktif dalam gerakan penolakan geotermal Poco Leok menilai studi banding tersebut tidak kontekstual.
Alasannya, kata dia, hal itu dilakukan di wilayah yang memiliki banyak perbedaan dengan situasi geografis dan sosial di Flores, termasuk Poco Leok.
“Kenapa tidak studi banding di PLTP Ulumbu dan Mataloko saja?” katanya kepada Floresa pada 12 Maret.
PLTP Ulumbu hanya berjarak sekitar 3 kilometer sebelah barat Poco Leok, sementara Mataloko terletak di Kabupaten Ngada.
Geotermal Poco Leok, dimana warga dari 10 kampung adat menolaknya, adalah perluasan dari PLTP Ulumbu, yang menargetkan energi listrik 2 x 20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang sudah beroperasi sejak 2012.
Kerusakan atap seng rumah warga dan penurunan produktivitas tanaman pertanian di sekitar PLTP Ulumbu, termasuk janji-janji PT PLN yang “realisasinya nol”, kata Tedy, seharusnya membuat pemerintah tidak perlu melakukan studi banding di tempat yang jauh jika ingin melihat secara jernih dampak proyek.
Ia menambahkan, sama seperti di Mataloko, proyek geotermal Ulumbu sudah membawa bencana, seperti longsor di sekitar pemboran serta terlihat semburan gas disertai lumpur di lahan warga.
Sedangkan di Mataloko, proyek yang mulai dirintis pada 1998 hingga kini telah gagal berulang kali, termasuk menyebabkan semburan lumpur dan uap panas di lahan pertanian.
Pada 12 Maret, ratusan warga dari berbagai elemen juga berunjuk rasa menuntut pencabutan izin proyek di Mataloko, yang kini sedang dikerjakan kembali oleh PT PLN.
Karena itu, Tedy berkata, pilihan pemerintah daerah Manggarai melakukan studi banding di Sulawesi Utara “membuktikan ketidakberesan.”
Studi yang kontekstual, katanya, seharusnya dilakukan di wilayah yang secara topografi, budaya, dan adat-istiadat sama dengan lokasi proyek yang hendak dikerjakan.
Ia berkata, tanah di Poco Leok adalah tanah ulayat, bagian dari ruang hidup yang mencakup gendang, lingko, wae, natas, dan compang, merujuk pada rumah adat, tanah ulayat, mata air, halaman kampung dan mezbah persembahan kepada leluhur.
“Ini bukan soal baik dan buruknya proyek geotermal, tapi berkaitan dengan kehidupan dan kelestarian adat-istiadat budaya kami,” katanya.
Karena itu, kata dia, warga Poco Leok dari 10 gendang tetap mengambil sikap menolak proyek tersebut.
“Tidak ada ahli yang bisa mendeteksi kekuatan alam seperti terbukti terjadi di Atadei, Kabupaten Lembata, Sokoria, di Kabupaten Ende dan Mataloko, di Kabupaten Ngada,” kata Tedy.
“Semua proyek geotermal di wilayah-wilayah tersebut bermasalah, karena itu ditolak warga hingga kini.”
Karena itu, “aneh jika Bupati Nabit dengan sadar mau merusak ruang hidup kami yang diwariskan turun-temurun.”
Direktur Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menilai, studi banding untuk industri yang berisiko tinggi itu adalah “upaya membungkam suara kritis dan menambah sekutu warga untuk mendukung proyek.”
Studi itu, kata dia, adalah bagian dari upaya pembelahan sosial agar pemerintah punya alasan bahwa ada warga yang mendukung proyek geotermal Poco Leok.
“Fakta yang diperlihatkan setelah studi banding hanya yang baik-baik saja, sementara cerita konflik dan penggusuran, pengrusakan alam selama perusahaan beroperasi tidak akan diperlihatkan,” kata Umbu kepada Floresa pada 13 Maret.
Sementara itu, Pastor Simon Suban Tukan, SVD, Ketua lembaga advokasi Gereja Katolik Justice Peace and the Integrity of Creation [JPIC] SVD Ruteng berkata, studi banding itu “menjadi satu bukti Pemda Manggarai kurang peka dengan keadaan warga Poco Leok yang masih menunggu SK proyek tersebut dihentikan.”
Ia juga berkata, studi yang relevan seharusnya dilakukan di beberapa lokasi terdekat seperti Sokoria di Kabupaten Ende, Mataloko di Kabupaten Ngada dan Ulumbu “yang telah membuktikan kegagalan total proyek geotermal dan memberi dampak bagi kerusakan lingkungan hingga sosial.”
“Ketidakpedulian ini menjelaskan kepongahan pemerintah dan PT PLN dalam upaya pemaksaan kehendak untuk meloloskan proyek tersebut,” kata Simon.
Terkait pembiayaan perjalanan studi banding yang ditanggung PT PLN, Simon berkata, aneh bahwa “PLN selama ini juga terus merugi, tapi kok membiayai Pemda Manggarai untuk studi banding.”

Stuba di PLTP Bermasalah
Studi bertajuk ‘Timba Ilmu Pengembangan Geotermal’ itu berlangsung di PLTP Lahendong yang sudah beroperasi sejak 2001.
Sebagaimana dilansir Megamanado.com, Nabit mengklaim studi banding itu adalah upaya belajar dari PLTP Lahendong tentang bagaimana “mengeliminasi dampak negatif dari proses pembangunan dan kemudian bagaimana dampak sosialnya.”
“Kita tahu bersama semua proyek pasti punya dampak positif dan negatif,” katanya. Walikota Tomohon, Caroll J. A. Senduk berkata, ketersediaan listrik di wilayah itu berasal dari PLTP Lahendong yaitu sebesar 120 Megawatt dan sudah terkoneksi sampai Suluttenggo – singkatan dari Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Namun, apakah PLTP Lahendong bebas dari masalah?
Hendra Mokorowu, seorang wartawan di Sulawesi yang baru-baru ini meliput langsung kondisi sekitar proyek geotermal itu berkata, banyak warga sekitar di Kelurahan Tondangow dan Pangolombian, Kecamatan Tomohon Selatan yang mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut [ISPA] akibat gas buangan dari PLTP.
“Saya mewawancarai langsung warga yang mengeluhkan ancaman dan bahaya dari PLTP itu,“ kata Hendra kepada Floresa pada 12 Maret.
Dalam laporannya di Kelung.id berjudul Teror Puluhan Tahun Eksploitasi PGE Lahendong pada 6 Februari, Hendra menulis bahwa warga mengeluhkan “terjadi banyak perubahan” setelah perusahaan itu beroperasi.
Persoalan lain yang dikeluhkan warga, kata dia, tidak adanya realisasi beasiswa yang dijanjikan perusahaan, kerusakan lingkungan, menurunnya produktivitas pertanian serta pernah ditipu tim Universitas Sam Ratulangi tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan [AMDAL] yang ternyata tidak pernah terealisasi.
Hendra juga berkata sejak PT PGE merintis proyek itu pada 1985, hingga kini akses jalan penghubung utama dari Kota Tomohon ke dua kelurahan, yakni Tondangow dan Pangolombian yang melewati perkebunan dan hutan, tidak difasilitasi penerangan jalan.
“Ironis, sebab wilayah penghasil uap panas untuk tenaga pembangkit listrik tapi tidak ada penerangan jalan umum,” kata Hendra.
Ia juga mencatat keluhan warga dari dua kelurahan itu terkait adanya korosi pada atap seng rumah.
Sejauh ini, menurut Hendra, warga di kelurahan Tondangow dan Pangolombian belum merasakan secara langsung “hal baik” dari PT PGE Lahendong.
“Hanya komunitas tertentu saja yang dibantu PT PGE. Lain daripada itu, mayoritas tidak pernah tersentuh. Ini menjadi satu masalah yang perlu diperhatikan pemerintah setempat,” kata Hendra.
Protes terkait PLTP Lahendong juga pernah mencuat pada 2011, dimana warga Kelurahan Lahendong, Tondangow dan Pangolombian mengadukan pencemaran lingkungan ke DPRD Kota Tomohon.
Dilansir Kelung.id, John Paransi, warga Pangolombian berkata, sejak 2005, telah terjadi pencemaran yang merugikan sekitar 10.000 warga. Tanaman padi dan sayur menjadi kering dan tidak dapat tumbuh lagi.
Floresa menghubungi Bupati Nabit pada 14 Maret, menanyakan perjalanan Stuba yang dibiayai PT PLN, namun tidak diresponsnya, kendati pesan Whatsapp sudah terbaca.
Editor: Anno Susabun