Oleh: Jerry Santoso
Paskah selalu datang membawa pesan tentang luka dan harapan. Tentang Yesus yang menderita di kayu salib-diolok, dikhianati, dipaku, dibiarkan sendiri dalam gelap Golgota-, namun bangkit pada hari ketiga sebagai tanda bahwa luka tidak pernah menjadi akhir dari segala hal.
Dalam terang Paskah, kita diajak bukan sekadar merayakan kebangkitan Kristus, tetapi juga untuk menengok luka-luka sosial yang makin dalam di sekitar kita.
Salah satu luka itu hari ini hadir dalam wujud judi online, dengan beragam nama, seperti slot, poker dan lain-lain.
Judi sebenarnya bukan hal yang sama sekali asing dalam sejarah sosial kita.
Dulu, dalam beberapa komunitas di Manggarai, praktik seperti sabung ayam kadang diselingi taruhan kecil, sama seperti dalam kebudayaan masyarakat Bali.
Clifford Geertz dalam esainya Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight (1973) membahas bahwa sabung ayam di Bali bukan sekadar soal menang-kalah, tapi praktik simbolik yang merefleksikan status sosial, hubungan patronase dan nilai komunitas.
Itu bukan soal rakus atau mengejar kekayaan, melainkan bagian dari hiburan yang punya batas moral dan sosial.
Di Manggarai, taruhan dalam sabung ayam zaman dahulu itu simbolik, sekadar sirih-pinang, tuak atau benda kecil lain.
Dan, yang terpenting: semua itu berlangsung dalam ruang sosial yang jelas, di bawah pengawasan adat, dengan nilai-nilai seperti kebersamaan (lonto leok), teguran (toing), dan malu (ritak).
Kalau seseorang dianggap berlebihan, ada yang akan menegurnya. Ada pagar.
Ketika kini judi berpindah ke layar ponsel, semua pagar itu roboh.
Ia tidak lagi berlangsung di ruang bersama. Ia tumbuh dalam diam, dalam senyap, di balik gawai yang tak pernah tidur. Dan, ini yang membuatnya berbahaya.
Saya menulis ini bukan untuk menghakimi.
Saya hanya ingin mengajak kita melihat lebih dalam dan lebih jujur: mengapa begitu banyak orang di sekitar kita—anak muda, orang tua, bahkan figur publik—memilih menyelam dalam dunia maya yang penuh ilusi ini?
Apakah ini sekadar krisis individu atau justru gejala dari sebuah sistem sosial yang gagal menjamin rasa aman, harga diri dan masa depan yang layak?
Kita perlu bertanya: luka macam apa yang sedang dihadapi masyarakat kita sehingga judi online menjadi pelarian yang masuk akal bagi begitu banyak orang?
Ada satu konsep menarik tentang coping mechanism, atau cara manusia bertahan dalam tekanan hidup (Lazarus & Folkman, 1984).
Menurut konsep itu, ketika seseorang kehilangan menghadapi tekanan-misalnya karena ketiadaan atau kehilangan pekerjaan, dihimpit utang, biaya-biaya adat, atau merasa gagal memenuhi ekspektasi keluarga-ia butuh ruang pelarian.
Dulu, di Manggarai, ruang itu bisa berupa ngobrol, berkebun untuk menyendiri atau sekadar mengunjungi rumah saudara.
Hari ini, dengan gawai di tangan, banyak yang memilih lari ke dunia digital—termasuk ke aplikasi judi online.
Namun, apakah judi online hanya soal luka personal? Di sinilah kita perlu melihatnya sebagai fenomena struktural.
Judi online di Manggarai—seperti di banyak daerah lain—merupakan gejala dari ketimpangan ekonomi, minimnya lapangan kerja layak dan absennya kebijakan ekonomi-politik yang berpihak pada rakyat kecil.
Maraknya koperasi harian ilegal dengan bunga tinggi menjadi sinyal lemahnya sistem perlindungan keuangan.
Ketika orang terjepit secara ekonomi dan tak menemukan jalan keluar, maka cenderung mencari solusi instan. Di sinilah judi menawarkan ilusi jalan pintas.
Di Manggarai, luka ini sangat nyata. Menurut dosen Universitas Katolik Indonesia St Paulus Ruteng, Mantovanny Tapung, diperkirakan sekitar Rp88,2 miliar uang dari Manggarai mengalir keluar daerah setiap tahun akibat judi online.
Perkiraan ini didasarkan pada asumsi bahwa 10% dari populasi Manggarai (sekitar 349.000 jiwa) berjudi online dengan rata-rata pengeluaran Rp7.000 per hari.
Jumlah ini hampir mendekati Pendapatan Asli Daerah (PAD) Manggarai tahun 2021 sekitar Rp98 miliar.
Bayangkan: dana hampir setara anggaran pembangunan satu kabupaten hilang begitu saja lewat gawai.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa persoalan judi online tidak dapat dipandang sebagai kelemahan individu semata, tetapi sebagai konsekuensi dari tekanan sosial dan struktural yang kompleks.
Menurut Robert Merton dalam teori strain, perilaku menyimpang seperti judi sering kali merupakan bentuk respons terhadap kondisi sosial yang penuh tekanan dan minim dukungan sistemik.
Ketika sistem sosial gagal memberikan rasa aman dan peluang yang adil, individu akan mencari jalan pintas untuk memenuhi harapan sosial yang tinggi (Merton, 1938).
Lebih lanjut, dalam masyarakat yang mengalami modernisasi cepat tanpa kesiapan kultural dan struktural, terjadi kekosongan makna sosial yang seringkali diisi oleh praktik-praktik instan, termasuk perjudian daring (Bauman, 2000).
Maka, persoalan ini tidak bisa ditanggapi dengan pendekatan moral semata, melainkan butuh pemahaman yang lebih dalam tentang konteks budaya, ekonomi, dan psikososial yang melingkupi masyarakat Manggarai.
Judi online juga memperlihatkan bagaimana uang dipersepsikan dalam budaya kita.
Bagi sebagian orang Manggarai, uang bukan lagi alat, melainkan tujuan hidup. Pandangan ini, yang bisa lahir dari tekanan sosial dan pergeseran nilai, membuat uang menjadi poros orientasi hidup.
Ketika uang menjadi tujuan, maka segala cara akan dicoba—termasuk berjudi.
Bahkan, dalam beberapa pertemuan sosial, topik judi online terasa begitu biasa. Dalam pertemuan atau kumpul keluarga, kini turut diisi percakapan tentang permainan slot.
Ini adalah gejala perubahan—atau bahkan kesesatan—dalam kesadaran kolektif.
Dalam pengertian yang lebih dalam, judi online tidak lagi sekadar aktivitas sambilan, tapi telah menjadi cara berada: cara memahami hidup, menilai risiko dan mencari peluang.
Segalanya dinilai dari kemungkinan untung-rugi, seperti di meja taruhan. Ini sungguh berbahaya.
Dalam masyarakat Manggarai yang memiliki budaya kolektif dan menjunjung tinggi nilai solidaritas sosial, tekanan untuk “berhasil” dalam arti material bisa sangat kuat.
Harapan agar seseorang mampu menyokong keluarga besar, biaya-biaya adat, atau tampil sebagai penopang ekonomi rumah tangga adalah norma sosial yang tidak selalu selaras dengan realitas ekonomi yang ada.
Ketika ekspektasi tidak bertemu dengan peluang yang nyata, maka frustrasi sosial itu bisa menjadi lahan subur bagi praktik perjudian online.
Dalam konteks ini, pendekatan moral atau penghakiman terhadap individu tidak akan menyelesaikan masalah.
Yang kita butuhkan adalah perubahan cara pandang kolektif terhadap masalah ini, serta pembentukan ekosistem sosial yang mampu menawarkan dukungan emosional, peluang ekonomi dan ruang dialog yang sehat.
Dan, di sinilah refleksi Paskah menjadi sangat penting. Paskah bukan sekadar perayaan iman; ia adalah momen refleksi mendalam tentang penderitaan dan kemenangan atas penderitaan itu.
Maka, saat kita melihat banyak keluarga yang terjerat judi online, kita seharusnya tidak hanya merasa prihatin, tetapi bertanya: di mana kita sebagai komunitas iman berdiri?
Apakah pemerintah hanya hadir sebagai pengatur kebijakan atau juga sebagai pelayan yang hadir di tengah luka sosial warganya?
Apakah Gereja cukup puas dengan khotbah dan liturgi atau berani hadir dalam percakapan sehari-hari tentang utang, kecemasan dan kekalahan yang dirasakan umat?
Paskah menuntut kehadiran yang nyata—bukan sekadar simbolik. Kehadiran yang berani mendengar kisah pilu para ibu yang kehilangan anaknya karena terlilit judi, para istri yang ditinggal suami karena utang pinjaman online, dan para pemuda yang kehilangan arah karena tak ada pekerjaan yang layak.
Kehadiran yang tahu bahwa “dosa” bukan hanya soal moral pribadi, tetapi juga akibat dari sistem sosial yang timpang dan menyakitkan.
Paskah mengingatkan kita bahwa kematian bukan akhir, bahwa luka bukan takdir. Namun, kebangkitan tak akan pernah mungkin tanpa keberanian untuk menuruni lembah penderitaan bersama mereka yang ditinggalkan dan dilupakan.
Maka, di tengah gelombang judi online dan semua luka sosial yang mengitarinya, Gereja di Manggarai misalnya dipanggil bukan untuk berdiri di atas, tetapi turun ke bawah.
Saatnya Gereja menyapa dengan kasih, mendengar dengan empati dan bekerja bersama rakyat kecil untuk membangun harapan yang nyata.
Jerry Santoso adalah Program Officer Kesehatan Mental LSM Ayo Indonesia
Editor: Ryan Dagur