Ahang, Sekedar Main Drama?

Floresa.co – Anggota DPRD Manggarai dari Fraksi PKS, Marselinus Nagus Ahang menarik perhatian publik beberapa waktu lalu. Pasalnya ia melaporkan Wakil Ketua DPRD Manggarai dari Fraksi Golkar, Osy Gandut terkait kasus penitipan proyek di sejumlah instansi.

Akan tetapi, setelah kasus ini bergulir dan memantik dukungan publik agar diusut tuntas, islah justru hadir bagai air yang meredakakan gelora api ketegangan antaran Ahang dan Osy.

Padahal, Ahang sebelumnya tidak mau kasus ini berakhir dengan islah. Misalnya saja, ketika rumor beredar bahwa keduanya sudah islah yang dimediasi oleh Sekda, Mansetus Mitak pada hari di mana Osy jatuh pingsan, Ahang terang-terangan mengatakan tidak ada islah.

Perubahan sikap Ahang memang mengundang pertanyaan. Tetapi yang lebih menjadi persoalan adalah: Apakah islah dapat menjadi sumber legitimisi agar Ahang tidak melanjutkan semua perkara yang dilaporkan? Lantas, bagaimanakah islah itu dipersepsi oleh pejabat publik?

Laporan Ahang sebagai anggota DPRD sebetulnya sudah menghembuskan hawa perubahan. Permainan proyek di seputar lembaga legislatif akhirnya terkuak ke ranah publik. Pengaduan Ahang membuka kesadaran publik, apakah memang kasus penitipan proyek baru terjadi sekarang atau sudah lama dipraktikkan. Kontrol dan pengawasan ke depannya menjadi semakin ketat.

Selain itu, jika laporan Ahang diteruskan, bakal menimbulkan goncangan politik yang besar. Sebab bukan hanya anggota DPRD yang perlu diusut, tetapi juga eksekutif, dalam hal ini pemerintahan Rotok dan Deno beserta pejabat di kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU).

Logikanya sederhana. Apa yang dilakukan dalam sistem tidak mungkin berjalan sendirian. Sudah barang tentu, mekanisme liar tersebut terkait dengan lembaga ini dan lembaga itu; orang ini dan orang itu.

Dari kenyataan itu, maka tak heran, tiap kasus korupsi yang menjenggal seorang pejabat publik selalu diikuti dengan pejabat-pejabat lain. Dengan kata lain, korupsi berjamaah bisa-bisa saja terjadi jika laporan Ahang diusut terus.

Patut dicatat bahwa praktik korupsi berjamaah bukan hal yang mustahil di Indonesia. Tahun lalu, di Papua Barat, ada 44 anggota DPRD Papua Barat yang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korusi (Tipikor) Jayapura, dalam kasus korupsi Rp 22 milyar.

Sebelumnya, pada tahun 2013, Pengadilan Tipikor Yogyakarta memvonis 32 anggota DPRD Gunungkidul periode 1999-2004 karena terbukti bersalah dalam kasus korupsi dana tunjangan kesejahteraan.

Apakah korupsi berjamaah mustahil terjadi di Manggarai?

Jika menyimat data berikut, tampak bahwa itu tidaklah mustahil. Mengutip data hasil penelitian dalam buku karya peneliti Baku Peduli Centre, Cypri Jehan Paju Dale, “Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013), yang mengambil contoh di Manggarai Barat (Mabar), dari 30 anggota DPRD Mabar periode 2009-2014, hanya dua orang yang tidak main proyek. Hal serupa, demikian kata Cypri dalam buku itu, terjadi di Manggarai dan Manggarai Timur.

Melihat data itu, apa yang dilakukan Ahang merupakan suatu gebrakan baru, karena itu layak diapresiasi. Artinya, dari kasus ini segala penyalahgunaan wewenang baik oleh legislatif maupun eksekutif perlu ditindak secara hukum agar cita rasa keadilan benar-benar mendarat di Manggarai.

Selain itu, belajar dari kasus ini, sekurang-kurangnya ada efek jera bagi pejabat publik. Permainan proyek merupakan masalah serius. Tidak saja harus menjadi lebih berhati-hati, tetapi juga proses pelimpahan proyek ke depannya menjadi lebih transparan, misalnya, melalui mekanisme lelang terbuka.

Akan tetapi, seiring dengan langkah Ahang menempuh islah, semua harapan bisa saja tinggal cerita. Selepas islah tidak ada konfirmasi lebih lanjut perkara antara Ahang dan Osy. Itu artinya, islah dipersepsi sebagai akhir dari perseteruan panjang antara keduanya.

Lebih parahnya, ketika islah akhirnya bisa menguburkan proses hukum terhadap apa yang sudah dilaporkan Ahang. Kepolisian sudah memberi sinyal soal itu. Menurut polisi, perkara ini hanya sebatas pengaduan, bukan laporan. Keengganan Ahang untuk meneruskan perkara ini juga sudah mulai terlihat.

Terlepas dari apakah status hukum “teriakan” Ahang hanya sebatas pengaduan atau laporan, tetapi kita semua berharap bahwa substansi persoalan tidak boleh dilupakan. Bahwasannya ada indikasi penyalahgunaan wewenang di lembaga-lembaga pemerintahan di Manggarai.

Polisi sudah semestinya melihat ini. Islah tidak mengakhiri proses pencarian kebenaran hukum. Islah barangkali hanya mendamaikan dalam pengertian relasi sosial, tetapi tidak pernah berarti menghapus jejak-jejak perkara hukum yang sudah ada. Pasalnya, ini bukan masalah keluarga, tetapi masalah hukum. Bukan menyangkut uang pribadi, tetapi uang rakyat (bersama).

Oleh karena itu, komitmen Ahang dan pihak kepolisianlah yang sekarang kita nanti. Apakah Ahang dan kepolisian akan meneruskan kasus ini atau tidak?

Ahang tentulah hanya dikenang sebagai seorang pencundang kalau tiba-tiba ia diam saja. Ia bakal menjadi bahan gunjingan publik jika hanya memahami islah sebagai akhir dari laporan hukumnya.

Pengakuannya bahwa ia punya bukti lantas menjadi pertanyaan. Apa benar ia punya bukti? Kalau punya bukti mengapa tidak diteruskan? Kalau ia tidak punya bukti mengapa ia berani-beraninya menggertak Osy?

Sementara perhatian yang serius dari kepolisian tetap dituntut. Dalam demokrasi, sebetulnya keberadaan lembaga penegak hukum memiliki posisi sentral. Demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat membutuhkan aparat penegak hukum agar tidak terjadi pertarungan kepentingan antara rakyat yang masing-masing ingin mendahulukan kepentingan dan hasratnya.

Akan tetapi, jika para penegak hukum tidak independen dan terjerat dalam permainan kepentingan, maka kekacauanlah yang terjadi. Untuk lembaga kepolisian di Manggarai, kesan demikianlah yang kita peroleh. Beberapa kasus akhir-akhir ini, termasuk dugaan keterliatan dalam penyelundupan BBM bersubsidi menunjukkan betapa aparat penegak hukum sulit lagi dipercaya.

Tentunya, tanpa dukungan dan integritas lembaga penegak hukum, sia-sialah harapan akan perubahan di tengah masyarakat pada era demokrasi ini.  Oleh karena itu, apa yang dipertontonkan dalam pesta demokrasi pada Pilkada Desember mendatang, tidak lebih dari demokrasi “lima menit”.

Rakyat berada lima menit dalam bilik suara, sisanya selama 5 tahun demokrasi berada dalam genggaman oligarki politik yang kebal hukum karena lemahnya integritas aparat penegak hukum.

Dengan skema persoalan demikian, lalu siapakah Ahang? Ahang tidak lebih dari seperti seorang artis dalam sinetron dengan cerita menegangkan di bagian awal, namun ending-nya begitu mengecewakan.

Kita pun dibuat merasa terhibur untuk sesaat, namun selebihnya kembali lagi ke situasi semula, ke perasaan marah pada situasi yang tidak kunjung berubah. Sementara Ahang, barangkali seperti artis betulan, yang selalu mendapat “upah” terhadap segala action yang sudah ia tampilkan. (Gregorius Afioma)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA