Floresa co – Tak lama setelah Heribertus G. L. Nabit dilantik untuk periode kedua kepemimpinannya sebagai Bupati Manggarai, ratusan warga dari Aliansi Pemuda Poco Leok menggelar aksi demonstrasi mendesaknya mencabut Surat Keputusan [SK] terkait penetapan lokasi [Penlok] proyek geotermal.
Massa tersebut, yang melakukan aksi pada 3 Maret, berjalan kaki mulai dari Jalan Pelita, Kecamatan Langke Rembong, tepatnya di samping Gereja Katedral St. Maria Assumpta Ruteng.
Mereka mendesak pemerintah menghentikan seluruh aktivitas terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] itu, termasuk pengerahan aparat keamanan untuk mengawal perusahaan PT PLN serta pengadaan lahan oleh Badan Pertanahan.
Pantauan Floresa di lokasi, massa membawa berbagai spanduk dengan tulisan seperti “Kami Tolak Geotermal Poco Leok”, “Bupati Punya Otak Tolak Geotermal”, “Kami Hidup Mengolah Tanah Bukan Menjual Tanah”, “Hentikan Pendanaan Proyek Geotermal Poco Leok oleh Bank KFW-Jerman”, dan “Poco Leok Harga Mati, Rawat Ruang Hidup”.

Puluhan polisi dan polisi pamong praja tampak mengawal jalannya aksi.
Kristianus ‘Tino’ Jaret, Koordinator Aksi, menyampaikan dari mobil komando bahwa ini adalah aksi kedua setelah sebelumnya massa dari sepuluh kampung adat di Poco Leok melakukan aksi serupa pada 9 Agustus 2023.
Massa yang berjalan kaki sambil meneriakkan yel-yel “Tolak Geotermal” tiba di depan Kantor DPRD Manggarai pada pukul 11.15.
Mereka menuntut para anggota dewan untuk menerima mereka dalam audiensi.
‘Kami Anak Petani Tak Akan Lepaskan Ruang Hidup’
“Kami datang ke kantor DPRD dengan tujuan yang sama, menyuarakan bahwa kami tetap satu suara, kami tetap solid, dan kami pemuda Poco Leok tidak akan pernah melepaskan ruang hidup kami,” kata Tino saat berorasi di depan Kantor DPRD di Jalan Diponegoro.
Tino juga menyebut DPRD memiliki peran strategis dalam menyuarakan kepentingan rakyat.
“Kita memilih mereka bukan untuk kepentingan investor. Namun, jika hari ini mereka berseberangan dengan kita, itu berarti mereka tidak lagi membawa kepentingan rakyat, melainkan kepentingan setan,” tegasnya.
Sementara itu, Masyudi Onggal, salah satu pemuda Poco Leok menegaskan “aksi ini lahir dari kesadaran akan ancaman nyata terhadap ruang hidup kami.”
“Kami anak-anak para petani datang ke kantor DPRD untuk sekali lagi meminta seluruh anggota dewan menunjukkan taringnya. Kami ingin mereka bertarung bersama kami melawan kebijakan yang menyengsarakan kami saat ini,” katanya.
Yudi menyinggung keputusan Bupati Manggarai, Hery Nabit, yang menetapkan lokasi proyek geotermal secara sepihak pada 2022 tanpa adanya sosialisasi dan persetujuan dari masyarakat adat Poco Leok.
“Proyek ini dipaksakan tanpa meminta kesepakatan dan persetujuan seluruh masyarakat adat Poco Leok. Kami merasa diabaikan, bahkan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah yang seharusnya melindungi hak-hak kami,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menuntut agar DPRD bekerja untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat yang terdampak proyek ini.
“Banyak dari kami yang menjadi korban dari agenda tersembunyi yang tidak berpihak pada rakyat,” katanya.
Ia juga menyebut “aksi ini bukan sekadar bentuk perlawanan, tetapi muncul dari kesadaran dan pengalaman masyarakat tentang dampak buruk proyek geotermal.”
“Aksi ini adalah bentuk kepedulian kami terhadap tanah leluhur kami, masa depan kami, dan keberlanjutan hidup kami,” katanya.
DPRD: ‘Kami Semua Orang Baru’
Setelah bernegosiasi dengan tiga orang anggota dewan di gerbang kantor tersebut, 25 orang perwakilan massa masuk ke dalam kantor DPRD Manggarai pada pukul 11.45 untuk beraudiensi.
Mereka diterima oleh Tomas Tahir, Wakil Ketua DPRD; Klemens Malis, Ketua Komisi C yang membidangi urusan pembangunan; Dominikus Hima, Sekretaris Komisi C; Arlan Nala, Anggota Komisi B; Aven Mbejak; serta Yosef Hasmi yang bertindak sebagai moderator.

Tino Jaret berkata di ruangan itu bahwa mereka datang untuk menanyakan langkah konkret DPRD terkait polemik geotermal Poco Leok.
“Sampai hari ini, kami tidak pernah mengetahui apa yang telah dilakukan para anggota dewan,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Dominikus Hima menjelaskan bahwa dari 35 anggota DPRD periode 2024-2029, mayoritas atau 19 orang merupakan wajah baru, “termasuk kami yang hari ini menerima audiensi dengan warga.”
Ia juga menegaskan bahwa proyek di Poco Leok adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional [PSN] yang kewenangannya berada di pemerintah pusat.
“Kami tidak memiliki kewenangan mutlak untuk menerima atau membatalkan proyek ini. DPRD dan eksekutif memiliki peran masing-masing dalam menyikapi persoalan ini. Kami memahami seluruh prosesnya dari pusat hingga daerah,” jelasnya.
‘Manipulasi dan Ancaman terhadap Ruang Hidup’
Agustinus Tuju, salah satu perwakilan warga yang ikut dalam audiensi menyebut “adanya manipulasi dalam proyek PLTP yang berdampak pada kehidupan masyarakat adat.”
“Dalam sosialisasi awal, pemerintah tidak pernah memberitahukan dampak buruk dari proyek ini. Mereka hanya menyampaikan sisi positif, seperti akan ada penerangan listrik,” ungkap Agustinus.
“Ruang hidup kami mencakup gendang, lingko, wae, natas, dan compang,” katanya merujuk pada rumah adat, tanah ulayat, mata air, halaman kampung dan mezbah persembahan kepada leluhur.
“Jika salah satu dari ini dialihfungsikan, maka percuma kami hidup di Poco Leok,” lanjutnya.
Menurutnya, “proyek ini lebih banyak didukung oleh pihak yang tidak tinggal di Poco Leok, sementara warga yang menetap harus menanggung risikonya.”
“Yang menjual lahan dan mendukung proyek ini bukan orang yang tinggal di Poco Leok, melainkan mereka yang tinggal di luar. Risiko seperti tanah longsor dan amblas tidak akan mereka rasakan, tapi kami yang bertahan di sini yang akan terdampak,” tambahnya.
Ia juga menambahkan bahwa “listrik baru masuk ke Poco Leok pada Desember 2019, padahal PLTP Ulumbu sudah beroperasi sejak 2011.”
“Sosialisasi awal dilakukan bersamaan dengan pemasangan tiang listrik,” tambahnya.
Tadeus Sukardin, warga lainnya menegaskan, “masyarakat sudah menolak proyek ini sejak awal, bahkan sebelum mengetahui dampak buruknya.”
“Tanah ini adalah tanah ulayat yang tidak bisa diganggu gugat atau diubah identitasnya. Namun, pemerintah tetap memaksa masuk,” ujarnya.
Menurutnya, berbagai aksi penolakan yang dilakukan masyarakat tidak direspons dengan baik oleh pemerintah.
“Dengan berbagai aksi yang kami lakukan, baik di Ruteng maupun di lapangan, pemerintah terus mendesak dan memaksa. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap masyarakat adat,” tegasnya.
Ia juga menyoroti SK Penetapan Lokasi yang dikeluarkan tanpa persetujuan masyarakat adat.
“Tanah ini bukan milik bupati. Ini adalah pelecehan besar-besaran terhadap masyarakat adat,” katanya
Menanggapi pernyataan warga, Arlan Nala mengakui pihaknya sudah banyak mengetahui situasi lapangan kasus proyek tersebut.
Sebagai mantan jurnalis, ia mengklaim mengetahui berbagai kejadian di lapangan, termasuk kasus kekerasan aparat keamanan terhadap warga dan jurnalis di lokasi proyek.
Kekerasan yang dimaksud Nala terjadi pada 2 Oktober 2024, di mana sejumlah warga dan Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut dipukul dan ditangkap aparat keamanan saat aksi protes terkait proyek itu.
Karena itu, kata dia, pihaknya “akan menyampaikan aspirasi masyarakat Poco Leok kepada Bupati Manggarai.”
“Aspirasi dari masyarakat Poco Leok ini akan menjadi poin prioritas yang kami akan suarakan ke Bupati Manggarai, bawah pertimbangkan lagi SK itu. Lihatlah, masyarakat di sana terus menjerit,” ujar Arlan.
Sementara itu, Klemens Malis menegaskan pihaknya mengutuk segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap warga penolak proyek.
Tuntut Bupati Nabit Cabut SK Penlok
Setelah audiensi dengan anggota DPRD, massa aksi bergerak menuju Kantor Bupati Manggarai pada pukul 12.45.
Di depan kantor tersebut, warga kembali berorasi, menuntut Nabit menemui mereka untuk berdialog dan menyatakan pencabutan SK Penetapan Lokasi.
Setelah beberapa saat, beberapa pegawai dan aparat keamanan membuka pintu gerbang dan meminta 25 perwakilan massa untuk masuk dan beraudiensi.
Selain Nabit, Sekretaris Daerah Fansi Aldus Jahang juga hadir dan bertindak sebagai moderator. Selain itu, ada beberapa pimpinan organisasi perangkat daerah yang turut hadir.

Tadeus Sukardin yang berbicara mewakili warga menegaskan bahwa “sejak awal masyarakat adat Poco Leok tidak pernah merasa nyaman dengan proyek geotermal yang akan dibangun.”
“Kami hadir di sini karena Bapak Bupati telah mengeluarkan SK Penetapan Lokasi di Poco Leok tanpa konfirmasi kepada kami. Padahal, kami sebagai masyarakat adat telah sejak awal menyatakan penolakan terhadap proyek ini,” ujarnya.
Tadeus juga mempertanyakan “dasar penetapan SK tersebut dan meminta agar data yang digunakan sebagai dasar keputusan itu diverifikasi ulang.”
“Kami merasa dilecehkan. SK tersebut ditetapkan tanpa mempertimbangkan aspirasi kami,” katanya.
Selain itu, ia mempertanyakan distribusi listrik dari pembangkit geotermal yang ada, karena menurutnya, “listrik dari Ulumbu justru lebih banyak dialirkan ke daerah lain dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan warga Manggarai sendiri.”
“Jika memang proyek ini untuk kepentingan masyarakat Manggarai, mengapa listrik dari Ulumbu justru dijual ke daerah lain?,” katanya.
Bagaimana Tanggapan Hery Nabit?
Menanggapi Tadeus, Nabit menyatakan bahwa “keputusan terkait proyek geotermal di Poco Leok dibuat berdasarkan kebutuhan energi untuk masyarakat Manggarai.”
Ia berkata “tidak ada niat dari pemerintah untuk merusak lingkungan atau mengabaikan budaya lokal.”
“Niat saya sejak awal hanya ingin memastikan ketersediaan listrik bagi seluruh masyarakat Manggarai. Sayangnya, kita terbatas dalam sumber energi. Di Poco Leok, geotermal adalah satu-satunya sumber energi yang dapat diandalkan,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa “masyarakat Manggarai sangat bergantung pada ketersediaan listrik, termasuk untuk sektor pendidikan dan ekonomi.”
“Listrik bukan hanya untuk penerangan rumah tangga, tetapi juga untuk industri. Kita menerima banyak permohonan pembangunan usaha di beberapa daerah, seperti pabrik pengolahan ikan di Reo. Namun, karena keterbatasan listrik, hal itu tidak bisa diwujudkan,” katanya.
Menanggapi kritik terkait distribusi listrik ke daerah lain, Hery menjelaskan bahwa “listrik yang dialirkan ke daerah seperti Labuan Bajo [ibukota Kabupaten Manggarai Barat] juga bermanfaat bagi masyarakat Manggarai.”
“Listrik yang digunakan di Labuan Bajo bukan hanya untuk kepentingan pihak luar, tetapi juga untuk usaha-usaha yang melibatkan masyarakat Manggarai, seperti hotel dan restoran. Banyak anak-anak Manggarai yang bekerja di sana,” paparnya.

Kritik dari Pemuda Poco Leok
Agustinus Sukarno, salah satu pemuda Poco Leok menanggapi pernyataan Nabit bahwa proyek geotermal bukan untuk kepentingan masyarakat Manggarai, melainkan untuk memenuhi kebutuhan industri pariwisata di Labuan Bajo.
“Untuk memenuhi kebutuhan industri pariwisata, artinya industri dari Labuan Bajo untuk kepentingan investor, bukan kepentingan listrik kita sebagai masyarakat Manggarai,” tegasnya.
Sementara Masyudi Onggal menilai “bupati lebih mementingkan investasi di Labuan Bajo ketimbang kepentingan warga Manggarai sendiri.”
Ia mengkritisi respons Nabit yang menyebut listrik dari geotermal Poco Leok akan menambah lapangan kerja di sektor industri, termasuk warga Manggarai yang bekerja di bidang pariwisata di Labuan Bajo.
“Kami petani akan kehilangan lapangan pekerjaan karena tanah-tanah adat yang kami garap diambil untuk kepentingan investasi. Anda berpikir soal energi, kami berpikir soal pangan. Ini dua konsep yang berbeda,” katanya.
Yudi juga menyebut “rencana eksploitasi 40 megawatt listrik dari Poco Leok akan mengorbankan puluhan ribu warga.”
Sedangkan Tino Jaret mengkritik pernyataan Nabit mengenai rasio lahan yang terdampak, menyebut kasus geotermal adalah isu lingkungan yang tidak bisa disederhanakan hanya sebagai soal jual beli dan sertifikasi lahan.
“Kita menolak geotermal karena dampaknya terhadap lingkungan,” ujarnya.
Tino juga menyoroti “kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga dan jurnalis yang meliput aksi protes.”
“Kekerasan yang dilakukan aparat tidak hanya menyasar warga, tetapi juga jurnalis Floresa. Dalam sidang etik pada 24 Februari, polisi yang melakukan pemukulan terhadap jurnalis tersebut dinyatakan bersalah,” ujarnya.
Sementara itu, Nabit membantah penggunaan istilah ‘mengorbankan’ dalam proyek ini.
“Saya tidak pernah menggunakan frasa mengorbankan siapapun. Kita sedang berbagi dengan apa yang kita miliki dan berusaha agar tidak ada yang menjadi korban,” ujarnya.
Ia menjelaskan, “jika ada investasi, yang terpenting pertama adalah konsumsi masyarakat terpenuhi. Kelebihannya bisa digunakan untuk investor.”
“Listrik ini bukan sesuatu yang bisa dibangun dalam satu malam. Pemerintah harus mengantisipasi kebutuhan listrik 10 hingga 15 tahun ke depan. Jadi, kalau sekarang sudah cukup, bagaimana dengan kebutuhan listrik tahun 2035? Kami sedang memastikan ketersediaan listrik untuk masa depan,” jelasnya.
Terkait permintaan pencabutan SK, Hery menegaskan bahwa “hal itu sulit dilakukan mengingat proyek ini merupakan bagian dari Program Strategis Nasional.”
“Jika ditanya apakah saya akan mencabut SK? Tidak, saya tidak akan mencabut SK,” tegasnya.
Pernyataan terakhir Nabit itu membuat perwakilan warga tidak puas, lalu memutuskan untuk walk out dari ruang audiensi.
Setelah keluar dari kantor bupati, mereka menyampaikan kepada massa aksi bahwa Nabit menolak mencabut SK Penetapan Lokasi tersebut, hal yang memicu protes yang lebih besar dari ratusan massa yang menunggu di depan gedung itu.
“Kalau memang begini, berarti Bupati Nabit tidak mendengar suara kami, kami akan terus bergerak sampai SK itu dicabut,” teriak salah satu peserta aksi.

Proyek geotermal Poco Leok adalah pengembangan dari PLTP Ulumbu, tiga kilometer sebelah barat Poco Leok, yang sudah beroperasi sejak tahun 2012.
Proyek itu ditargetkan menghasilkan energi listrik 2 x 20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang sudah beroperasi saat ini.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh warga, termasuk mengadang Bupati Nabit saat mengunjungi wilayah itu pada Februari 2023, dua bulan setelah dia meneken SK Penetapan Lokasi.
Selain itu, warga juga melakukan pengadangan terhadap aktivitas PT PLN dan Badan Pertanahan yang dikawal ketat aparat keamanan di lahan ulayat mereka.
Upaya lainnya adalah menyurati Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek.
Hal itu direspons KfW dengan mengirimkan Tim Independen, yang kemudian menyatakan proyek tersebut melanggar standar sosial dan ekologi internasional, dan merekomendasikan pemerintah serta PT PLN mengulang seluruh proses proyek sejak awal.
Warga juga mengirim surat dan berdialog secara daring dan luring dengan beberapa lembaga negara, di antaranya Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Ombudsman Republik Indonesia.
Laporan ini dikerjakan oleh Anno Susabun dan Arivin Dangkar
Editor: Ryan Dagur