Tata Kelola Limbah di Kota Kupang Dinilai Amburadul, Aktivis Sebut Masalah Berulang Setiap Rezim

Aktivis dari Walhi NTT menyebut edukasi soal sampah tidak cukup, tanpa diimbangi dengan pembenahan tata kelola

Floresa.co – Video yang memperlihatkan timbunan sampah di Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT baru-baru ini viral di Instagram.

Selain menumpuk, sampah-sampah itu juga tampak berserakan di sepanjang bahu Jalan Frans Lebu Raya, Kelurahan Tuak Daun Merah.

Video diunggah akun @ntt.update  pada 8 Januari.

Kelurahan yang lazim disingkat TDM itu berjarak sekitar 12 menit berkendara menuju Bandara El Tari. 

“Tidak ada bak pembuangan sampah di sini,” kata Ita Amar, warga TDM.

Ia menduga ketiadaan bak pembuangan sampah lantaran “habisnya ruang di wilayah padat bangunan.”

“Orang-orang jadi sembarangan membuang sampah,” katanya.

Dilihat dari platform perpetaan Google Maps, tata ruang TDM tampak sarat kotak yang menandakan bangunan, sejalan dengan penuturan Ita.

Pada pekan kedua Januari, Floresa melintasi salah satu gang di TDM. Seutas pita pembatas terulur di tepiannya.

Dipasang pegawai kelurahan, pita pembatas mengisyaratkan larangan agar sampah tak lagi dibuang di sana.

Namun, sejumlah plastik sampah malah sampai teronggok di tengah gang, memaksa pelintas–baik yang berjalan maupun bersepeda motor–mendepak kembali ke tepi.

“Pemerintah Tak Punya Lahan”

Titik pembuangan sampah itu berada sekitar 500 meter dari kantor kelurahan. 

Petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] biasanya mengambil sampah dari titik-titik pembuangan, bukan ke rumah-rumah dan pertokoan.

Ita berkata, pemangku kelurahan menginisiasi pertemuan bersama warga pada 9 Januari, membahas “solusi terbaik dalam penanganan sampah.”

Dalam pertemuan tersebut, katanya, Kepala Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan TDM, Diky Ataupah “berjanji akan membeli lahan kosong untuk membangun tempat pembuangan sementara.”

Diky tak lebih lanjut menjabarkan waktunya.

Dahulu “terdapat dua bak sampah di sini,” kata Ita, sebelum “tahun silam dibongkar warga.”

Pembongkaran itu merupakan “bentuk kekesalan warga akan sampah yang membludak akibat tak juga diangkut.”

Sebelumnya kantor kelurahan sempat memberikan bantuan kendaraan roda tiga pengangkut sampah. 

Anak muda setempat secara bergilir mengoperasikannya. 

Namun, sekitar sebulan kemudian kelurahan mengimbau warga mengembalikan kendaraan itu, tanpa menjelaskan alasannya. 

Lurah TDM, Donatus Nama Samon berkata, “persoalan sampah terjadi hampir di setiap wilayah Kota Kupang.” Kendala terbesar dalam penanganan dipicu “ketiadaan lahan untuk membangun tempat pembuangan sementara.”

“Pemerintah daerah tidak memiliki lahan,” katanya kepada Floresa pada 14 Januari.

Samon hanya  mengimbau warga untuk tak membuang sampah sembarangan.

Bila sampah menumpuk, “segera koordinasi dengan DLHK supaya petugas datang dan angkut sampah dari titik terkait.”

Masalah Setiap Rezim

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] NTT menyebut masalah sampah di Kota Kupang berulang dalam setiap rezim.

Deputi Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nonga berkata persoalan itu “tak juga teratasi meski pemerintahan terus berganti.”

Di Kupang, masalah utama sampah dipicu “pengabaian pemerintah kota” terhadap mandat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Mandat itu terkait peralihan ke sistem pembuangan sampah secara terbuka [open dumping] berupa penimbunan di dalam tanah [sanitary landfill].

Lantaran tak juga menerapkan pola itu, “pada akhirnya kerap terjadi kebakaran di Alak,” merujuk pada tempat pembuangan akhir sampah di Kota Kupang. 

Selain memicu polusi udara, kebakaran juga “berdampak pada kesehatan warga.”

“Tanggung Jawab Makhluk Hidup”

Kepala DLHK NTT, Ondy Christian Siagian menyatakan masalah sampah di Kota Kupang “harus direkayasa dengan program strategis.”

“Apalagi Kupang adalah etalase NTT,” katanya.

Ditemui Floresa dalam ruang kerjanya pada 15 Januari, ia berkali-kali menyebut “rekayasa strategis,” meski tidak menjabarkan maksudnya.

“Terkadang warga menyalahkan pemerintah,” katanya. 

“Padahal sesungguhnya sampah itu kan berasal dari rumah masing-masing.”

Ia menambahkan, “cobalah soal sampah diselesaikan di rumah masing-masing, “karena sampah merupakan tanggung jawab setiap makhluk hidup.”

Sementara itu, Yuven dari Walhi NTT mengakui bahwa pemerintah sudah mengedukasi warga soal pengelolaan sampah.

Namun, ia memberi catatan bahwa “edukasi akan sia-sia bila tata kelolanya berantakan.”

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA