Dinginnya Solidaritas Sedingin Kotanya, Catatan dari Nobar dan Diskusi ‘17 Surat Cinta’ di Ruteng

Film itu, menurut para pemantik diskusi, menggugah untuk peka dan sadar terhadap krisis sosial ekologis yang sudah dan sedang terjadi, namun belum banyak yang peduli

Floresa.co – Minimnya solidaritas warga dalam menghadapi krisis sosial dan ekologi menjadi salah satu fokus bahasan dalam acara nobar dan diskusi film dokumenter ‘17 Surat Cinta’ di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.

Film tersebut diproduksi Ekspedisi Indonesia Baru, berkolaborasi dengan beberapa organisasi lingkungan, seperti Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan HAkA, Greenpeace Indonesia dan Pusaka Bentala Rakyat.

Digelar di markas kolektif kaum muda Rumah Baca Aksara [RBA], acara nobar dan diskusi pada 20 November diikuti 46 peserta dari berbagai komunitas.

Selain RBA, inisiator lain acara ini adalah lembaga riset dan advokasi Sunspirit for Justice and Peace, Badan Eksekutif Mahasiswa dan kelompok minat jurnalistik FGD dari Unika St. Paulus Ruteng, Orang Muda Katolik Paroki Ka Redong dan media mitra Floresa.

Hadir sebagai salah satu pemantik dalam sesi diskusi, Cypri Jehan Paju Dale melihat film itu sebagai cermin untuk merespons dinginnya solidaritas di Ruteng – tempat yang jadi pusat pemerintahan dan ibu kota kabupaten sekaligus induk dari dua kabupaten lainnya di Flores barat – di tengah beragam masalah sosial dan ekologis yang pernah dan sedang terjadi. 

“Ruteng tidak hanya dingin karena suhu udaranya, tetapi juga karena kurangnya solidaritas warganya terhadap berbagai peristiwa kelam, baik di masa lalu maupun tantangan masa kini,” katanya.

Antropolog dari Universitas Wisconsin Madison, Amerika Serikat ini berkata, situasi semacam itu berbeda dengan kondisi gerakan masyarakat sipil di Aceh, latar utama 17 Surat Cinta.

Mengangkat kasus deforestasi yang mengancam keanekaragaman flora dan fauna di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, bagian selatan dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, film itu mengisahkan perjuangan jejaring masyarakat sipil yang menulis 17 surat protes kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo.

Selain Aceh, film tersebut juga mengangkat kasus deforestasi di Papua, di mana warga adat memprotes proyek pangan atau food estate, salah satu program utama pemerintah sejak era Jokowi hingga kini penerusnya Prabowo-Gibran, yang merusak hutan adat di wilayah ujung timur itu.

Menurut film itu, selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, Indonesia kehilangan 4,3 juta hektare hutan, termasuk di wilayah konservasi, dampak dari proyek-proyek strategis nasional, pertambangan dan ekspansi perusahaan perkebunan sawit.

Kendati dituntut masyarakat sipil untuk mengusut perusahaan-perusahaan yang merambah hutan, pemerintah dan aparat penegak hukum diam, termasuk terhadap deforestasi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

‘Dinginnya Solidaritas di Kota Dingin Ruteng’

Cypri menyoroti Ruteng yang dingin tidak hanya karena suhu yang rata-rata 24 derajat Celsius, tetapi juga karena dinginnya hati warga dengan berkaca pada respons terhadap beberapa tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi.

Ia menyebut masalah pembantaian massal pada 1965 terhadap mereka yang dituding sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia, hingga penembakan petani Colol pada 2004 karena konflik lahan dengan pemerintah.

“Di depan mata penduduk kota Ruteng terjadi salah satu pembantaian terbesar, namun sampai hari ini tidak ada pengakuan atas tragedi itu,” katanya merujuk pada peristiwa 1965.

Di Manggarai, diperkirakan 350 yang ditangkap pada 1965. Sekitar 100 dari antara mereka yang kemudian tewas, selebihnya dilepaskan kembali setelah ditahan 1-3 bulan di penjara. Korban tewas dimakamkan di dekat lokasi yang sekarang menjadi Pasar Puni, Ruteng.

Kisah tentang kasus pembantaian 1965 di Manggarai ini pernah didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter Tida Lupa pada 2015.

Terkait Colol di mana enam petani tewas ditembak polisi di tengah kota pada 10 Maret 2004 yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Rabu Berdarah,  kata Cypri, “insiden ini tidak menggerakkan simpati atau aksi solidaritas dari warga kota.” Hingga kini masih ada penyintas tragedi itu yang hidup dalam kondisi cacat permanen, sementara konflik lahan dengan pemerintah masih belum selesai.

Kasus lainnya yang diangkat Cypri adalah privatisasi pengelolaan wisata dan konservasi di Taman Nasional Komodo di Flores barat dan proyek geotermal di berbagai lokasi di Flores, termasuk Poco Leok di Kabupaten Manggarai dan Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat.

“Saat ini, warga di belasan kampung adat yang terancam dibor sedang berjuang melawan proyek geotermal yang mengancam eksistensi mereka. Namun, dukungan dari Kota Ruteng terasa minim,” lanjutnya.

Ia juga menyebut ancaman akibat alih fungsi lahan untuk pariwisata dan proyek-proyek besar lainnya. Salah satunya adalah alih fungsi lahan 400 hektare di kawasan Hutan Bowosie, Labuan Bajo menjadi kawasan wisata.  Padahal, kawasan itu juga sudah ditempati warga lokal bertahun-tahun dan telah terjadi banjir sejak hutan ini mulai dibabat untuk pembangunan jalan.

Ia menyebut laku pemerintah yang abai terhadap persoalan seperti itu, juga sesama warga yang tidak peduli adalah bentuk pengkhianatan karena korbannya adalah saudara-saudara sendiri.

Di sisi lain, kata dia, Gereja Katolik sebagai lembaga keagamaan dominan di Flores dan salah satu pusatnya di Ruteng yang diharapkan menjadi agen pemersatu, tidak mampu menyatukan umat dalam aksi nyata.

“Di gereja kita sering dengar lagu Dalam Yesus Kita Bersaudara, tapi kekristenan tidak mempersatukan kita dalam solidaritas,” katanya. 

Puluhan mahasiswa dan kaum muda mengikuti nobar dan diskusi film dokumenter ’17 Surat Cinta’ di Rumah Baca Aksara, Ruteng pada 20 November. (Dokumentasi Floresa)

Dari Krisis Air hingga Ancaman Kehilangan Spesies 

Selain Cypri, pemantik diskusi lainnya adalah Yovie Jehabut, aktivis dan peneliti biodiversitas yang mengelola blog Jagarimba.id dan Ester Keraru, dosen Sosial Ekonomi Pertanian Unika St. Paulus Ruteng.

“Kita tidak perlu jauh-jauh membicarakan isu besar seperti keanekaragaman hayati atau orangutan jika di sekitar kita sendiri ada krisis air bersih,” kata Yovie.

Ia berkata, kesadaran untuk menjaga ekosistem hutan harus dimiliki secara kolektif oleh warga dan pemerintah di Kota Ruteng, mengingat krisis air terjadi secara masif saat ini.

“Hutan yang menjadi penopang sumber air harus dijaga, baik oleh pemerintah maupun masyarakat,” katanya.

Ia berharap kaum muda dan mahasiswa di Ruteng “lebih kritis lagi terhadap kebijakan yang menyangkut sumber daya alam.”

Hal lainnya yang disoroti Yovie adalah ancaman terhadap keanekaragaman hayati di Flores yang akan berdampak besar bagi lanskap ekologi dan masyarakat.

Ia berkata “tidak ada satu makhluk hidup di dunia ini yang lebih istimewa dari makhluk yang lain, sekecil apapun itu.”

Ia menyebut salah satu spesies di Flores yang sudah critically endangered atau statusnya kritis, adalah Elang Flores. 

“Jangan pernah membayangkannya hilang, karena lanskap ekologi kita pasti akan hilang, dan itu akan berdampak buruk bagi kita,” lanjutnya.

Yovie juga mengangkat contoh hilangnya “kawasan lahan basah” di sekitar kota pariwisata Labuan Bajo, yang menyebabkan tingginya angka kasus demam berdarah di wilayah itu.

Ia menjelaskan, kehilangan lahan basah menyebabkan nyamuk tidak lagi memiliki tempat bertelur, dimana capung dapat memangsa ribuan telur dari induk-induk nyamuk tersebut sehingga mencegahnya berkembang semakin banyak hingga ke rumah-rumah warga.

“Sekecil apapun spesies di sekitar kita, dia memegang kunci keberlangsungan hidup kita,” katanya. 

Yovie menekankan bahwa “krisis ekologis di tanah air kita sangat luar biasa” dan “kita semua menjadi korbannya, tetapi tidak banyak yang merasa terganggu atau peduli.”

Kendati demikian, ia mengapresiasi upaya-upaya kecil yang dilakukan di beberapa tempat, seperti kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang tingkat kepedulian masyarakatnya cukup tinggi. 

Ia berkata, upaya serupa harus diperluas ke wilayah lain yang lebih terancam, termasuk di Papua.

Yovie Jehabut, aktivis dan peneliti biodiversitas di Flores. (Dokumentasi Floresa)

Gerakan Sosial Berbasis Data

Sementara itu Ester Keraru mengapresiasi gerakan sosial di Aceh yang ditampilkan dalam 17 Surat Cinta, menggarisbawahi pentingnya riset dan data dalam upaya-upaya perlawanan terhadap pengrusakan lingkungan.

“Mereka mengumpulkan data, menyusun surat, dan berkoordinasi dengan sektor formal. Ini adalah pendekatan berbasis data yang dapat menjadi inspirasi bagi kita semua,” katanya.

Sebagai penstudi sosial ekonomi pertanian, ia berkata tanaman sawit seperti di Aceh berkontribusi besar bagi Produk Domestik Bruto [PDB] negara, tetapi berbanding terbalik dengan kualitas hidup warga dan lingkungan.

“PDB hanya mengukur pertumbuhan ekonomi, tapi mengabaikan aspek dampak sosial dan ekologis. Karena itu, meski PDB meningkat, kehidupan masyarakat atau kondisi lingkungan tidak selalu membaik,” katanya.

Ester juga mengingatkan pentingnya integrasi antara kepentingan bisnis pertanian seperti food estate dengan asas sosial dan lingkungan yang “harus mendapatkan perhatian setara.”

“Setiap aktivitas pertanian harus mempertimbangkan dampaknya secara holistik, baik bagi manusia maupun lingkungan. Jika tidak, kita hanya akan meninggalkan warisan kerusakan bagi generasi mendatang,” kataya.

Pertumbuhan ekonomi, lanjutnya, “tidak boleh mengorbankan kualitas hidup dan keberlanjutan ekosistem.”

“Keseimbangan antara ketiganya adalah kunci pembangunan yang benar-benar berkelanjutan.”

Kesadaran untuk Bersolidaritas

Eca Puspita, seorang peserta diskusi tersebut menyatakan apresiasinya terhadap ‘17 Surat Cinta’, yang “membuka mata anak muda mengenai kondisi lingkungan yang kian terancam.”

Setelah menonton film tersebut, ia merasa terdorong untuk melakukan aksi konkret melawan upaya pengrusakan terhadap lingkungan yang akan berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat.

“Kami ingin tahu langkah apa yang bisa kami ambil untuk menjaga lingkungan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat, tetapi kami membutuhkan kerja sama dari komunitas yang punya visi yang sama,” katanya.

“Kami butuh imajinasi kreatif untuk merangsang amarah dan kesadaran kami. Kami butuh aksi nyata,” kata Ancik Sabar, peserta diskusi lainnya.

Menurutnya, 17 Surat Cinta memberikan motivasi terkait “pentingnya kreativitas dalam menggerakkan anak muda untuk peduli pada isu lingkungan.”

Ancik menambahkan, generasi muda saat ini “terlalu sibuk dengan kehidupan instan dan teknologi, sehingga kurang menyadari ancaman nyata terhadap ruang hidup mereka.”

Sementara itu, Nardi Ndei, mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng menyoroti kebijakan transisi energi yang dikampanyekan pemerintah, yang “justru berdampak buruk pada ruang hidup masyarakat, terutama di Poco Leok,” salah satu lokasi proyek geotermal di Flores.

“Ekspansi energi terbarukan harus sejalan dengan perlindungan terhadap ruang hidup masyarakat. Kita tidak bisa hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan,” katanya.

Armadantus Once, mahasiswa lainnya menyoroti “pembangunan yang lebih banyak ditentukan oleh kepentingan elit, bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat.”

Hal tersebut juga terjadi ketika “banyak anak muda yang apatis terhadap isu sosial karena kurangnya pemahaman tentang dampak kebijakan pemerintah.”

“Kita harus membangkitkan kesadaran anak muda untuk berbicara dan bertindak, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup,” tambahnya.

Esther Keraru, dosen Sosial Ekonomi Pertanian Unika St. Paulus Ruteng menyoroti pentingnya pertimbangan terkait aspek sosial dan lingkungan dalam proyek pembangunan. (Dokumentasi Floresa)

Mulai dari Langkah Sederhana

Yovie Jehabut berkata, film itu seharusnya tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga refleksi bagi penontonnya untuk bertindak.

“Pertanyaan pentingnya adalah, apa yang kita lakukan setelah menontonnya? Apakah kita hanya merasa prihatin ataukah kita mulai bertanya dan bertindak?”

Yovie mengingatkan bahwa kesadaran kecil yang tumbuh dari diri masing-masing dapat menjadi awal dari perubahan besar.

“Jangan hanya jadi penonton, jadilah bagian dari solusi,” katanya.

Sementara Cypri Paju Dale berkata, solidaritas antarsesama warga, terutama di kalangan kaum muda dan mahasiswa dibutuhkan dalam upaya mencapai perubahan sosial.

“Mari kita perluas solidaritas, karena ini bukan hanya tentang Poco Leok, Ruteng, atau Manggarai. Ini tentang keberanian kita sebagai manusia untuk mempertahankan hak kita atas tanah air,” katanya.

Solidaritas warga di Ruteng, kata dia, diuji ketika sedang bersama-sama menghadapi berbagai krisis, termasuk kris air besar-besaran, yang tidak terlepas dari intervensi kebijakan politik pemerintah.

Ia berkata solidaritas tersebut dapat lahir dari pertanyaan kolektif; “Ini tanah air siapa? Air di Ruteng ini milik siapa?”

Kehadiran 46 pemuda dan mahasiswa dalam nobar dan diskusi malam itu, katanya “menjadi tanda bahwa ada kehangatan yang mungkin selama ini tersembunyi di Ruteng.”

“Api sudah menyala. Mari kita cek apakah kota ini benar-benar dingin, atau sebenarnya ada kehangatan yang hanya perlu dibangkitkan.”

Editor: Anno Susabun dan Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA