Floresa.co – Kondisi infrastruktur yang buruk tidak menyurutkan langkah petugas di garis depan untuk mendistribusikan logistik agar tiba di lokasi tepat waktu dan menuntaskan tugas lainnya demi menyukseskan Pemilu 2024.
Meskipun bukan anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara [KPPS], Hardianus Purnama ikut mengantar kotak suara di wilayah desanya pada 13 Februari, sehari menjelang pemungutan suara.
Ia masih mahasiswa, tetapi memilih ikut dalam rombongan KPPS berjalan kaki sejauh dua kilometer sambil memikul kotak suara dan logistik lainnya dari Kampung Wae Paci.
Logistik itu diantar ke Tempat Pemungutan Suara [TPS] 004 di Wae Lawas, kampungnya.
Mereka, kata Hardianus, menyeberangi Wae Emas, sungai selebar delapan meter yang berada di antara kedua kampung itu, yang masuk wilayah Desa Golo Manggung, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur.
“Di sungai itu memang ada jembatan, tapi kondisinya sudah rusak parah dan warga takut melintasinya,” katanya kepada Floresa.
Ia ikut membantu KPPS karena “semangat untuk menimbah pengalaman.”
“Saya masih mahasiswa yang perlu belajar banyak hal dari masyarakat, salah satunya dari KPPS,” katanya.
Hardianus menjelaskan, desanya masih sangat terisolasi. Jalan penghubung Wae Paci dan Wae Lawas sebagian ruasnya sudah diaspal, sebagiannya masih berstruktur telford.
Kondisinya yang sudah rusak, kata dia, membuat kendaraan hanya bisa melintas saat musim kemarau atau ketika Sungai Wae Emas tidak meluap.
“Kalau hujan, jalan akan digenangi air,” katanya.
Kondisi itu terjadi menjelang pemungutan suara pada 14 Februari, sehingga “terpaksa KPPS jemput logistik dengan jalan kaki.”
Di Manggarai Barat, Rikardus Armin, warga Desa Nggilat, Kecamatan Macang Pacar mengatakan demi menyukseskan Pemilu 2024, KPPS juga harus memikul logistik melewati sungai.
Perjalanan KPPS, kata dia, sempat terhambat karena hujan lebat sehingga “mereka mencari tempat yang aman untuk melindungi logistik.”
“[Mereka] tak peduli tubuh dan pakaian mereka basah, yang penting logistik tidak rusak oleh hujan,” katanya.
Ia mengatakan KPPS juga harus berjalan dengan kaki telanjang karena “takut tergelincir oleh bebatuan dan tanah yang licin.”
Di wilayah lain di Manggarai Barat, petugas KPPS dan polisi mengarungi laut saat mengantar logistik ke Desa Nanga Bere, Kecamatan Lembor Selatan.
Mereka berjalan kaki membawa satu per satu logistik Pemilu menuju muara Sungai Wae Ara, Desa Nanga Lili, sebelum kemudian naik perahu menembus ombak Laut Sawu menuju Nanga Bere, demikian laporan Okebajo.com pada 15 Februari.
Jalur laut merupakan akses alternatif paling cepat untuk bisa sampai di Desa Nanga Bere, kata Ari Satmoko, Kapolres Manggarai Barat, mengingat kondisi infrastruktur jalan yang buruk.
Petugas, kata dia, harus menempuh perjalanan selama tiga jam menggunakan perahu untuk sampai ke lima TPS di desa itu.
“Bersyukur kondisi arus saat pendistribusian dalam keadaan tenang,” katanya.
Demi mengantisipasi kerusakan logistik, kata dia, “kami harus memegang kotak itu agar tidak terjatuh ke laut” dan “kotak dilapisi plastik biar tidak basah.”
Logistik, kata Ari, sampai ke TPS dalam kondisi baik, setelah melewati penyeberangan yang “butuh perjuangan ekstra.”
Tidak Hanya Jalan, Juga Jaringan Internet
Tidak hanya akses transporasi yang jadi tantangan, tetapi juga jaringan internet, kata Hardianus terkait kondisi di Wae Lawas.
Warga, kata dia, hanya bisa mengakses jaringan telekomunikasi secara memadai saat subuh, sementara siang dan malam hari “jaringannya tidak lancar”.
“Karena itu selama dua hari sejak 14 Februari, KPPS bekerja sampai pukul 03.00 subuh,” katanya.
“Tunggu subuh baru mereka input data hasil pemungutan suara,” ke Sirekap, aplikasi yang disiapkan Komisi Pemilihan Umum [KPU].
Ia juga menyoroti kondisi di desa, dengan situasi yang serba terbatas.
KPPS, misalnya, tidak dibekali mistar sehingga harus pergi meminjam di TPS Wae Paci, kata Hardianus.
“Semua anggota KPPS di TPS kami itu petani. Sehari-hari mereka kerja di kebun dan tidak sempat berpikir untuk menyediakan mistar panjang,” katanya.
Dari pengalaman ini, ia melihat kerja keras KPPS di wilayah pedalaman yang jauh lebih berat, dibanding di kota.
Pemerintah, katanya, harus memperhatikan kesejahteraan KPPS dengan “menaikan gaji terutama di wilayah yang terisolasi.”
“Gaji KPPS di wilayah terisolasi tidak boleh disamakan dengan mereka yang ada di kota. KPPS di kota mempunyai fasilitas yang memadai,” kata Hardianus.
Rikardus Armin juga sepakat dengan usulan itu. Ia berharap agar KPU memberi “perhatian khusus untuk perjuangan KPPS” di wilayah pedalaman.
Editor: Ryan Dagur