Kasus Gregorius Jeramu: Melihat Kembali Cahaya di Ujung Lorong Keadilan

Putusan MA yang membebaskan warga asal Manggarai Timur ini melahirkan harapan bahwa mendapatkan keadilan masih mungkin bagi orang kecil

Oleh: Bernadinus Steni

Sudah berulang kali panggung hukum nasional menjadi tontonan tak sedap yang membuat publik merintih. Keadilan tercecer dan tercerai berai. Institusi hukum kerap rapuh dan bikin lidah kita keluh. Rasanya tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan kekisruhan hukum. Warga biasa hanya bisa menatap nanar dan tertegun; masihkah ada keadilan di hari esok untuk mereka yang kecil dan bukan siapa-siapa.

Ternyata, harapan itu masih ada, setidaknya bagi Gregorius Jeramu [GJ] dan keluarganya. Ada cahaya di ujung lorong keadilan. Light at the end of the tunnel, yang dikatakan George Elliot, penyair beken Inggris pertengahan abad 19, adalah petikan yang cukup persis mengekspresikan harapan ini.

GJ, kini berusia 63 tahun, melihat harapan itu manakala pada 16 November 2023, Mahkamah Agung [MA] mengabulkan permohonan kasasinya. Dalam dua putusan di tingkat pertama dan banding, GJ dinyatakan bersalah karena memenuhi unsur-unsur melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus pengadaan tanah untuk Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur. Selain GJ, Benediktus Aristo Moa, staf biasa di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi yang terlibat dalam proses jual beli tanah itu ikut diseret.

Meski banyak cerita miris dalam kasus-kasus yang menimpa orang kecil di negeri ini, kasus GJ dan Aristo mengejutkan sejak awal. GJ, petani kecil dari Kembur, Borong, sekonyong-konyong diseret ke balik jeruji besi sejak penetapannya sebagai tersangka pada Oktober tahun lalu semata-mata karena menjual tanah miliknya sendiri ke Pemkab Manggarai Timur.

Merasa tanah itu akan digunakan untuk publik, yaitu untuk pembangunan terminal, GJ dan keluarganya merasa terpanggil untuk melepaskan tanah warisan itu. Namun, atas tindakannya itu, GJ didakwa oleh Kejaksaan Negeri Manggarai telah merugikan negara. Tidak hanya GJ dan keluarganya yang shock. Banyak pihak merasa ada yang aneh, baik dalam logika dakwaan jaksa maupun dalam keseluruhan proses peradilan.

Keanehan itu bermula dari argumen jaksa bahwa menjual tanah tanpa Sertifikat Hak Milik [SHM] atau tanah warisan hak adat adalah perbuatan kriminal karena mengakibatkan kerugian negara. Jangankan ahli hukum, awam pun amat mudah melihat kejanggalan dari argumen itu. Apakah benar, seseorang yang menjual tanah tanpa SHM dapat dianggap sebagai tindak pidana? Apakah ada korelasi logis antara tindakan jual beli tanah dengan definisi kerugian negara?

Proses peradilan pun menambah hiruk pikuk argumen dakwaan dengan menambahkan narasi baru. Di pengadilan tingkat pertama, interaksi antara hakim dan jaksa mengarahkan persidangan seolah-olah GJ dan Aristo demikian lihai dan skilfull hingga mengorkestrasi keseluruhan sistem politik anggaran di DPRD dan Pemkab Manggarai Timur untuk mengalokasikan dana pembelian tanah yang mereka inginkan. Apakah betul seorang petani kecil yang tidak tahu apa-apa mengenai administrasi dan birokrasi anggaran daerah, tidak punya akses politik ke DPRD, sekonyong-konyong memiliki pengaruh mengubah mata anggaran daerah? Bukankah itu mengada-ada? 

Dalam kritik terhadap standar keadilan hukum yang diajukan H.L.A Hart, filsuf hukum Lon Fuller [1954] mengatakan bahwa setiap orang memiliki deep meaning yang mengarahkannya dalam memaknai sekaligus mengekspresikan kembali karakter suatu peristiwa [hukum]. Makna mendalam itu muncul dalam ekspresi yang sederhana, tidak melulu argumen yang canggih. Dalam berbagai peristiwa, standar keadilan yang merupakan keluaran proses formal, termasuk dari mulut hakim, justru seringkali diselimuti intrik. Canggih tapi menyembunyikan rekayasa.

Namun, tidak demikian pada orang biasa. Mereka bisa melihat dengan jernih, hitam berbeda dari putih. Dalam kasus GJ, orang-orang biasa dengan mudah merasakan kejanggalan yang tidak biasa dari perasaan hati mereka. Istri dan anak-anak GJ yang sama sekali tidak paham pasal hukum merasakan kejanggalan itu. Ada yang salah.

Beruntung, banyak orang yang ikut ambil bagian mendukung GJ tak jemu-jemu menggotong lori keadilan di berbagai arena.

Ketika kasus ini dibawa ke tingkat kasasi, memang tetap ada rasa jerih dan ngeri. Mengapa? Karena tidak pernah ada preseden orang kecil yang dituduh korupsi dibebaskan dalam putusan kasasi. Lebih sering terjadi pencari keadilan dihukum lebih berat. GJ sudah mengalaminya di tingkat banding. Hakim Pengadilan Tinggi Kupang menjatuhkan putusan lebih dari tuntutan jaksa. GJ dijatuhi pidana penjara lebih berat. Dari putusan 2 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama menjadi 4 tahun penjara di pengadilan tinggi.

Tidak hanya itu, ia harus mengganti uang negara sebesar harga tanah, Rp402.245.455 subsider penjara 1 tahun. Juga, dikenakan pula denda sebesar Rp200.000.000 subsider 3 bulan kurungan. Itu berarti Pengadilan Tinggi Kupang memutuskan George membayar uang sejumlah Rp. 602,245,455 dan penjara 4 tahun. Jika tidak sanggup mengembalikan uang pengganti dan denda, maka diganti dengan pidana penjara 1 tahun dan kurungan 3 bulan.

Semuanya itu menutup pandangan sekaligus menimbulkan keraguan. Di tingkat kasasi, jangan-jangan hukumannya akan lebih berat. Namun, MA akhirnya mengadili kembali fakta dan memutuskan bahwa pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding salah. Keadilan yang menurut orang biasa sempat tercecer di luar lori ditarik kembali oleh MA.

Putusan MA ini memberi harapan bahwa masih ada ruang yang sehat untuk hukum. Hukum melayani deep meaning orang biasa yang sungguh hati mencari keadilan. Kita memerlukan kepastian untuk itu. Seperti kata pepatah latin, misera est servitus, ubi ius est vagum aut incertum, yang berarti ketidakjelasan dan kesuraman hukum merupakan perbudakan yang mengerikan.

MA telah menjauhkan ancaman perbudakan tersebut dan membawa kita kembali ke masyarakat merdeka, yang memiliki harapan bahwa tidak boleh ada lagi Gregorius Jeramu lainnya di republik ini.

Bernardinus Steni adalah orang Manggarai yang berdomisili di Jakarta, pernah menjadi dosen tamu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universitas Indonesia

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya