Mengapa Tanah Kerangan Sah Milik Pemkab Mabar?

Dengan menggunakan metode IRAC (Issues, Regulations, Analysis, Conclusion), Elias Sumardi Dabur, advokat, pecinta keadilan dan perdamaian berpendapat bahwa Tanah Kerangan yang hingga kini menjadi polemik dan sedang diproses di Pengadilan Tipikor Kupang adalah sah sebagai milik Pemkab Mabar.

Oleh: ELIAS SUMARDI DABUR, Advokat, Pecinta Keadilan dan Perdamaian

Polemik terkait pemilikan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (Pemkab Mabar) atas tanah di Kerangan/Toroh Lemma Batu Kallo, Labuan Bajo mulai muncul ke permukaan di tahun 2011. Tapi, polemik ini menjadi konsumsi publik dan ramai diperbincangkan di berbagai media sekitar tahun 2016. Eskalasi perdebatan cenderung naik dan tajam seiring aksi klaim para pihak lainnya yang merasa memiliki hak dan kepentingan atas tanah dimaksud.

Dalam perkembangannya, klaim-klaim para pihak berubah menjadi gerakan pengamanan fisik dan permohonan menerbitkan sertifikat atas lahan tersebut. Nama-nama yang sempat muncul dan menonjol pada awalnya di antaranya H. Adam Djuje, ahli waris Raja Pota, dan ahli waris Abdullah Tengku Daeng Malewa. Belakangan, ada lagi nama-nama lain. Bahkan, ada enam orang yang ternyata sudah memiliki sertifikat untuk sebagian kecil dari lahan tersebut.

Secara restrospektif, dalam polemik pemilikan Pemkab Mabar atas Tanah Kerangan ini, salah satu akar konflik yang mencuat adalah soal keabsahan hak Pemkab Mabar dengan alas hak Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah dari Fungsionaris Adat Nggorang kepada Pemda Manggarai (sebagai induk dari Kabupataen Mangggarai Barat) pada 14 Mei 1997.

Bagi sebagian pihak, Tanah Kerangan belum bisa dikatakan sepenuhnya atau sah menjadi milik Pemkab Mabar. Pendapat ini didasari atas informasi dan data soal ganti rugi penyerahan tanah dari Pemda Manggarai kepada Fungsionaris/Tua Adat Nggorang yang belum lunas, di mana yang sudah dibayar sebesar lima juta rupiah dari total sepuluh juta rupiah. Alasan lain adalah tidak adanya tanda tangan Bupati Gaspar Ehok pada dokumen Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah.

Isu lain yang muncul adalah tanah tersebut belum tercatat dalam Daftar Inventarisasi Aset Pemda Mabar dan mempersoalkan kewenangan Bupati Gaspar sebagai pihak yang mengajukkan permohonan atas tanah. Lalu, terdapat fakta bahwa ada enam orang yang mempunyai sertifikat pada lahan yang sama; sehingga luas keseluruhan tanah aset Pemda Mabar berkurang.

Kejati NTT menyita Lahan Kerangan seluas 30 hektar di Kelurahan Labuan Bajo, Mabar. Taksir Kejaksaan, negara mengalami kerugian 1,3 triliun akibat transaksi tanah tersebut. (Foto: Floresa).

Sementara itu, pihak lainnya, termasuk penulis sendiri sejak awal munculnya polemik ini berpendapat bahwa kesepakatan penyerahan tanah dalam pertemuan atau musyawarah antara Bupati Gaspar Ehok dan Fungsionaris Adat Nggorang, H. Ishaka, di tahun 1989 itulah sahnya penyerahan tanah, lalu untuk formilnya kesepakatan tersebut, sesuai perintah undang-undang, kesepakatan perlu dibuat dalam bentuk akta. Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah pada 14 Mei 1997 sifatnya untuk melengkapi atau menyempurnakan musyawarah-mufakat sebelumnya. Pendapat penulis saat itu lebih didasari pertimbangan akal (conviction raisonnee) dan mata batin atau intuitif (conviction intime) dari keterangan, informasi-informasi para pihak yang mengklaim memiliki hak dan kepentingan atas Tanah Kerangan.

Aksi Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) pada tahun 2020 mulai dari penyelidikan, penyidikan, penetapan dan penuntutan terhadap para tersangka terkait kasus tanah ini, dengan tudingan dugaan korupsi aset, yang bahkan kini sudah memasuki tahapan persidangan terhadap tujuh dari delapan belas tersangka/terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang rupanya belum mengakhiri polemik yang ada.

Malah, aksi Kejati NTT membawa pembelahan pendapat. Ada yang senang karena merasa negara hadir dan membangkitkan lagi optimisme pada hukum seperti tergambarkan dengan baik dalam pepatah Latin, Dormiunt Aliquando Leges, Nonquam Moriuntur (Hukum terkadang tidur, tapi tidak mati). Setidaknya, aksi Kejati membawa secercah cahaya

Tetapi, ada juga yang mempersoalkan dasar hukum klaim Kejati NTT menetapkan status tersangka tindak pidana korupsi terhadap beberapa orang yang berkepentingan dengan lahan itu. Berbagai upaya dilakukan untuk menggiring persoalan ini ke perkara perdata dan diselesaikan melalui pengadilan biasa.

Para tersangka kasus Tanah Kerangan diberangkatkan ke Kupang dari Bandara Komodo, Kamis, 14 Januari 2020. (Foto: Ist.).

Terlepas dari masih adanya pro-kontra, faktanya, saat ini tahapan perkara sudah mulai berlangsung di Pengadilan Tipikor Kupang. Sambil mengikuti proses persidangan dan menanti keputusan akhir dari para hakim yang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini, karena bagaimanapun dalam sistem hukum Indonesia, putusan pengadilan itu bersifat otoritatif dan implikasinya sebagai sumber hukum yang ditunjang oleh asas res judicata pro veritate habetur (apa yang diputuskan oleh pengadilan harus dianggap benar), namun, penulis merasa tetap perlu menyampaikan pendapat demi kepentingan ilmu pengetahuan dan keberpihakan kepada kepentingan umum sekaligus menguatkan pendapat awal bahwa tanah ini sudah sah milik Pemkab Mabar.

Dalam tulisan ini, metode penemuan/penerapan hukum yang dipakai adalah metode IRAC (Issues, Regulations, Analysis, Conclusion). Isu atau pertanyaan hukumnya (Issues) adalah Apakah Pelepasan Hak Atas Tanah dari Fungsionaris Adat Nggorang kepada Pemda Manggarai berdasar hukum? Lalu, Regulations maksudnya regulasi/aturan/ketentuan hukum yang relevan dan terkait dengan isunya. Sementara Analysis berhubungan dengan penerapan, penemuan hukum pada isu, peristiwa, fakta-fakta hukum, dan terakhir, Conclusion atau kesimpulan.

Landasan Yuridis Pelepasan Hak Atas Tanah

Sebelum menerapkan hukum pada fakta/peristiwa konkret, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu secara garis besar landasan yuridis (materiil), di samping landasan hukum formilnya (Hukum Acara) penyerahan atau pelepasan hak atas tanah.

Hal ini bisa menyasar sekaligus menjadi cermin reflektif-evaluatif dari pihak-pihak yang mengklaim memiliki hak dan kepentingan atas Tanah Kerangan, termasuk juga masyarakat umum yang menaruh perhatian pada konflik ini: apakah individu boleh memiliki tanah sampai 30 (tiga puluh) hektar? Apakah klaim kepemilikan para pihak berdasar atau sesuai dengan konsepsi, asas dan hukum materiil tanah? Apakah dengan memiliki sertifikat menjadi jaminan bahwa tanah tersebut sudah kuat menjadi bukti kepemilikan?

Dalam menyelesaikan sengketa/konflik pertanahan, sumber pegangan yang perlu diperhatikan adalah: asas-asas dan ketentuan hukum materiilnya, yaitu Hukum Tanah Nasional: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

UUPA merupakan ketentuan hukum materiil yang menjadi landasan bagi segala aspek penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan menyangkut objek tanah. UUPA berlandaskan hukum adat mengenai tanah yang berkonsepsi komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak penguasaan yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan yang dalam Pasal 6 UUPA dinyatakan sebagai fungsi sosial.

Asas-asas hukum yang berlaku mengenai penguasaan dan pemilikan tanah dan perlindungan yang diberikan kepada para pemegang hak atas tanah, di antaranya: penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional; penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya, tidak dibenarkan bahkan diancam dengan sanksi pidana, dan asas-asas lainya, termasuk dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan selain kepentingan umum.

Dalam hubungannya dengan penyerahan/pelepasan hak atas tanah, secara prinsip, semua hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada negara. Penyerahan sukarela inilah yang disebut dengan melepaskan hak atas tanah. Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa, “Hak milik hapus bila tanahnya jatuh kepada negara dan musnah. Hak milik jatuh kepada negara terjadi karena pencabutan hak (Pasal 18 UUPA); penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; diterlantarkan; dan ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2 UUPA.”

Tata Cara Pengadaan Tanah

Ketentuan sebagaimana dimaksud UUPA tersebut diatur lebih lanjut dalam pelbagai produk perundang-undangan tentang Tata Cara Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum. Dalam perkembangannya, landasan hukum pengadaan tanah terus mengalami perubahan. Peraturan terbaru adalah Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang disahkan pada tanggal 14 Agustus 2012, sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

Kalau dirunut ke belakang, landasan yuridis pengadaan tanah bagi kepentingan umum adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah (PMDN No.15/1975).

Lalu, PMDN ini berubah lagi dengan lahirnya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.  Dalam perkembangannya, Keppres 55/1993 diganti lagi dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan selanjutnya diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Perubahan peraturan satu terhadap peraturan yang lainnya menunjukan adanya upaya untuk terus melakukan perbaikan atau penyempurnaan pengaturan hukum pengadaan tanah. Dengan kata lain, hukum pengadaan tanah yang terus mengalami perubahan itu tentunya berangkat dari prinsip kunci atau filosofi utamanya, yaitu supaya pemerintah atas nama kepentingan umum tidak semena-mena atau dengan cara memaksa mengambil hak milik individual atau tanah-tanah adat.

Aturan-aturan ini pada dasarnya bertujuan melindungi hak milik pribadi atau komunal (adat). Jadi, ada aturan dan prosesnya. Lebih demokratis. Kalau masyarakat berbaik hati, tulus dan sukarela mau menyerahkan tanahnya, artinya tidak rumit lagi mengadakan tanah itu. Sekali lagi, itulah filosofi, roh, dasar dari semua peraturan yang ada.

Rezim Hukum Pengadaan Tanah yang Berlaku

Dihubungkan dengan perbuatan hukum berupa Penyerahan Hak Atas Tanah Kerangan/Toroh Lemma Batu Kallo, rezim hukum pengadaan tanah yang berlaku saat itu adalah Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 (Keppres 55/1993) Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Berdasarkan Keppres dimaksud, pelepasan atau penyerahan hak adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah” (Pasal 1 butir 2 Keppres 55/1993).

Keppres 55/93 ini terbit atas pertimbangan bahwa pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Atas dasar pertimbangan tersebut, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah.

Dalam hukum pengadaan tanah, cara lain disediakan juga, yakni dengan pencabutan hak yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya. Apabila cara musyawarah yaitu dengan pemindahan hak atau pelepasan hak atas tanah tidak berhasil maka baru ditempuh dengan Cara Wajib (Compulsory Acquisition of Land) yaitu ditempuh dengan pencabutan hak atas tanah.

Pertimbangan-pertimbangan ini dibingkai dalam pokok-pokok kebijakan tanah, yakni semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk tujuan tersebut oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Sedangkan, pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara jual-beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain; pendidikan atau sekolah.

Prosedur Pengadaan Tanah

Sementara itu, terkait prosedur pengadaan tanah, Pasal 6 Keppres ini mengatur (1) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, (2) Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II, (3) Pengadaan tanah berkenaan dengan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kotamadya atau lebih, dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah tingkat Propinsi yang diketuai atau dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili Instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Dalam foto tahun 1997 ini tampak Haji Muhammad Adam Djudje (kiri) bersama rekannya, Kamis Kamnu, berdiri di bagian atas lahan 30 hektar yang diserahkan ke Pemda Manggarai. Djudje dimandatkan oleh Haji Ishaka, Fungsionaris Adat Nggorang untuk mengukur lahan tersebut. (Foto: dokumen Frans Paju Leok)

Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk bertugas untuk mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan; mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya; menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan; memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut; mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian; menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bantuan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah; membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Musyawarah adalah Kunci

Berdasarkan ketentuan pasal 9 Keppres No. 55/1993 pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan musyawarah yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan. Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan para pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan yang disepakati oleh para pihak.

Dari uraian dasar hukum ini, bisa disimpulkan bahwa elemen penting yang menjadi roh dasar dari pelepasan hak atas tanah adalah musyawarah. Tentang musyawarah itu sendiri, Keppres 55/93 merumuskannya sebagai proses atau kegiatan saling mendengar, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas sikap kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.”

Tanpa adanya proses musyawarah antara pemegang hak atas tanah dan pihak/instansi pemerintah yang memerlukan tanah, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum tidak akan pernah terjadi atau terealisasi dalam implementasinya.

Oleh karena itu, segi-segi hukum materiil pelaksanaan penyerahan hak atau pelepasan hak atas tanah pada dasarnya masuk ke dalam lingkup Hukum Perdata. Dengan perkataan lain bahwa keabsahan atau ketidakabsahan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai cara pengadaan tanah ditentukan ada tidaknya kesepakatan di antara kedua belah pihak yang berarti sah tidaknya perbuatan hukum yang bersangkutan. Dalam hal ini pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berlaku antara lain syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.

Menurut pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) cakap untuk membuat suatu perikatan, (3) suatu hal tertentu dan (4) suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif menyangkut subyek perjanjian. Dua syarat terakhir disebut syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian.

Sebuah perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dibatalkan, artinya salah satu atau para pihak dapat mengajukan permohonan bahwa perjanjian yang dibuatnya untuk dibatalkan. Sementara itu perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif dapat dibatalkan demi hukum artinya dapat dibatalkan dengan sendirinya tanpa melalui permohonan untuk dibatalkannya suatu perjanjian.

Kata sepakat sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian mengandung arti bahwa kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat tekanan apapun yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak bebas tersebut. Pengertian sepakat adalah sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverkalring) antara para pihak.

Sehubungan dengan syarat kesepakatan, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang dapat menyebabkan cacatnya suatu kesepakatan, yaitu kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi, “Tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

Kekhilafan atau kesesatan dapat mengenai orangnya (error in persona) sebagai subyek hukum dan kekhilafan atau kesesatan mengenai barangnya atau obyeknya (error in subatatia/objecto) sebagai objek hukum.

Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, subyek hukumnya adalah pemegang hak atas tanah dan pemerintah yang membutuhkan tanah tersebut. Sementara itu, kekhilafan terkait dengan objeknya, dalam hal ini tanah yang diperlukan untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, tidak ada kata sepakat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, jika terjadi kekhilafan atau kesesatan baik mengenai orangnya (error in persona) maupun mengenai objeknya (error in objecto).

Melengkapi pemaknaan yuridis dari musyawarah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Mahkamah Agung melalui putusannya nomor 2263/pdt/1993 merumuskan pengertian musyawarah sebagai perjumpaan kehendak antara pihak-pihak yang tersangkut tanpa rasa takut dan paksaan.

Dalam yurisprudensi tersebut, prasyarat musyawarah adalah adanya perjumpaan kehendak antara pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah yang membutuhkan tanah dan adanya jaminan bagi pihak-pihak terlibat dalam musyawarah tersebut dari rasa takut, tertekan akibat paksaan, intimidasi, teror, apalagi kekerasan.

Pelepasan atau Penyerahan Hak Atas Tanah Kerangan: Perspektif Hukum

Setelah menguraikan secara garis besar dasar hukum dan tata cara pengadaan tanah, pembahasan ini berlanjut kepada pertanyaan pokoknya: Apakah penyerahan/pelepasan hak atas tanah Kerangan sudah sesuai dengan ketentuan pelepasan hak atas tanah?

Dalam menerapkan hukum pada fakta atau peristiwa, langkah-langkah penting yang perlu dilakukan atau diuji adalah apakah syarat-syarat perbuatan atau keadaan yang disebutkan dalam ketentuan tersebut sudah terpenuhi atau belum.

Pada Keppres 55/1993 ini, syarat utama perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah adalah musyawarah. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, musyawarah ini harus dihubungkan atau dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian, yakni:

Pertama, sepakat mereka yang membuatnya. Elemen kunci ini telah terpenuhi dengan adanya perjumpaan di antara Bupati Manggarai Gaspar Ehok dan Fungsionaris/Tua Adat Nggorang, H. Ishaka. Dalam pertemuan yang berlangsung di Labuan Bajo pada tahun 1989, Bupati Manggarai meminta sebidang tanah kepada Fungsionaris Adat Nggorang untuk keperluan-kepentingan pembangunan sekolah perikanan dan kelautan.

Permintaan tersebut dikabulkan Fungsionaris Nggorang H. Ishaka dengan menunjuk lokasi tanah ulayat di Kerangan.  Hal ini ditegaskan kembali oleh Mantan Bupati Manggarai (1989-1999) dalam Surat Pernyataan/Penegasan tertanggal 22 Oktober 2014, pada poin 5:

“Secara struktur adat, pertemuan saya sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Manggarai dengan Dalu/Fungsionaris Adat Kedaluan Nggorang dan dikabulkannya permintaan saya, sekaligus penyebutan dan penunjukan tanah ulayat di Kerangan, sesungguhnya tidak berarti lain kecuali bahwa tanah ini telah diberi/dikuasai Pemda Manggarai.”

Kedua, cakap mereka yang membuat perikatan. Syarat ini terpenuhi, karena dilakukan oleh pihak yang berhak dan berwenang, dalam hal ini Fungsionaris/Tua Adat Nggorang. Dalam hukum adat, Hak Penguasaan Atas Tanah terdiri atas: Hak Ulayat (Hak Komunal); yang dipegang oleh seluruh masyarakat adat, yang kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata dari para anggota masyarakat hukum adat atas bagian dari tanah ulayat; dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat); dan Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tua Adat, yang berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri.

Hak Ulayat dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan hukum atas tanah yang didiami. Hak Ulayat mengandung 2 (dua) unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur tugas-kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang termasuk bidang hukum publik yang kewenangan pelaksanaannya dilimpahkan kepada Kepala Adat sendiri atau bersama-sama para Tetua Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan, pihak kedua selaku penerima, Bupati Manggarai. Posisinya dalam  susunan Panitia Pengadaan Tanah adalah sebagai ketua merangkap anggota. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Bupati Gaspar Ehok berhak dan berwenang selaku pihak dalam penyerahan/pelepasan hak atas tanah Kerangan.

Ketiga, suatu hal tertentu, dalam hal ini objeknya. Unsur ini pun terpenuhi. Objeknya jelas, yaitu tanah komunal di Kerangan/Toro Lemma Batu Kallo, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Dati II Manggarai, dengan batas-batas: Utara, berbatasan dengan jalan pertigaan menuju pantai/laut, Selatan, berbatas dengan laut Flores/tanah negara, Timur, berbatas dengan jalan pertigaan menuju Toroh Batu Kallo, Barat, berbatas dengan laut Flores/tanah negara. Luas tanah adalah 30 hektar sesuai dengan pengukuran petugas BPN Kabupaten Manggarai.

Pengukuhan dan pengukuran atas tanah ini dilakukan pada tanggal 14 Mei 1997 oleh petugas bidang pertanahan Kabupaten Manggarai dan H. Adam Juje yang diberi mandat mewakili Fungsionaris Adat Nggorang. Proposal pengajuan pemasangan pilar di lokasi Kerangan diajukan H. Adam Juje pada 28 Oktober 1997 dan disetujui oleh Sekwilda Manggarai pada 30 Oktober 1997. Kemudian, pada 17 Januari 1998, Fungsionaris/Tua Adat Nggorang, H. Ishaka dan Haku Mustafa membuat Surat Pernyataan untuk menegaskan kembali bahwa tanah adat di Toroh Lemma Batu Kallo telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Manggarai pada tanggal 14 Mei 1997.

Surat ini dibuat di hadapan Kepala Kelurahan Labuan Bajo, Yoseph Latip, tanpa paksaan, untuk menjernihkan semua masalah yang berkaitan dengan kepemilikan tanah tersebut selanjutnya. Dalam surat ini, penerima Kepala Kelurahan Labuan Bajol, Yoseph Latip dan mengetahui Camat Komodo, Yos Vins Ndahur.

Keempat, suatu sebab yang halal. Suatu persetujuan tanpa sebab atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata). Makna “sebab” di sini bukan merupakan motivasi atau dorongan jiwa yang membuat para pihak membuat kontrak. Hukum tidak mempedulikan motivasi dan dorongan jiwa semacam itu di dalam kontrak. Makna “sebab” yang dimaksud adalah isi dari kontrak itu sendiri. Makna “halal” di sini bukan halal secara agama, melainkan secara hukum, yaitu objek yang diperjanjikan bukan merupakan objek yang terlarang secara hukum. Sebab yang halal meliputi perbuatan yang tidak melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Syarat ini terpenuhi. Hal ini bisa dilihat atau dibaca pada isi Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah, pihak yang menyerahkan tanah menyatakan secara tegas: menjamin bahwa tanah tersebut tidak terkena sitaan, dan tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa dengan orang atau pihak lain, tidak dijaminkan dengan cara apapun kepada orang atau pihak lain, tanah tersebut belum pernah diserahkan dengan cara apapun kepada orang atau pihak lain; tidak ada pihak lain yang ikut mempunyai sesuatu hak apapun oleh orang atau pihak lain atas tanah tersebut, di atas tanah tersebut tidak terdapat pekuburan umum atau perorangan.

Pihak pemberi juga menjamin pihak kedua tidak akan mendapat tuntutan atau gugatan apapun dan dari siapapun juga mengenai tanah tersebut dan membebaskan pihak kedua dari segala tuntutan dan gugatan adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak kesatu.

Elemen lainnya, yakni ganti rugi. Unsur ini terpenuhi, telah disepakati dan ditetapkan kedua belah pihak seluruhnya RP. 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah). Jumlah uang tersebut seluruhnya telah diterima oleh pihak kesatu. Hal ini bisa dibaca dari isi Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah pada bagian (b) bahwa jumlah uang tersebut seluruhnya telah diterima oleh pihak kesatu sebagaimana ternyata pada kwitansi terlampir dan Surat Pernyataan ini berlaku pula sebagai kwitansi tanda penerimaan, termasuk pula penyerahan tanah komunal tersebut dalam keadaan kosong, dalam arti tidak dihuni atau digarap oleh siapapun oleh pihak kesatu kepada pihak kedua.

Unsur penting berikutnya adalah pelepasan hak. Hal ini terpenuhi dengan dibuatnya berita acara penyerahan/pelepasan hak dalam bentuk Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah. Surat Pernyataan itu ditandatangani Haji Ishaka dan Haku Mustafa sebagai Fungsionaris Adat/Tua Adat bertindak untuk dan atas namanya sendiri dan atas nama masyarakat dalam wilayah persekutuan Adat Nggorang dan Gaspar Ehok, Bupati Manggarai yang dalam Surat Pernyataan ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Daerah Tingkat II Manggarai.

Dalam Surat Pernyataan tersebut, Fungsionaris Adat Nggorang menyatakan melepaskan segala hak dan kepentingan termasuk benda-benda yang ada di atas lokasi Kerangan (komunal), sehingga dengan demikian menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara dan bahwa pelepasan hak ini semata-mata untuk kepentingan pihak kedua dan karenanya pihak kedua dapat mengajukan permohonan hak atas tanah yang akan didaftar atas nama Pemerintah Daerah Tingkat II Manggarai.

Surat pernyataan ini dibuat pada tanggal 14 Mei 1997 di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai, dengan disaksikan oleh Camat Komodo, Yos Vins Ndahur dan Kepala Kelurahan Labuan Bajo, Yoseph Latip.

Soal Pembuktian

Dari peristiwa dan perbuatan hukum ini, ada pihak yang mempersoalkan tidak adanya tanda tangan Bupati Gaspar dalam Surat Pernyataan tersebut. Terkait soal ini, kiranya perlu dipahami bahwa pencantuman tanda tangan dalam suatu perjanjian bukanlah sebagai syarat sahnya perjanjian. Tanda tangan hanya untuk memberi ciri atau untuk mempersonalisasi sebuah perjanjian.

Dalam Pasal 1876 KUHPerdata diatur bahwa terhadap suatu tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, para pihak yang dihadapkan terhadap tulisan tersebut dapat melakukan dua hal: mengakui atau memungkiri kebenaran tulisan atau tanda tangannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka suatu tanda tangan memiliki fungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi yang pada umumnya memastikan kebenaran terhadap: identitas penandatangan; dan isi dari tulisan tersebut.

Tentang belum ditandatatanganinya Surat Pelepasan Hak dalam Surat Keterangan/Penegasan, tertanggal 22 Oktober 2014, Bupati Gaspar sudah menjelaskan identitas dirinya sebagai Bupati Manggarai periode 1989-1999 yang telah bertemu dengan Fungsionaris Adat, mengakui adanya peristiwa dan isi perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah dan menjelaskan alasan belum ditandatanganinya surat dimaksud.

Isu lainnya, Pemda tidak memegang Surat Pernyataan Pelepasan Hak yang asli, nya memegang foto copy surat. Hal ini sebetulnya bukanlah hal yang esensial. Foto copy tidak mengurangi esensi bahwa itu tanah Pemda. Dalam konteks urusan administratif pengurusan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), surat pernyataan pelepasan asli diwajibkan; namun, apabila surat pernyataan yang asli hilang atau dihilangkan, maka BPN hanya memerlukan adanya surat laporan kehilangan dari kepolisian. Berbekalkan surat laporan kehilangan dari kepolisian tersebut, BPN akan tetap memproses pendaftaran tanah. Lalu, terkait belum terdaftar dalam daftar inventarisasi aset penyerahan dari Kabupaten Manggarai ke kabupaten Manggarai Barat, hal ini pun tidak mengurangi esensi bahwa tanah itu milik Pemda.

Terkait dengan pihak yang sudah mempunyai sertifikat atas tanah, faktanya tiga orang sudah menyerahkan sertifikat kepada penyidik karena dari hasil penyidikan ditemukan bahwa alas hak berupa Surat Pelepasan Hak dari Fungsionaris Nggorang palsu. Dalam hubungan dengan sertifikat, perlu ditegaskan bahwa sertifikat/tanda bukti hak memang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Namun, perlu diketahui bahwa sistem pendaftaran tanah nasional menganut stelsel negatif. Artinya, sertifikat dianggap benar selama tidak ada pihak lain yang membuktikan sebaliknya. Dengan kata lain, memiliki sertifikat tidak menjadi suatu kebenaran mutlak.

Data-data yang diangkat sebagai dasar mempersoalkan legalitas Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah dimaksud, sebetulnya telah dibantah oleh pihak lainnya, sebagaimana diterangkan oleh Mantan Kepala Badan Pertanahan Manggarai Barat, Anom Astika dalam komentarnya yang dikutip dari Floresa pada pada 3 Februari 2018:

“Secara formal yuridis, data dan dokumen pemda Mabar sangat kuat, apalagi ditambah dengan keterangan saksi-saksi, dan didukung dengan surat dari kepala desa, surat fungsionaris adat dan camat. Belum terbitnya sertifkat atas nama pemda Mabar lebih karena adanya klaim pihak lain atas tanah tersebut.”

Demikian juga halnya soal belum diinventarisnya Tanah Kerangan sebagai aset Pemda. Dalam tulisannya di media online KlikLabuanbajo.id (10 Januari 2020), dengan judul ”Kasus Korupsi 3T Labuan Bajo: Kejaksaan Tidak Boleh Terpengaruh oleh Intrik para Mafia Tanah, Yos Nggarang, aktivis yang ikut mengawal kasus ini Yos menyatakan:

“Juga untuk mereka yang koar-koar selama ini bahwa tanah Keranga atau Toro Lemma Batu Kalo tidak masuk dalam inventaris penyerahan aset saat pemekaran tahun 2003, jangan mengingkari dan menutupi ini. Penyerahan aset tanah Keranga/Toro Lemma Batu Kallo memang tidak terjadi tahun 2003, tapi terjadi pada tahun 2005, dalam satu bundle dokumen: BERITA ACARA SERAH TERIMA HASIL KLARIFIKASI P3D ANTARA KABUPATEN MANGGARAI DAN MANGGARAI BARAT. NO.PEM.115//30a/I/2005. Dokumen berita acara ini tidak hanya menerangkan soal penyerahan aset lahan Kerangan/Toro Lemma Batu Kallo, tapi memuat penyerahan aset lainnya, yaitu aset Pantai Pede. Soal lahan Kerangan menerangkan beberapa point surat: “Surat pelepasan hak atas tanah (asli 4 berkas), kuitansi panjar dari uang ganti rugi tanah seperti tersebut dalam kuitansi (asli 4 lembar), lalu surat legalisasi (asli 4 lembar), kuitansi uang ganti rugi tanah komunal/tanah adat yang terletak di Keranga Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai dengan nilai uang sebesar Rp 10.000.000 (5 lembar).”

Surat berita acara P3D ini ditandatangani oleh Bupati Drs. Anton Bagul Dagur sebagai Bupati Manggarai, Ongge Yohanes sebagai Ketua DPRD Manggarai, PJS Bupati Manggarai Barat Drs. Djidon De Haan, MSi, Matius Hamsi sebagai Ketua DPRD Manggarai Barat. Semua pertanyaan dan keraguan sebagian orang terkait persoalan ini, saya meyakini akan terjawab pada waktu dan tempat yang tepat.”

Informasi lain tentang belum lunasnya uang ganti rugi terbantahkan dengan sendirinya, karena dalam Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah, tertanggal 14 Mei 1997, pada butir b telah dinyatakan secara tegas bahwa jumlah uang tersebut seluruhnya telah diterima oleh pihak kesatu sebagaimana ternyata pada kwitansi terlampir dan Surat Pernyataan ini berlaku pula sebagai kwitansi tanda penerimaan. Klausul ini diperkuat dengan keterangan salah satu saksi hidup, Frans B. Paju Leok dalam wawancara dengan Floresa.co (21/03/2018):

“…Selain itu, kuitansi-kuintansi pembayaran uang sirih pinang kepada keraeng Dalu Ishaka itu kan ada. Waktu saya pergi bertemu Dalu Ishaka, kami bawa Rp 5 juta. Itu tahap pertama dan ada tahap kedua pembayaran, membawa Rp 5 juta lagi. Yang bawa uang adalah Pit Agus, bagian umum pemerintahan waktu itu.”

Frans Paju Leok, mantan pejabat di Kabupaten Manggarai saat diwawancarai Floresa.co di rumahnya di Tenda, Ruteng. Pada tahun 1997, ia mendapat mandat mengurus tanah 30 hektar di Labuan Bajo, yang diperoleh dari Fungsionaris Adat Nggorang. (Foto: Floresa)

Sesungguhnya, isu-informasi yang diangkat pihak yang menanyakan keabsahan hak Pemda Manggarai Barat atas tanah Kerangan, dan ternyata disangkal oleh pihak lain baik melalui dokumen maupun keterangan para saksi hidup lebih kepada soal pembuktian.

Dalam lapangan hukum perdata, akta seperti Surat Pernyataan Pelepasan itu hanya sebagai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta. Akta tidak berhubungan dengan sah atau tidak sahnya perjanjian. Di sini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum.

Di samping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari apabila ada sengketa. Lebih lagi, Surat Pernyataan itu sendiri merupakan salah satu jenis alat bukti, selain pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah dan keterangan ahli.

Segala macam isu tersebut, kinilah tiba saatnya untuk dibuktikan dalam persidangan baik pada sidang praperadilan maupun perkara pokoknya di Pengadilan Tipikor Kupang.

Penulis meyakini jaksa penyidik dari Kejati NTT dalam proses penyelidikan sudah menanyakan kepada para mantan pejabat/saksi hidup, termasuk pengakuan ahli waris Fungsionaris Adat Nggorang untuk membuktikan peristiwa penyerahan tanah secara adat benar terjadi (pembuktian formil) sehingga memberi kepastian kepada penyidik bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

Demikian pun dalam pembuktian materiil berkaitan dengan pertanyaan benarkah isi pernyataan di dalam akta kepada saksi-saksi, penyidik memperoleh kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta. Jaksa mengkonstruksikan realitas yang ada ketika terjadi proses dan peristiwa penyerahan hak tanah.

Dengan peristiwa dan perbuatan hukum Pelepasan Hak Atas tanah maka berakhirlah hak atas tanah dan statusnya menjadi tanah negara. Selanjutnya, Pemda berkewajiban mendaftarkan tanahnya dan juga mengamankan secara fisik. Selama ini, memang ada upaya pengamanan yuridis dan admistratif atas tanah Kerangan Toroh Lemma Batu Kallo oleh Pemda Mabar.

Hal ini bisa dilihat dari adanya pertemuan dengan para saksi sejarah penyerahan tanah dan menghasilkan surat pernyataan/penegasan, diantaranya dengan mantan Bupati Manggarai, Gaspar Ehok, Mantan Camat Komodo (1989-1993), Anton Us Abatan, adanya Surat Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch. Dulla, Nomor Pem.131/137/V/2015 tentang Penjelasan Tentang Tanah Pemda, tertanggal 13 Mei 2015 yang ditujukan kepada Haji Adam Djuje, Surat Undangan Pemkab Mabar Nomor Pem. 130/83/III/2017, tertanggal 12 Maret 2018, Perihal Mohon Kesedian untuk Memberi Keterangan Tentang Tanah Pemda di Kerangan.

Undangan ini dibuat dalam rangka proses sertifikat aset/tanah Pemda ditujukan kepada beberapa saksi hidup/pejabat yang terlibat dalam perisitwa penyerahan tanah, di antaranya Fidelis Kerong, Anton Us Abatan, Frans Harum, Yoseph Tote Latip, dan Kori Buraeni. surat-surat Bupati Manggarai Barat kepada H. Adam Djuje yang mengklaim memiliki tanah Kerangan dan permohonan penerbitan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.

Ini adalah perahu yang mengantar Frans Paju Leok bersama rombongan saat mengukur Lahan Kerangan. (Foto: dokumen Frans Paju Leok)

Upaya-upaya ini mentok karena di lahan yang sama diklaim beberapa pihak lain, sehingga BPN Manggarai Barat belum bisa menerbitkan sertifikat atas nama Pemkab Mabar. Sayangnya, upaya administratif ini tidak disertai pengamanan fisik lokasi atau upaya lain terhadap pihak yang menguasai tanah tersebut. Situasi dan kondisi ini memberi kesempatan kepada pihak lain menguasai tanah dan melakukan transaksi jual-beli atas tanah tersebut.

Sehubungan dengan aksi Kejati NTT, dalam hubungannya dengan tanah negara eks hak milik, terdapat perbedaan persepsi dengan otoritas lain, misalnya BPN. Dalam banyak kasus, Otoritas kejaksaan berpendapat bahwa dengan berakhirnya hak atas tanah, maka berakhirlah hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah tersebut. Sehingga, kepada orang-orang yang menguasai tanah negara, dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Inilah barangkali menjadi salah satu faktor kenapa Kejati NTT turun tangan dalam kasus tanah Kerangan/Toroh Lemma Batu Kallo.

Kesimpulan

Tetapi, kembali kepada poin inti tulisan ini, Penyerahan/Pelepasan Hak Atas Tanah Kerangan Toroh Lemma Batu Kallo seluas 30 (Tiga Puluh) hektar dari Fungsionaris Adat Nggorang kepada Pemda Manggarai sudah sah dan sesuai atau berdasar prosedur hukum pengadaan tanah.

Unsur pokok dari perbuatan hukum penyerahan atau pelepasan hak atas tanah, dalam hal ini musyawarah/pertemuan terpenuhi dengan adanya pertemuan/musyawarah antara Bupati Manggarai, Gaspar Parang Ehok dan Fungsionaris Adat Nggorang. Dalam pertemuan yang terjadi di tahun 1989 itu, Bupati Gaspar meminta sebidang tanah untuk keperluan pembangunan sekolah perikanan dan kelautan, dan permintaan itu dikabulkan oleh Fungsionaris Adat Nggorang, H. Ishaka dengan langsung menunjuk lokasinya. Artinya, musyawarah-mufakat itulah pokok, substansi atau inti, sahnya penyerahan/pelepasan hak atas tanah.

Kesepakatan ini diperkuat, dibuktikan dengan adanya Berita Acara Pelepasan Hak Atas Tanah (pembuktian fisik/lahiriah), didukung oleh keterangan saksi-saksi yang hidup dan adanya pengakuan dari ahli waris Fungsionaris Nggorang yang menyatakan kebenaran perisitiwa dalam surat tersebut (pembuktian formil) dan isi pernyataanya benar (pembuktian materiil). Sekedar penegasan, Berita Acara Pelepasan Hak Atas Tanah semata-mata untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum. Akta tidak berhubungan dengan sah atau tidak sahnya perjanjian.

Surat Pernyataan/Penegasan mantan Bupati Manggarai (1989-1999), Gaspar Ehok tertanggal 22 Oktober 2014 sejalan dengan basis argumentasi hukum di atas sebagaimana ditegaskan pada bagian 5 (Lima) Surat tersebut:

Bahwa bagi saya sesungguhnya Berita Acara dimaksud hanya untuk kelengkapan administrasi, sedangkan secara struktur adat, pertemuan saya sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Manggarai dengan Dalu/Fungsionaris Adat Kedaluan Nggorang dan dikabulkannya permintaan saya, sekaligus penyebutan dan penunjukan tanah ulayat di Kerangan, sesungguhnya tidak berarti lain kecuali bahwa tanah ini telah diberi/dikuasai Pemda Manggarai.”

***

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA