Perempuan, Patriarki, dan Kekerasan yang Tidak Kasat Mata

Kita perlu mengidentifikasi aspek budaya dan struktural yang membenarkan tindak kekerasan terhadap perempuan, lalu bersama-sama berupaya memperbaikinya - menuju dunia yang memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara

Oleh: Tamara Soukotta

Sejak tahun 1911, kita memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret. Peringatan ini penting untuk menggarisbawahi ketidaksetaraan gender antara perempuan dan laki-laki sebagai manifestasi hegemoni sistem patriarki yang seringkali muncul dalam sikap dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Salah satunya adalah dalam bentuk kekerasan yang seringkali terjadi karena  perlakuan diskriminatif ini. 

Di sisi lain, Hari Perempuan Internasional juga diperingati sebagai perayaan akan pencapaian-pencapaian kaum perempuan di dunia yang [masih] didominasi laki-laki dalam berbagai bidang. 

Terkait Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2025 ini, izinkan saya berbagi refleksi terkait kekerasan yang sayangnya masih sangat sering dialami perempuan di seluruh dunia, apapun latar belakangnya. 

Kekerasan terhadap/yang Dialami oleh Perempuan

Kekerasan terhadap – atau yang dialami – perempuan terjadi dalam berbagai bentuk. Ada kekerasan yang kasat mata, tapi lebih banyak lagi yang tidak kasat mata sehingga sering luput dari perhatian kita. 

Kekerasan yang kasat mata, karena sifatnya gampang dikenali, relatif lebih mudah untuk diangkat dan disoroti, lalu kemudian – harapan kita tentunya – ditindaklanjuti. 

Kekerasan yang kasat mata ini termasuk kekerasan fisik, seperti pembunuhan (femisida), pemukulan, penganiayaan, dan kekerasan seksual. Untuk jenis kekerasan terakhir ini penting diberi catatan tambahan. Kendati meninggalkan bekas yang bisa terlihat, misalnya melalui proses visum, namun kekerasan seksual  juga seringkali tidak kasat mata dan relatif sulit dibuktikan sehingga berada di batas antara kekerasan yang kasat mata dan tidak kasat mata. 

Kekerasan yang tidak kasat mata, karena tidak selalu ‘terlihat’ atau ‘tertangkap mata’,  seringkali lebih sulit untuk dibuktikan, diangkat, apalagi ditindaklanjuti. Kekerasan yang tidak kasat mata ini seringkali meninggalkan bekas yang lebih mendalam daripada kekerasan fisik yang bekasnya bisa terlihat mata. 

Kekerasan tidak kasat mata di sini termasuk di antaranya kekerasan finansial – misalnya larangan bekerja di luar rumah dan ketergantungan ekonomi – dan kekerasan psikologis – termasuk di antaranya kontrol, manipulasi, perselingkuhan. Penting dicatat di sini bahwa kekerasan yang kasat mata dan tidak kasat mata ini, walaupun tidak selalu, seringkali berjalan beriringan. 

Segitiga Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktur, dan Kekerasan Budaya

Berbicara tentang kekerasan, salah satu nama besar yang dikenal luas sebagai pencetus teori kekerasan adalah Johan Galtung [1930-2024], sosiolog berkebangsaan Norwegia, sosok di balik asal mula berdirinya studi-studi konflik dan perdamaian (peace and conflict studies). 

Dalam tulisannya berjudul “Cultural Violence” yang dipublikasikan oleh Journal of Peace Research pada tahun 1990, Galtung menawarkan teori segitiga kekerasan untuk menjelaskan bagaimana kekerasan bekerja. Pertama, soal kekerasan itu sendiri, Galtung melihatnya sebagai pelecehan terhadap kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia, dan secara umum pelecehan terhadap kehidupan, yang (1) seharusnya bisa dihindari, dan (2) dalam kenyataannya menurunkan tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia sehingga menjadi lebih rendah daripada apa yang seharusnya bisa dicapai. 

Dalam pemahamannya soal kekerasan, Galtung melihat bahwa ancaman kekerasan adalah juga kekerasan. Ini bisa dipahami, karena dalam kenyataannya ancaman kekerasan itu sendiri punya dampak secara psikologis terhadap korban atau pihak yang terancam.  

Kedua, soal kekerasan budaya, Galtung menjelaskan bahwa kekerasan budaya mencakup aspek-aspek budaya, misalnya agama dan ideologi, bahasa, seni, maupun ilmu pengetahuan, yang dapat digunakan untuk membenarkan dan melegitimasi kekerasan langsung dan/atau kekerasan struktural. Dengan kata lain, kekerasan budaya membuat kekerasan langsung dan kekerasan struktural dilihat atau dirasa baik, atau paling tidak bukan sesuatu yang dilihat atau dirasa salah. 

Kekerasan budaya menurut Galtung bekerja dengan cara mengubah sesuatu yang secara moral salah menjadi sesuatu yang secara moral bisa diterima. Ia memberi contoh soal pembunuhan. Kendati merupakan  tindakan kekerasan langsung – dan jika dilakukan demi kepentingan individu semata tetap dilihat sebagai salah, namun pembunuhan yang dilakukan atas nama negara – katakanlah dalam konteks perang atau hukuman mati –  menjadi sesuatu yang bisa diterima, bahkan dirayakan. 

Cara lain bagaimana kekerasan budaya bekerja adalah  dengan mengaburkan kenyataan, sehingga kita tidak bisa melihat tindakan kekerasan yang terjadi atau fakta terjadinya kekerasan, atau setidaknya kita tidak bisa melihat tindakan dimaksud sebagai tindak kekerasan. Menurut saya, ini salah satu catatan penting untuk memahami kenyataan kekerasan terhadap perempuan, baik yang kasat mata maupun tidak. 

Ketiga, soal kekerasan struktural. Menurut Galtung, untuk dapat memahami kategori-kategori kekerasan struktural, kita memerlukan sebuah gambaran struktur, sistem, yang pada dirinya sendiri adalah suatu bentuk kekerasan. Struktur/sistem kekerasan ini, dalam pemahaman Galtung, adalah struktur di mana eksploitasi berada persis di pusatnya. Dalam struktur yang berputar dengan eksploitasi pada porosnya ini, ada kelompok-kelompok yang berada di atas – mereka yang diuntungkan oleh eksploitasi, dan ada kelompok-kelompok yang berada di bawah – dirugikan karena eksploitasi.

Mereka yang dieksploitasi bisa sangat dirugikan sampai pada kematian. Galtung mencontohkan kematian karena kelaparan atau penderitaan yang bersifat permanen – misalnya kurang gizi dan kesehatan yang buruk. 

Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan kita bisa mengambil contoh kekerasan struktural ini dalam bentuk kematian (femisida) maupun cacat fisik dan/atau trauma psikologis karena penganiayaan atau penelantaran. Sebagaimana dijelaskan oleh Galtung, struktur/sistem kekerasan ini meninggalkan bekas dalam diri manusia yang mengalaminya; tidak hanya bekas pada tubuh, tapi juga pada pikiran dan jiwa. 

Keempat, kekerasan langsung. Kekerasan langsung sebagaimana beberapa contoh yang diberikan ketika menjelaskan soal kekerasan budaya dan kekerasan struktural, adalah tindakan kekerasan itu sendiri, misalnya pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya. 

Ketika ketiga kekerasan ini – budaya, struktural dan langsung – dihubungkan, maka yang terbentuk adalah segitiga kekerasan. Galtung melihat segitiga kekerasan ini sebagai gambar yang bisa diputar ke arah yang berbeda. Ketika kita menempatkan kekerasan langsung dan kekerasan struktural pada dasar segitiga, maka kekerasan budaya di puncak segitiga bisa dipahami sebagai faktor yang melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural. 

Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, kita bisa melihat aspek-aspek dalam budaya kita, baik dalam pemahaman agama ataupun dalam produksi ilmu pengetahuan yang membuat kita melihat perempuan sebagai manusia kelas dua yang posisinya selalu di belakang atau di bawah laki-laki. 

Budaya yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah daripada laki-laki ini lalu melegitimasi (1) struktur yang menempatkan perempuan pada posisi yang tereksploitasi atau dirugikan, sementara laki-laki pada posisi yang bisa mengeksploitasi, dan karenanya diuntungkan; dan (2) tindakan eksploitasi terhadap perempuan, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikologis, ataupun ekonomi/finansial. 

Demikian juga ketika kita menempatkan kekerasan langsung pada puncak segitiga, maka gambaran yang dihasilkan akan bisa membantu kita melihat kekerasan budaya dan kekerasan struktural sebagai sumber atau penyebab kekerasan langsung. 

Galtung menyimpulkan kekerasan langsung sebagai sesuatu yang terjadi (an event); kekerasan struktural sebagai proses yang bisa naik-turun; dan kekerasan budaya sebagai faktor invarian yang sifatnya tetap/tidak berubah (a ‘permanence’), selalu sama untuk jangka waktu yang lama karena lambatnya transformasi budaya. 

Ini mungkin bisa membantu menjelaskan kekerasan terhadap perempuan yang terus-menerus terjadi, seolah tidak terpengaruh perubahan zaman, serta sulitnya mengubah bagaimana kita melihat, menyikapi dan menindaklanjuti soal-soal terkait kekerasan terhadap perempuan. 

Patriarki: Antara Budaya yang Terstruktur dan Struktur yang Membudaya

Berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan tentu tidak bisa tanpa menyebutkan patriarki sebagai budaya sekaligus struktur yang secara sistematis merendahkan dan meminggirkan perempuan. Dalam teori-teori feminisme, patriarki dipahami sebagai suatu struktur sosial, juga politik dan ekonomi, yang menempatkan laki-laki pada posisi yang dominan dalam masyarakat. Patriarki sebagai struktur sosial di sini didukung oleh ideologi yang merasionalisasi patriarki dengan menjelaskan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilihat lebih tinggi daripada perempuan sebagai sesuatu yang disebabkan oleh perbedaan ‘alami’ antara laki-laki dan perempuan, atau karena proses penciptaan di mana laki-laki dan perempuan – dalam keyakinan agama-agama – diciptakan berbeda oleh Tuhan, atau karena perbedaan fisik semata. 

Di sini faktor produksi ilmu pengetahuan/sains dan agama – keduanya didominasi oleh laki-laki – berperan penting dalam rasionalisasi patriarki sebagai struktur sosial. Sebagai struktur sosial yang merendahkan dan mengeksploitasi posisi perempuan, bisa disimpulkan bahwa patriarki adalah faktor penting di balik langgengnya berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. 

Lantas, bagaimana kita melihat patriarki dalam segitiga kekerasan Galtung? Sebagai kekerasan struktural atau kekerasan budaya?

Di sini saya melihat patriarki sebagai budaya yang melembaga menjadi struktur, dan struktur itu lalu menetap dan menyebar sebagai budaya. 

Sebagai [kekerasan] budaya, patriarki lahir dari sejarah di mana alasan agama digunakan untuk merasionalisasi dan membenarkan peminggiran dan penghapusan perempuan dari ruang-ruang publik, termasuk dalam institusi-institusi agama dan produksi ilmu pengetahuan/sains. Teori-teori feminisme merujuk pada praktek inkuisisi dan perburuan terhadap mereka yang dituduh penyihir (witch hunt and trials) di Eropa Barat yang dimulai pada pertengahan abad ke-15 sebagai awal penghapusan perempuan dari ruang publik secara sistematis. Ketika perempuan dihapus dari ruang publik, termasuk ruang-ruang perkembangan agama dan produksi ilmu pengetahuan, maka kaum laki-lakilah yang kemudian tertinggal dan lalu mendominasi ruang-ruang ini. 

Ketika ruang-ruang ini didominasi oleh laki-laki selama ratusan tahun, maka tidak mengherankan kalau nilai-nilai agama yang berkembang maupun ilmu pengetahuan yang diproduksi dan disebarluaskan adalah yang menguntungkan laki-laki. Mereka  berada pada posisi superior dan perempuan pada posisi inferior. 

Pengetahuan agama maupun sains yang menggarisbawahi ketidaksetaraan ‘alami’ antara laki-laki dan perempuan ini selama berabad-abad tidak terbantahkan, karena kaum perempuan yang mungkin mengajukan bantahan baik secara agama maupun sains sudah disingkirkan dari ruang-ruang ini. 

Menjelang akhir abad ke-15, ekspansi kolonial bangsa-bangsa Eropa Barat yang juga melibatkan misi penyebaran agama dan sains ke Amerika lalu kemudian Asia dan Afrika  – termasuk wilayah yang kemudian menjadi Indonesia – memungkinkan patriarki ikut disebarkan ke daerah-daerah jajahan melalui ajaran agama dan sains. 

Patriarki ditransfer ke wilayah-wilayah jajahan sebagai struktur – kekerasan struktural – yang melihat laki-laki sebagai makhluk yang superior, dan perempuan sebagai makhluk inferior. Perpotongan (intersectionality) antara ras dan gender – sayangnya tidak bisa saya jelaskan panjang di sini – menempatkan laki-laki kulit putih pada posisi paling atas, diikuti perempuan kulit putih, lalu laki-laki yang bukan kulit putih dan pada akhirnya perempuan yang bukan kulit putih. 

Struktur dan hirarki yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan di ruang publik ini lalu melembaga dan menetap sebagai budaya. Ketika bangsa-bangsa Eropa Barat meninggalkan wilayah-wilayah jajahannya, patriarki yang mereduksi posisi perempuan sebagai manusia kelas dua, inferior, dan oleh karenanya bisa didominasi dan dieksploitasi oleh laki-laki yang secara ‘alami’ superior, sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari – sehingga menjadi kekerasan budaya. 

Mengapa Perempuan Sulit Keluar dari Lingkaran Kekerasan?

Dalam kenyataannya seringkali sulit bagi perempuan untuk keluar atau membebaskan diri dari kekerasan yang dialami. Selain karena [masih] sulitnya memproses secara hukum kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, banyak juga perempuan yang bahkan ketika kasus kekerasan yang dialaminya sudah bisa diproses secara hukum, memilih untuk tidak melanjutkannya. 

Tidak sedikit perempuan korban  kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan dalam relasi intim yang  kemudian mencabut tuntutannya dan/atau memilih kembali kepada pasangan di tengah proses advokasi atau proses hukum,  Banyak juga perempuan yang memilih untuk menjalani semuanya dalam diam dan tidak melaporkan atau menceritakan kekerasan yang dialami. 

Alasannya bisa bermacam-macam, seperti manipulasi psikologis yang membuat perempuan merasa bersalah karena melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, ketergantungan ekonomi pada pasangan, ancaman kehilangan hak asuh anak, sampai pada alasan agama dan aib keluarga. Alasan lain adalah stigma yang harus dipikul oleh perempuan yang menjadi korban kekerasan, baik yang memilih untuk keluar dari lingkaran kekerasan itu maupun yang memilih untuk tetap bertahan dalam penderitaannya. 

Tidak jarang perempuan yang menjadi korban kekerasanlah yang disalahkan; dilihat atau dituduh sebagai penyebab kekerasan itu sendiri. Anggapan terlalu dominan, kurang proaktif, terlalu mandiri, kurang inisiatif, terlalu posesif, kurang perhatian, terlalu banyak berdandan, kurang merawat diri, semua bisa dijadikan alasan untuk menyalahkan perempuan korban kekerasan dan di saat yang sama membenarkan tindakan sekaligus [laki-laki] pelaku kekerasan. 

Tidak jarang pula perempuan yang memutuskan untuk meninggalkan lingkaran kekerasan harus dihadapkan pada kenyataan kehilangan dukungan sosial atau dikucilkan, sementara laki-laki yang melakukan kekerasan boleh dibilang bisa bergerak bebas tanpa ada konsekuensi yang serius. 

Dalam kasus-kasus perceraian, tidak jarang perempuan atau pihak istri harus berjuang keras untuk mempertahankan hak-haknya, baik secara sosial maupun secara ekonomi di tengah tekanan stigma sosial akibat perceraian. Di sisi lain, laki-laki, pihak suami – termasuk dalam konteks suami sebagai pelaku kekerasan – tidak harus memikul stigma sosial yang sama, dan tidak  harus kehilangan status sosial atau posisinya dalam masyarakat karena perceraian. 

Lebih disayangkan lagi, mereka yang menghakimi dan secara sosial menghukum tidak hanya kaum laki-laki, tapi seringkali juga kaum perempuan sendiri. Di sini, kita kembali lagi kepada soal hubungan antara kekerasan budaya dan kekerasan struktural yang membuat kita sulit melihat kekerasan sebagai kekerasan, memilih untuk menutup mata terhadapnya, atau bahkan merasionalisasi tindak kekerasan dan membenarkan pelaku. 

Soal stigma sosial bagi perempuan korban kekerasan ini tentu perlahan-lahan mulai berubah, seiring bertambahnya pemahaman masyarakat soal kekerasan terhadap perempuan. Namun perubahan ini rasanya masih terlalu lambat dibandingkan dengan banyaknya kekerasan yang terus menerus dialami perempuan, baik di ruang privat maupun publik, baik secara langsung, secara struktur, maupun secara budaya. 

Bisakah mengubah kenyataan ini?

Membayangkan Masa Depan Tanpa Kekerasan terhadap Perempuan

Izinkan saya di akhir tulisan ini mengajak pembaca untuk (1) mencoba mengidentifikasi kekerasan budaya dan kekerasan struktural di sekitar kita yang membenarkan tindak kekerasan [langsung] terhadap perempuan; dan (2) membayangkan – lalu bersama-sama berupaya menciptakan – dunia tanpa kekerasan terhadap perempuan. 

Saya membayangkan dunia di mana laki-laki maupun perempuan sendiri tidak melihat perempuan sebagai manusia kelas dua. Dunia di mana laki-laki melihat perempuan sebagai partner yang setara, baik dalam keluarga maupun dalam perjuangan-perjuangan sosial-politik-ekonomi, dan dengan demikian tidak memperlakukan perempuan secara semena-mena. Dunia di mana sesama perempuan saling mendukung dan menguatkan, bukan malah menyakiti dan melukai. 

Tamara Soukotta adalah co-founder Sunspirit for Justice and Peace; Visiting Researcher, Civic Innovation Research Group, International Institute of Social Studies (ISS), Erasmus University Rotterdam; Postdoctoral Researcher, NWO Project on Race, Equity and Inclusion, Department of Ethics and Political Philosophy, Faculty of Philosophy, Theology and Religious Studies, Radboud University Nijmegen

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya