Alat Bukti Dinyatakan Hilang, Warga Malaysia Bebas dari Dakwaan Penganiayaan dan Percobaan Pembunuhan Buruh Migran NTT

Terdakwa hanya dijerat pasal terkait perdagangan orang dan pelanggaran keimigrasian

Floresa.co – “Saya merasa sedikit lega,” kata Mariance Kabu, lalu kembali menekankan bahwa rasa lega itu “hanya sedikit saja.” 

“Semoga tak sampai hilang harapan,” tambahnya.

Emmy Sahertian, yang duduk di samping Mariance, memandangnya sejenak, sebelum melanjutkan pernyataan yang terhenti seiring isak perempuan 43 tahun itu.

“Saya mendampingi Mariance sejak ia pertama kali kembali dari Malaysia,” kata Emmy, seorang aktivis sosial, “saya ikut merasakan sakit dan traumanya.”

Pada 6 Agustus, keduanya hadir di kantor lembaga riset dan advokasi Institute of Resource Governance and Social Change [IRGSC] di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam konferensi pers.

Acara itu digelar sepulangnya Mariance dan Emmy dari Kuala Lumpur, Malaysia untuk mengikuti sidang putusan awal berlandaskan bukti-bukti kasatmata [prima facie] kasus Mariance.

Sidang itu merupakan rangkaian dari perjalanan panjang upaya Mariance mencari keadilan setelah kembali dari Malaysia pada 10 tahun karena disiksa majikan dan rekan majikannya – Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke.

Dalam sidang pada 30 Juli atau mundur sebulan dari penjadwalan awalnya itu, jaksa mengajukan empat dakwaaan terhadap keduanya, yakni Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO], pelanggaran keimigrasian, penganiayaan dan percobaan pembunuhan.

Namun, majelis hakim yang dipimpin Wan Mohd Norisham Wan Yaakob memutuskan perbuatan mereka hanya memenuhi elemen TPPO dan pelanggaran keimigrasian.

Sementara untuk dakwaan penganiayaan dan percobaan pembunuhan, majelis hakim memutuskan keduanya bebas dari tuntutan.

Hakim beralasan alat bukti utama berupa tang, yang oleh jaksa dinyatakan digunakan Serene untuk melukai lidah dan organ reproduksi Mariance “disebutkan hilang,” kata Emmy.

Selain itu, perangkat sistem pengawasan berbasis video atau CCTV juga “dinyatakan telah berpindah tangan dan rekamannya kedaluwarsa sehingga tak bisa dipulihkan.”

Menyayangkan Amar Hakim

Mariance merantau ke Malaysia setelah direkrut pada pada April 2014 oleh PT. Malindo Mitra Perkasa.

Dengan bujuk rayu dan iming-iming gaji tinggi serta gratis pengurusan administrasi ia berangkat, meninggalkan empat anaknya. 

Namun, alih-alih mendapat pekerjaan yang baik dan gaji layak, dia mendapatkan penyiksaan,  membuatnya catat secara fisik pada kedua telinga dan mulut. Beberapa giginya juga sempat dicabut menggunakan tang.

Berbekal potongan kertas bertuliskan permintaan pertolongan yang dilemparkannya kepada seorang tetangga, Mariance berhasil dibebaskan polisi pada Desember 2014.

Mariance Kabu dengan bekas luka akibat penyiksaan oleh majikannya di Malaysia. (Repro dari foto di BBC Indonesia)

Kasusnya mulai diproses sejak Januari 2015 di Pengadilan di Ampang, Negara Bagian Selango. Namun, dua tahun kemudian pengadilan memberikan status Discharges Not Amounting to an Acquittal [DNAA] terhadap terdakwa, membuat mereka dilepas dari tahanan, kendati sewaktu-waktu ia bisa dipanggil ke pengadilan untuk dakwaan yang sama.

Di Indonesia, dua perekrut Mariance sudah divonis penjara pada 2018.

Pada November tahun lalu, kasus Mariance dibuka lagi di Malaysia menyusul desakan dari para aktivis dan Kementerian Luar Negeri [Kemlu] Indonesia.

Meski “menyayangkan putusan awal hakim,” merujuk pada sidang 30 Juli, Emmy Sahertian berusaha “memaklumi proses persidangan di Malaysia.”

Kekecewaan serupa ditunjukkan Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kemenlu, Judha Nugraha dan Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono.

Judha, yang pada 2 Agustus bertemu Mariance dan Emmy di Jakarta “mendorong jaksa penuntut di Malaysia agar memperhatikan kembali bukti-bukti yang ada dan menempuh upaya banding.”

Sementara Hermono menyebut “dua dakwaan itu selalu kalah di pengadilan Malaysia, bahkan ketika warga negara Indonesia sudah mengalami penyiksaan keji dan sampai meninggal.”

Nurharson, koordinator bantuan hukum Migrant Care, lembaga advokasi buruh migran mencatat “kasus TPPO nyaris selalu diiringi penganiayaan.”

Meski begitu, “tak banyak korban yang mampu mengadu karena lebih dulu dideportasi dari negara tujuan bekerja.”

Selain itu, “mereka kerap tak terkoneksi atau memang tak mengetahui ada organisasi masyarakat sipil yang dapat membantu.”

Tak Cuma Padamkan Api

Sidang putusan awal akan dilanjutkan dengan pembelaan kedua terdakwa pada 17 Agustus.. 

Sesuai perundang-undangan Malaysia, pembelaan dapat digela dengan pembacaan langsung maupun bersurat ke pengadilan.

Sesudah itu majelis hakim akan mengeluarkan putusan definitif yang waktunya belum diketahui.

Emmy tak memungkiri  “cemas menanti amar definitif dan ada tidaknya banding.”

Terpisah dari kekhawatirannya, ia “menghargai bantuan dari banyak penjuru untuk Mariance.”

Kepada Floresa pada 7 Agustus, ia bercerita perjalanannya dengan Mariance dari Kupang ke Kuala Lumpur dan sebaliknya “selalu dikawal ketat petugas yang difasilitasi Kemenlu.”

“Terima kasih karena memedulikan keselamatan kami,” katanya, seraya berkisah upaya sejumlah lembaga advokasi yang juga “begitu memperhatikan Mariance.”

Mariance Kabu sedang menenun di rumahnya di Kupang. (Dokumentasi pribadi)

Direktur Eksekutif IRGSC, Dominggus Elcid Li berkata, “kami menyediakan ruang bagi Mariance di kantor kami yang kecil ini” selama ia menjalani proses hukum kasusnya.

“Berharap ia dapat bercerita dan berkeluh kesah sebebas-bebasnya,” katanya kepada Floresa selepas konferensi pers pada 6 Agustus.

Elcid, yang telah dua dekade meneliti sekaligus mendampingi buruh migran di NTT, mendorong pemerintah “tak hanya memadamkan api”, yaitu  “cuma urus ketika sudah ada warga yang teraniaya.”

“Urus pula hulunya,” katanya, menyinggung sejumlah soal, termasuk desain pembangunan salah arah yang membuat “orang-orang merasa terasing di kampung halaman sendiri.”

Keterasingan itu mempersempit pilihan hidup mereka, “membuat lebih banyak warga NTT bekerja ke luar negeri tanpa jaminan keselamatan,” kata Elcid.

Setidaknya 516 pekerja migran dari Nusa Tenggara Timur meninggal di Malaysia pada 2018-2022, menurut data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia NTT. Dari jumlah tersebut, 499 adalah pekerja migran non-prosedural yang berarti mereka tidak mengikuti prosedur pemerintah dalam bermigrasi.

Tahun lalu, jenazah 151 pekerja migran dikembalikan ke kampung halaman mereka di NTT, jumlah tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Pada tahun ini, jenazah 62 pekerja migran dipulangkan. Di antara mereka, hanya satu yang merupakan prosedural, yang bekerja di Taiwan, sementara yang lainnya tidak berdokumen dan bekerja di Malaysia.

Nusa Tenggara Timur, dengan populasi 5,4 juta, adalah provinsi termiskin ketiga dari 38 provinsi di Indonesia. Angka kemiskinannya 19 persen, dua kali lipat angka rata-rata nasional 9 persen.

Mikael Jonaldi berkontribusi dalam pengerjaan laporan ini

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA