Floresa.co – Ratusan warga tampak berdatangan dan memadati jalan simpang Lungar di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Senin pagi, 27 Februari 2023.
Sebagian besar dari mereka berjalan kaki. Ada juga yang menumpang sepeda motor.
Pagi yang cerah itu, warga yang berasal Gendang atau Komunitas Adat di wilayah Poco Leok itu berkumpul, menanti kedatangan Bupati Manggarai, Herybertus G.L Nabit.
Poco Leok merupakan sebutan umum untuk wilayah yang mencakup tiga desa di Kecamatan Satar Mese, yakni Desa Lungar, Desa Mocok dan Desa Golo Muntas.
Wilayah yang memiliki beberapa kampung, antara lain Mocok, Mori, Nderu, Jong Racang, Mucu, Lungar, Tere, Mano, Cako, dan Rebak sedang menjadi target proyek geothermal.
Tepat pukul 09.50 Wita, rombongan bupati tiba. Suasana pun mendadak riuh ketika bupati turun dari mobil dinasnya.
Sambil membentangkan beberapa spanduk yang berisikan satir, ratusan warga itu berteriak-teriak mengungkapkan kekecewaan.
Mereka marah dan menyatakan “tidak sudi dikunjungi bupati yang bertentangan dengan kehendak rakyat.”
“Tolak H2N jika hadirkan H2S,” demikian kalimat satir yang ditulis pada salah satu spanduk.
Terbuat dari karung bekas, spanduk itu dibentangkan di hadapan Bupati Nabit.
H2N adalah sebutan popular dari pasangan Bupati Herybertus G.L Nabit dan wakilnya, Heribertus Ngabut sejak mengikuti Pilkada pada 2020. Sedangkan H2S atau hidrogen sulfida merupakan gas beracun yang berpotensi muncul dari penambangan panas bumi atau geothermal.
Suara protes warga membuat dua gadis berpakaian adat yang sudah menyiapkan topi dan selendang adat menyambut bupati terpaksa mengurungkan niat mereka.
Bupati Nabit awalnya masih mengumbar senyum dan terlihat dua kali menempelkan jari telunjuk kanan pada mulutnya yang terkatup, isyarat meminta mereka diam.
Namun, warga tak menggubris. Mereka terus berteriak yang membuat politisi PDI Perjuangan itu naik pitam.
Ia mulai bicara dengan suara keras sembari memelototi warga yang semakin riuh berteriak.
“Nggo’o de meu caran tiba meka? Eme nggooy caran, toe ma coon kole laku. Toe ma coon. E, toe ma coon. Bupati kaku! Bupati kaku! Bupati kaku!” tegasnya dalam Bahasa Manggarai: “Begini cara kalian menerima tamu? Kalau begini caranya, bagi saya tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Ya, tidak apa-apa. Saya bupati! Saya bupati! Saya bupati!”
Gertakan Nabit itu justru membuat warga berteriak semakin lantang.
“Apakah bupati itu seenaknya mencabut hak kami?” seorang pemuda terdengar berteriak dari tengah kerumunan.
“Kalau bupati, dengarkan rakyat. Jangan sesuka hati membuat kebijakan,” tambahnya.
“Tolak geothermal!” sahut ibu-ibu yang juga tergabung dalam kelompok warga itu.
“Cabut SK penetapan lokasi!” teriak ibu-ibu itu berulang kali, menyinggung SK Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 yang diterbitkan pada 1 Desember 2022.
Mereka berteriak sambil mengangkat spanduk-spanduk yang bertuliskan kritikan terhadap proyek itu.
Setelah tidak mendapat penyambutan secara adat di persimpangan jalan itu, Bupati Nabit tampak menerobos kerumunan warga, lalu berjalan kaki ke Aula Gereja Katolik Stasi Lungar untuk berdialog dengan warga.
Ia terlihat berjalan di depan dengan terburu-buru, sementara barisan warga terus membuntutinya sambil membentangkan spanduk dan meneriakkan kata-kata penolakan terhadap proyek geothermal.
Di aula, tampak sekitar belasan warga membaur bersama aparatur desa dan rombongan pejabat.
Sementara ratusan warga lainnya terus menggelar demonstrasi di luar aula.
Proyek geothermal di Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu – pembangkit listrik yang beroperasi sejak 2012 -, sekitar 3 kilometer ke arah barat dari daerah pegunungan itu.
Proyek ini dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW.
Perluasan proyek PLTP Ulumbu juga terjadi menyusul penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi pada 2017, yang mendorong eksploitasi di beberapa tempat di sepanjang pulau itu.
Pemerintah Kabupaten Manggarai mendukung proyek yang dikerjakan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] tersebut.
Maria Teme, perempuan adat gendang Lungar mengatakan di sela-sela kunjungan bupati bahwa “tuntutan dari kami harus cabut surat penetapan lokasi” itu.
“Kami tidak mau kawasan Poco Leok ini dibor untuk geothermal,” ujarnya.
Ia menyatakan menolak proyek itu yang berpotensi akan mengorbankan lingkungan tempat mereka hidup, lahan pertanian, situs budaya, dan makam leluhur.
“Biar ditukar dengan apa saja, kami tetap tidak mau,” tegas ibu berusia 55 tahun itu.
Protes kaum ibu juga berlanjut di dalam aula saat Bupati Nabit sedang minum kopi dan makan ubi rebus.
“Enak minum kopi? Enak makan ubi?” teriak mereka yang membuat wajah bupati itu terlihat tegang.
Bupati Nabit tidak bertahan lama di dalam aula. Suaranya tenggelam di antara teriakan warga ketika ia hendak menyampaikan arahan terhadap hadirin di dalam ruangan yang didominasi oleh rombongannya sendiri.
“Kami tidak mau berdialog lagi berkaitan dengan geothermal. Pokoknya, titik. Hari ini kami tidak akan terima lagi bupati yang datang berkaitan dengan geothermal,” tegas Wilhelmus, warga adat Gendang Mucu.
Sepanjang pertemuan itu, warga terus berteriak menyuruh Bupati Nabit pergi.
Beberapa dari mereka yang menggelar aksi di luar aula, kemudian berhasil menerobos masuk yang membuat Bupati Nabit segera menghentikan pertemuan, lalu segera beranjak ke Gendang Mesir, lokasi lain yang juga menjadi sasaran lokasi proyek.
Saat diwawancara Floresa di luar aula, Bupati Nabit tidak mengomentari terkait SK penetapan lokasi proyek yang ia tandatangani, tanpa mengindahkan penolakan masyarakat adat Poco Leok.
Ia hanya mengatakan kedatangannya untuk mendengar aspirasi warga.
“Ini kan kita mau mendengar semua,” ujarnya, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil dinas.
Ponsi Lewang, tokoh adat Gendang Lungar mengatakan kepada Floresa, beberapa hari sebelum kunjungan itu, Bupati Nabit mengirim utusan untuk meminta kesediaan warga adat Gendang Lungar dan Gendang Rebak menerima kedatangannya.
Rencananya, kata dia, kunjungan itu berlangsung di rumah adat, permintaan itu dan uang untuk biaya konsumsi yang diantar oleh utusan bupati ditolak warga.
“Dia sudah setuju dengan proyek geothermal meskipun kami masyarakat dari 10 Gendang di Poco Leok ini menolak. [Karena itu, kami minta] jangan datang,” kata Ponsi.
Mendapat penolakan untuk berkunjung ke rumah adat, kata dia, membuat Pemerintah Desa Lungar menginisiasi agar pertemuan berlangsung di aula Stasi Lungar.
Menyusul ramainya pemberitaan terkait penolakannya, Bupati Nabit mengatakan dalam sebuah video bahwa yang terjadi pada hari itu “bukanlah penolakan terhadap kehadiran bupati Manggarai, tetapi penolakan terhadap proses perluasan eksplorasi proyek geothermal Ulumbu.”
“Kehadiran kami adalah untuk mendengar semuanya, menyerap semuanya, sehingga kami bisa menjembatani aspirasi yang ada untuk disampaikan kepada pemerintah provinsi, pemerintah pusat dan pihak PT PLN,” katanya dalam video yang diunggah di Facebooknya.
Ia mengatakan, menjembatani aspirasi seperti itu adalah “perlu supaya tidak ada miskomunikasi.”
Ia juga menyatakan mendukung proyek itu dalam rangka mencukupi kebutuhan listrik di Manggarai yang semakin tinggi.
Dalam video itu, ia mengatakan menghargai aspirasi warga dan menyebut respons mereka sebagai “ekspresi dari masyarakat Manggarai yang perlu didengar.”
“Mari kita jaga keutuhan. Perbedaan pendapat adalah wajar, tapi jangan biarkan itu memecah belah kehidupan kita masyarakat Manggarai,” katanya.
Sementara itu, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia [PMKRI], organsiasi yang selama ini ikut mengadvokasi perjuangan masyarakat adat Poco Leok,
mempertanyakan urgensi kunjungan Bupati Nabit setelah menerbitkan SK penetapan lokasi proyek itu.
Jika menjalankan perannya sebagai bupati, kata Laurensius Lasa, Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng, kunjungan itu mestinya dilakukan sebelum dia menerbitkan SK penetapan lokasi tersebut.
“Ketika dia baru datang setelah menerbitkan SK yang mendukung PT PLN, berarti dia hadir sebagai juru bicara PLN. Makanya dia ditolak,” kata Loin, sapaannya.
Penolakan itu, jelas dia, “merupakan bentuk ekspresi masyarakat terhadap perilaku bupati yang tidak pro rakyat.”
Loin berharap Bupati Nabit belajar dari pengalaman ini agar selalu mendengarkan aspirasi masyarakat dalam mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan nasib rakyat banyak.
“Kami berharap, Bupati Manggarai mengurung kembali niatnya. Kami berharap, Bupati Manggarai membuat keputusan yang pro rakyat. Cabut SK itu, batalkan rencana pengembangan PLTP Ulumbu di kawasan Poco Leok,” katanya.
Jika Bupati Nabit tetap ngotot untuk melanjutkan proyek itu, kata Loin, “PMKRI Ruteng bersama warga akan melakukan aksi demonstrasi lanjutan.”
Seorang ibu yang terlibat dalam aksi hari itu mengatakan kepada Floresa, apabila Bupati Nabit ngotot melanjutkan proyek itu, sebaiknya “lokasinya dipindahkan ke kampung leluhurnya sendiri.”
“Agar dia merasakan betapa pedihnya jika kampung halamannya, makam leluhurnya jadi rusak karena pembangunan,” katanya.
Paulina Imun, ibu lainnya mengatakan, “kalau dia datang membawa kebaikan untuk masyarakat Poco Leok, pasti kami terima,” misalnya untuk membangun sektor pertanian agar petani semakin sejahtera.
Tetapi, kata ibu berusia 50 tahun asal Gendang Rebak itu, “karena kebijakannya justru berpotensi merusak tanah warisan leluhur, bupati dan pemimpin lainnya tidak layak mendapat penghormatan.”