Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Menurun, Berdampak pada Melemahnya Demokrasi dan Terbatasnya Akses terhadap Keadilan

Pemberantasan korupsi pada sektor bisnis diharapkan tak sekadar “lips service,” mendatangkan investasi tanpa berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan keadilan 

Baca Juga

Floresa.co – Gerakan antikorupsi global Transparency International menyatakan Indeks Persepsi Korupsi [IPK] Indonesia yang cenderung menurun selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo, berdampak pada melemahnya demokrasi dan sulitnya akses terhadap keadilan.

Hal itu disampaikan dalam laporan bertajuk “Indeks Persepsi Korupsi 2023: Pemberantasan Korupsi Kembali ke Titik Nol – satu dekade Presiden Jokowi terbukti gagal dalam memimpin pemberantasan korupsi di Indonesia.”

Dirilis pada 30 Januari, Transparency International Indonesia [TII] menyebut “kecenderungan turun” itu terjadi dalam lima tahun terakhir dari skor 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2022. Tahun 2023, skornya masih sama, 34.

TII menetapkan skala 0-100, di mana 0 menunjukkan sangat korup, sedangkan 100 menandai suatu negara bebas korupsi.

Indonesia, menurut TII, berada di peringkat 11 dari 180 negara yang disurvei, menandakan tingkat korupsi yang parah.

Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal TII mengatakan IPK terbaru menunjukkan “demokrasi Indonesia sedang berjalan mundur secara cepat.” 

Kemunduran itu, kata dia, dipicu rendahnya pemberantasan korupsi dan perlindungan Hak Asasi Manusia [HAM].

“Padahal, tanpa penegakan korupsi yang mumpuni, perlindungan HAM sejatinya tidak akan diraih,” katanya.

TII mengatakan sejak IPK diluncurkan pada 1995, Indonesia merupakan salah satu negara yang situasi korupsinya selalu dipantau.

Dengan IPK yang stagnan pada 2023, kata TII, Indonesia terus mengalami tantangan serius dalam melawan korupsi. 

Wawan Suyatmiko, Deputi Sekretaris Jenderal TII menambahkan skor IPK 2023 memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi “masih cenderung lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan yang nyata dari pemangku kepentingan.”

Kecenderungan abai pada pemberantasan korupsi ini, kata TII, semakin nyata dan terkonfirmasi sejak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, munculnya berbagai regulasi yang tidak memperhatikan nilai-nilai integritas, serta praktik “tutup mata” terhadap konflik kepentingan.

Dalam indeks terbaru itu, TII juga menemukan ruang partisipasi publik menyempit karena sistem yang korup.

Francois Valerian, ketua Transparency International mengatakan korupsi akan terus berkembang sampai sistem peradilan dapat menghukum pelaku kejahatan dan menjaga otoritas pemerintah tetap terkendali. 

Ketika keadilan “dibeli” atau diintervensi secara politik, kata dia, rakyatlah yang menjadi korban.

“Para pemimpin harus menaruh perhatian serius dan menjamin independensi lembaga-lembaga yang menegakkan hukum untuk memberantas korupsi. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri impunitas korupsi,” ungkapnya.

TII mengatakan peradilan dan lembaga penegak hukum yang independen, transparan dan memiliki sumber daya yang memadai merupakan prasyarat penting dalam memberantas korupsi.

Pada gilirannya, menurut TII, mencegah penyalahgunaan kekuasaan politik, penyuapan dan bentuk-bentuk korupsi lainnya yang mempengaruhi sistem peradilan adalah kunci untuk memastikan kinerja pemberantasan korupsi berjalan efektif.

TII menyerukan kepada pemerintah, parlemen, badan peradilan dan seluruh elemen negara untuk menjamin kualitas demokrasi berjalan sesuai harapan warga negara yang berorientasi pada pemberantasan korupsi yang berdampak pada kesejahteraan dan keadilan sosial.

Dalam kerangka itu, TII memberikan sejumlah rekomendasi untuk empat sektor, termasuk untuk sektor peradilan dan penegakan hukum.

TII mengatakan badan peradilan yang independen mutlak diperlukan, yang bebas dari campur tangan cabang kekuasaan lain.

Selain itu, kata TII, adalah “sumber daya dan transparansi yang secara efektif menghukum semua pelanggaran korupsi dan memberikan pengawasan dan keseimbangan kekuasaan.”

Rekomendasi lainnya terkait sektor ekonomi dan bisnis, yaitu  perbaikan iklim usaha dan bisnis harus berorientasi pada pencapaian kesejahteraan warga. 

“Pemberantasan korupsi di sektor bisnis bukan sekadar “lips service” yang hanya mendatangkan investasi yang tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.” 

TII juga memberi rekomendasi terkait kebebasan dan hak sipil. 

TII mengatakan pemerintah dan penegak hukum harus menjamin aspirasi masyarakat, jurnalis, akademisi dan tidak melakukan kriminalisasi terhadap warga negara yang menyampaikan pandangan berseberangan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini