Desakan untuk Copot Kapolres Manggarai Meluas Pasca Aksi Represif terhadap Jurnalis dan Warga dalam Proyek Geotermal Poco Leok

Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh diminta tidak percaya begitu saja pada pengakuan anggotanya dan memahami esensi peran pers dalam negara demokrasi

Floresa.co – Desakan untuk mencopot Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh muncul dari berbagai kalangan, menyusul dugaan tindak kekerasan terhadap jurnalis dan warga saat aksi protes menentang proyek geotermal Poco Leok.

Dalam aksi protes di depan Mabes Polri dan kantor PLN di Jakarta pada 7 Oktober, massa membawa sejumlah poster mendesak pencopotan Edwin yang dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa itu.

“Copot Kapolres Manggarai atas Tindakan Kekerasan terhadap Masyarakat Poco Leok dan Intimidasi kepada Jurnalis,” bunyi salah satu poster dalam aksi itu.

Massa tersebut yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengambil tindakan dengan memeriksa dan mencopot Edwin.

“Kami rencananya juga akan melaporkan ke Divisi Propam Mabes Polri agar Kapolres dan Wakapolres Manggarai dicopot,” kata Kristianus Jaret, koordinator aksi.

Aksi unjuk rasa pada 7 Oktober dari Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok juga menyasar kantor PT PLN. (Dokumentasi Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok)

Penganiayaan Warga dan Jurnalis

Tiga warga dilaporkan mengalami penganiayaan saat ditangkap aparat dalam aksi protes pada 2 Oktober terhadap upaya pematokan lahan untuk proyek geotermal, perluasan PLTP Ulumbu.

Selain warga, Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut juga mengaku mengalami penganiayaan saat meliput aksi itu yang dijaga ketat aparat gabungan polisi, TNI dan Polisi Pamong Praja.

Selain dianiaya, Herry juga mengaku ponselnya dirampas dan dicek isinya oleh polisi.

Herry mengaku dianiaya karena tidak membawa kartu pers, kendati ia telah menunjukkan surat tugas dan statusnya sebagai pemimpin redaksi di web Floresa.

Salah seorang wartawan yang ikut dalam mobil polisi saat kembali dari Poco Leok juga dilaporkan ikut menganiaya Herry.

Saat penganiayaan terjadi, menurut pengakuan warga, aparat melarang dan mengejar mereka saat berusaha mendokumentasikannya.

Ancaman Serius terhadap Pers dan Demokrasi

Desakan pencopotan Kapolres Edwin juga disampaikan Sekretaris Jenderal Forum Advokat Manggarai Raya atau Famara, Siprianus Edi Hardum.

“Kapolri harus tarik beliau dari Manggarai dan memeriksanya serta anak buahnya yang diduga menyekap dan menganiaya Herry. Kapolri sebaiknya jangan percaya begitu saja apa yang disampaikan AKBP Edwin Saleh soal kasus itu,” katanya pada 8 Oktober.

Menurut Edi, Kapolri melalui Polda NTT sebaiknya menurunkan tim khusus untuk mengusut dugaan penyekapan dan penganiayaan serta meminta perhatian Kompolnas dan Komnas HAM, menekankan bahwa kasus ini “jangan dianggap enteng karena ini terkait kerja pers.” 

Menurut Edi, Polres Manggarai khususnya dan Polri umumnya seharusnya menghindar dari kesan memihak dan kesan menerima pesan sponsor dalam menjalankan tugas terutama dalam persoalan Poco Leok.

Polisi, katanya, tentu tidak boleh menyimpang dari tugas sebagaimana diamanatkan UU Polri yakni melindungi masyarakat, mengayomi masyarakat dan menegakkan hukum. 

“Kalau polisi menganiaya warga apalagi wartawan karena kritis dalam menyajikan berita, sesungguhnya polisi sedang merusak demokrasi dan hukum,” katanya. 

Jurnalis, kata Edi, adalah pekerja pers sehingga menganiaya jurnalis sama dengan melecehkan pers, melecehkan demokrasi dan hukum serta institusi Polri sendiri.

“Ingat, tiga tugas polisi sesungguhnya menjamin tegaknya negara demokrasi dan hukum. Lha, kalau polisinya pukul wartawan jelas rusaklah negara demokrasi Pancasila kita,” kata dia.

Sekretaris Jenderal Forum Advokat Manggarai Raya atau Famara, Siprianus Edi Hardum. (Dokumentasi pribadi)

Desakan pencopotan Kapolres juga sebelunya disampaikan oleh sejumlah elemen, di antaranya lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa dan komunitas jurnalis.

Pastor Yansianus Fridus Derong OFM, Direktur Komisi Justice, Peace, and Integrrity of Creation Ordo Fratrum Minorum [JPIC-OFM] dalam sebuah pernyataan ikut “mendesak Kapolri untuk segera mencopot Kapolres Manggarai.” 

Aliansi Jurnalis Manggarai Barat juga menilai kekerasan aparat terhadap Herry merupakan “bentuk arogansi dan bagian dari upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik serta mengancam kebebasan pers di NTT.” 

Oleh karena itu, aliansi mendesak “Kapolda NTT untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik.”

Aliansi juga mendesak untuk “mencopot Kapolres Manggarai yang membiarkan anggotanya melakukan tindakan kekerasan dan menghalang-halangi tugas jurnalistik.”  

Sementara itu, Komite Keselamatan Jurnalis [KKJ], gabungan dari 10 organisasi jurnalis, media dan masyarakat sipil mendesak kepolisian “memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik.”

Selain itu, KKJ mendesak “Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan ini.”

Anggota komite ini antara lain Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen [AJI], Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia [IJTI), Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI], Southeast Asia Freedom of Expression Network [SAFEnet], Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia [PWI], serta Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia [FSPMI].

Desakan pengusutan kasus ini juga muncul dari Komisioner Kompolnas, Poengky Indrarti yang meminta Polda NTT turun tangan melakukan penyelidikan dan pemeriksaan etik atas dugaan kekerasan dan penangkapan terhadap Herry.

Tindakan kekerasan terhadap jurnalis, kata dia, “tidak boleh terulang kembali karena jurnalis bertugas menyampaikan fakta kepada masyarakat.” 

Aparat, kata dia, seharusnya melindungi dan mendukung kerja-kerja pers.

Presidium Indonesia Chief Editors Club [ICEC] atau Perhimpunan Pemimpin Redaksi Indonesia ikut mendesak Kapolri mengusut tuntas pelaku kekerasan terhadap Herry dan “mengingatkan kepada bawahannya terkait dengan regulasi UU Pers yang melindungi kerja-kerja jurnalis.”

ICEC juga mendesak “Kapolri memberikan kepastian pengamanan dan perlindungan kepada Herry dan memberikan kebebasan bagi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik di mana pun sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pers.”

Seruan mengutuk kekerasan polisi juga datang dari elemen kampus.

Pastor Otto Gusti Madung, Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif [IFTK] Ledalero, Flores berkata, kasus yang menimpa warga dan jurnalis di Poco Leok harus diusut tuntas demi mengembalikan marwah demokrasi, khususnya berkaitan dengan “kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin undang-undang.”

“Itu adalah pelanggaran HAM karena aparat keamanan melakukan kekerasan terhadap warga negara yang sedang memperjuangkan haknya dan mengekspresikan kebebasan berekspresi mereka,” katanya kepada Floresa.

Sementara Badan Eksekutif Mahasiswa IFTK Ledalero menyebut kekerasan aparat di Poco Leok sebagai “tindakan brutal dan biadab.”

Aliansi Mahasiswa Manggarai Raya [AMMARA] Kupang menyebut aksi polisi yang melakukan “penangkapan sewenang-wenang menunjukkan bahwa negara tidak menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.”

Saat aksi unjuk rasa di Ruteng pada 3 Oktober, Aliansi Mahasiswa Peduli Poco Leok juga “mendesak Kapolda NTT mencopot Kapolres Manggarai dan menghentikan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat.”

Apa Kata Kapolres?

Dalam sebuah pernyataan pers pada 5 Oktober, Kapolres Manggarai membantah adanya kekerasan terhadap warga dan jurnalis.

Ia menyebut pihaknya hanya melakukan pengamanan di lokasi proyek dan tidak melakukan penganiayaan, penangkapan dan penyekapan terhadap warga dan jurnalis.

Ia juga menyatakan tidak ada informasi mengenai adanya korban luka akibat kekerasan aparat.

”Saya perintahkan anggota mengecek langsung korban ke rumah sakit, tetapi tidak ada korban penganiayaan yang terjadi di Poco Leok dan tidak ada data pasien rawat nginap dimaksud,” katanya.

Ia juga mengklaim, tindakan personelnya sesuai dengan SOP dan ada apel pengecekan terlebih dahulu sebelum mereka ke Poco Leok.

Edwin kemudian mempersilahkan korban untuk melapor.

Kapolres Edwin juga sempat membagikan video pernyataan Herry sebelum dibebaskan, juga foto saat Herry sedang makan dalam mobil polisi, mengklaimnya sebagai bukti bahwa Herry diperlakukan secara baik.

Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh. (Tangkapan layar dari akun Youtube Swara Net tv)

Floresa sudah mengontak Kapolres, mengkonfirmasi apakah benar kata-kata dalam video itu didikte polisi, sebagaimana pengakuan Herry.

Namun, ia mengirim emoticon bertuliskan ‘terima kasih,” sembari mengarahkan Floresa menghubungi Kepala Seksi Humas I Made Budiarsa jika “butuh info dan data.”

Namun, saat dihubungi, Made berkata “maaf, tolong hubungi Pa Kapolres.” 

Ia tidak merespons lagi setelah diberitahu bahwa Floresa diarahkan Kapolres untuk menghubunginya.

Floresa: Kapolres Berupaya Mengkriminalisasi Korban

Floresa telah menanggapi pernyataan klarifikasi Kapolres Edwin pada 6 Oktober.

Salah satu poin pernyataan itu menyatakan bahwa kasus ini memang belum dilaporkan “karena korban masih mengalami trauma dan kami masih mempertimbangkan apakah kami dapat melapor kasus ini ke Polres Manggarai yang adalah institusi pelaku atau ke Polda NTT di Kupang.”

“Bertolak belakang dengan pernyataan Kapolres, korban telah berobat ke fasilitas layanan kesehatan di Manggarai. Proses itu kami lakukan dengan hati-hati, termasuk tidak memberitahu bahwa ini adalah akibat kekerasan aparat, karena mengkhawatirkan intervensi pihak pelaku,” menurut Floresa.

“Kekhawatiran kami terbukti benar karena seperti yang dinyatakan Kapolres dalam pernyataan persnya, ia ‘perintahkan mengecek langsung korban ke rumah sakit,’” kata Floresa.

Pengakuan Kapolres bahwa tindakan pengamanan sudah sesuai dengan SOP, juga disebut “menunjukkan adanya tanggung jawab dan garis komando dalam seluruh peristiwa kekerasan yang terjadi di Poco Leok.”

“Keseluruhan pernyataan Kapolres ini menunjukkan bahwa pihak Polres Manggarai tidak saja menyangkal kebenaran di lapangan, tetapi juga sedang berusaha mengkriminalisasi korban,” menurut Floresa. 

“Sikap Polres Manggarai ini dengan jelas menunjukkan bahwa jurnalis Floresa dan warga Poco Leok yang menjadi korban kekerasan akan sangat sulit mendapat keadilan, tanpa adanya pengawasan internal kerja polisi dan solidaritas publik untuk memantau proses pengusutan kasus ini.”

Dewan Pers: Ini Pelanggaran Pidana Serius

Floresa telah menggelar konferensi pers pada 7 Oktober bersama warga Poco Leok yang juga korban dan perwakilan Dewan Pers. 

Dua kuasa hukum Floresa, Ferdinansa Jufanlo Buba dan Yulianus Ario Jempau menyatakan akan menempuh jalur hukum untuk melapor para terduga pelaku.

Sementara itu Erick Tanjung dari Satgas Anti Kekerasan Dewan Pers menyebut kekerasan terhadap Herry sebagai “pelanggaran pidana serius.”

Ia berkata, aparat yang melakukan penganiayaan harus diproses, “termasuk yang melakukan perintah.”

Erick menambahkan, Dewan Pers akan akan menyurati Kapolri  dan Panglima TNI untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggota mereka atas peristiwa ini.

Hal itu, kata dia, demi komitmen memutus rantai kekerasan kepada jurnalis.

Konferensi pers yang difasilitasi Floresa pada 7 Oktober 2024, menghadirkan para korban, kuasa hukum dan Dewan Pers. (Dokumentasi Floresa)

Siprianus Edi Hardum dari Famara mengaku mengaku lebih percaya kepada keterangan Herry melalui kronologinya yang dimuat sejumlah media massa dibandingkan dengan keterangan Kapolres Manggarai. 

“Kenapa? Karena fakta yang terjadi adalah polisi yang hadir dan yang terlibat menangkap Herry melarang siapapun terutama Herry untuk mengambil foto atau video,” katanya.

Pelarangan itu, kata dia, patut diduga karena polisi punya niat menganiaya Herry dan warga.

“Kalau saja keterangan Kapolres bahwa tidak terjadi penganiayaan terhadap Herry didukung dengan bukti elektronik seperti video atau foto saya tentu percaya. Saya malah menyayangkan Kapolres percaya saja keterangan anak buah tanpa melalui penyelidikan dari tim khusus,” katanya.

Karena itu, Edi pun menduga bahwa sejumlah polisi yang mengayaniaya Herry atas restu bahkan atas perintah Kapolres. 

Edi juga menyayangkan keterangan Kapolres bahwa Herry diamankan karena tidak menunjukan kartu pers, sementara Herry menunjukan surat tugas dan keterangan statusnya di web Floresa.

“Keterangan Kapolres seperti ini menunjukan beliau kurang paham UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik serta pedoman media siber,” tegas mantan wartawan dan redaktur Harian Umum Suara Pembaruan ini.

Saat aksi di Mabes Polri pada 7 Oktober, massa dari Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok juga membawa foro Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh. (Dokumentasi Koalisi Masyarakat Peduli Poco Leok)

Edi menjelaskan, dalam Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik dinyatakan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran bunyi pasal cara-cara yang profesional salah satunya adalah menunjukkan identitas diri kepada narasumber. 

“Jadi menunjukan identitas itu bukan hanya terpaku pada kartu pers, tetap juga surat tugas. Bahkan surat tugas lebih tinggi posisinya dari kartu pers,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, Jakarta ini. 

Dengan kasus ini, Edi meminta semua wartawan di Manggarai Raya khususnya dan Indonesia umumnya agar tetap berani, kritis dalam menjalankan tugas jurnalistik. 

“Dalam menjalankan tugas, tantangan utama pers adalah oknum aparat penegakan hukum yang tidak paham dan bahkan sengaja tak paham dengan UU Pers dan Kode Etika Jurnalistik,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA