Floresa.co – Ombudsman menggelar rapat koordinasi untuk menindaklanjuti laporan warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai, NTT terkait dugaan pelanggaran dalam implementasi proyek geotermal.
Berlangsung secara daring pada 3 Februari lewat aplikasi Zoom, rapat yang diadakan oleh Keasistenan V Ombudsman itu dihadiri warga Poco Leok dan Koalisi Advokasi Poco Leok.
Rapat tersebut merespons laporan Kristianus Jaret, perwakilan warga Poco Leok, pada 18 Desember 2024 terkait dugaan pelanggaran oleh pemerintah, PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] dan aparat keamanan gabungan demi meloloskan proyek geotermal.
Pada awal rapat, Kepala Keasistenan V Ombudsman, Irma Syarifah meminta Kristianus menyampaikan langkah-langkah yang telah dilakukan warga menyikapi proyek ini.
Kristianus menjelaskan, mayoritas masyarakat adat yang terdiri dari empat belas gendang atau lembaga adat di Poco Leok sejak awal menolak karena “kami telah melihat dampak buruk di wilayah lain yang diakibatkan oleh pengembangan tambang panas bumi.”
Karena itu, kata dia, warga Poco Leok telah menyampaikan penolakan itu lewat surat maupun aksi protes kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PT PLN dan pendana proyek Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KFW], asal Jerman.
Kristianus juga menyoroti pendekatan kekerasan oleh aparat keamanan gabungan polisi, TNI dan Satpol PP yang “seringkali dihadapi warga” saat protes.
Judianto Simanjuntak, anggota Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara [PPMAN] yang juga bagian dari Koalisi Advokasi Poco Leok, meminta Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk segera menghentikan proyek itu.
Ia menyebut telah terjadi dugaan pelanggaran HAM di Poco Leok, sebagaimana yang disorot Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam laporan soal Proyek Strategis Nasional pada Desember 2024.
Laporan bertajuk “Dampak Proyek Strategis Nasional terhadap Hak Asasi Manusia” itu, kata dia, Komnas HAM telah mengidentifikasi sejumlah masalah di sejumlah titik proyek seluruh Indonesia, termasuk di Poco Leok.
Menurut laporan itu, salah satu pemicu masalah adalah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional yang memberi ruang diskresi kebijakan, termasuk percepatan pengadaan tanah dan mengatasi berbagai hambatan yang ada.
Ketentuan tersebut, menurut Komnas HAM, diterjemahkan secara kaku dan sepihak oleh aparatur negara sehingga menghambat terjadinya komunikasi dan dialog yang bermakna dengan masyarakat terdampak.
Judianto berkata, “dari rentetan peristiwa yang dialami warga Poco Leok, selama upaya pihak PLN dan pemerintah ingin meneruskan proyek tersebut, ada banyak persoalan serius yang terjadi.”
Ia pun meminta agar Ombudsman bisa turun langsung ke Poco Leok.
Sementara itu, Ermelina Singereta, salah satu pengacara perempuan yang ikut dalam Koalisi Advokasi Poco Leok berkata, dalam beberapa bulan terakhir memang tidak terlihat adanya pergolakan warga ataupun aktivitas dari pihak pemerintah dan PT PLN di Poco Leok.
Namun, ia mencatat sejumlah modus untuk meloloskan proyek ini, seperti pendekatan kepada warga, yang diduga menjadi bahan laporan pemerintah dan PT PLN kepada pihak pendana proyek.
Salah satunya adalah dengan penyuluhan kesehatan gratis pada 18 September 2024.
Ia menjelaskan, warga baru mengetahui bahwa program itu diadakan dalam rangka pendekatan untuk meloloskan proyek saat ada pemberitaan di media massa.
“Jadi, masyarakat tidak paham bahwa penyuluhan dan pengobatan gratis yang dilakukan oleh beberapa petugas kesehatan merupakan kerja sama dengan PT PLN,” katanya.
Modus lain, imbuhnya, adalah perusahaan mengajak anak muda Poco Leok yang pro pembangunan geotermal untuk menyampaikan ke publik bahwa tidak ada persoalan dalam proyek tersebut.
“Ini merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh PT PLN karena menciptakan konflik horizontal,” katanya.
“Perlu diingat bahwa masyarakat Poco Leok selama ini hidup dalam kebersamaan, sehingga kami meminta agar Ombudsman bisa melakukan peneguran terhadap pihak PT PLN,” tambahnya.
Herimanto, salah satu anggota Koalisi Advokasi Poco Leok dari Divisi Advokasi JPIC SVD Ruteng menambahkan, proses yang dilakukan oleh pemerintah dan PT PLN di Poco Leok tidak transparan dan prosedural.
Salah satunya, kata dia, tampak dalam proses penerbitan izin lokasi tanpa sepengetahuan warga.
“Tidak hanya itu, konsultasi publik atau pun sosialisasi tidak melibatkan mayoritas warga yang ada dan tinggal di Poco Leok. Kelompok-kelompok yang diundang memang yang sudah setuju, bahkan orang-orang Poco Leok yang tinggal di luar Poco Leok turut hadir,” katanya.
Pada akhir pertemuan, Irma Syarifah dari Ombudsman meminta Koalisi Poco Leok memberikan dokumen pendukung lain, yang masih berkaitan dengan konflik proyek ini.
Proyek geotermal Poco Leok adalah perluasan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu yang sudah beroperasi sejak 2012.
Sejak mulai diwacanakan sejak 2022, warga terus berupaya menyuarakan penolakan.
Hal itu membuat pendana proyek, Bank KfW mengutus tim independen dari Monkey Forest Consulting, lembaga berbasis di Filipina berkunjung ke Poco Leok dan Ruteng pada awal September 2024.
Kunjungan itu bagian dari rangkaian tinjauan lapangan untuk melakukan validasi dan verifikasi terhadap berbagai informasi polemik yang sebelumnya diterima Bank KfW. Selain warga yang menolak, tim tersebut juga menemui para pendukung proyek, termasuk PT PLN dan Pemda Manggarai.
Pada 14 November 2024, tim telah memaparkan hasil temuannya, menyatakan proses yang dilakukan oleh pemerintah dan PT PLN tidak sesuai standar lingkungan dan sosial internasional, sehingga merekomendasikan penghentian sementara proyek tersebut dan berfokus pada resolusi konflik.
Hal tersebut teridentifikasi pada tingkat kepatuhan terhadap prinsip Free Prior and Informed Consent [FPIC], standar internasional terkait pelaksanaan proyek yang menyatakan persetujuan warga harus diminta sebelum sebuah proyek dimulai, diadakan secara independen atau bebas oleh warga sendiri berdasarkan informasi yang memadai dan akurat yang disampaikan sebelumnya.
Menurut Nestor Castro, salah satu anggota tim independen, persetujuan dari masyarakat tidak dilakukan oleh PT PLN sebelum proyek. Ia juga menyampaikan beberapa rekomendasi kepada PT PLN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai, yang tujuan utamanya untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat.
“Pastikan memberikan waktu cukup untuk proses FPIC, hindari taktik pemaksaan atau hindari memberikan insentif hanya untuk mendapatkan persetujuan,” katanya.
Editor: Ryan Dagur