Floresa.co – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah memanggil sejumlah pelaku usaha perhotelan di Labuan Bajo terkait dengan informasi pembatasan akses publik ke pantai yang kembali mencuat baru-baru ini.
Selain pembatasan akses ke pantai, sejumlah hotel di destinasi wisata yang dilabeli super premium itu juga mendirikan bangunan di atas laut.
“Kita telah memanggil pelaku usaha terkait untuk konfirmasi isu akses publik dan mengingatkan mereka akan kewajiban pemegang KKPRL/Izin Pemanfaatan Ruang Laut yang salah satunya memberikan akses pada publik,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Ruang Laut KKP, Effin Martiana kepada Floresa pada 21 April.
KKPRL adalah izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang diterbitkan oleh KKP sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Pelaksanaan KKPRL juga mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut, Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Nomor 15 Tahun 2023 dan Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Nomor 50 Tahun 2023.
Menurut Effin, berdasarkan konfirmasi yang dilakukan lembaganya “tidak ada privatisasi pantai dan ruang laut di Labuan Bajo.”
“Masyarakat bebas untuk mengakses pantai dan laut. Ada pun yang tidak boleh adalah mendokumentasi (mengambil foto dan video) properti orang lain,” ujarnya.
Effin tidak mengungkapkan semua nama hotel yang dipanggil KKP.
Namun, ia mengungkapkan salah satunya adalah Ta’aktana Spa dan Resort, yang pada awal April ini ramai diberitakan media karena satuan tugas pengamanannya melarang sejumlah warga berjalan-jalan di Pantai Binongko, lokasi hotel tersebut.
Dalam catatan Floresa, hotel yang dikelola oleh Marriott International itu memiliki setidaknya sembilan bangunan menyerupai rumah adat Manggarai di atas laut.
“Terkait izin di pantai Ta’aktana, semua telah mengantongi izin KKPRL dari KKP,” ujar Effin.
Dalam keterangan terpisah, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Publik, Doni Ismanto Darwin menegaskan izin KKPRL bukan sebagai dokumen kepemilikan, melainkan izin dasar bagi pemrakarsa untuk melakukan kegiatan menetap di ruang laut secara legal dalam kurun waktu tertentu.
Doni juga menegaskan larangan mengakses pantai seharusnya tidak boleh terjadi karena laut merupakan properti milik bersama (common property).
Ia menyampaikan ada enam pelaku usaha perhotelan yang dipanggil KKP, kendati tak mengungkap nama-namanya.
Pemanggilan tersebut, jelasnya, untuk mengetahui duduk persoalan isu pembatasan akses ke pantai, sekaligus mensosialisasikan kebijakan KKPRL agar tidak terjadi privatisasi ruang laut oleh para pemrakarsa.
Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut, Ditjen Penataan Ruang Laut KKP, Fajar Kurniawan juga menjelaskan keenam perusahaan hotel itu telah mengantongi KKPRL.
Fajar mengingatkan setelah mendapatkan izin, pemrakarsa memiliki 16 kewajiban, di antaranya harus memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat dan memberikan akses untuk nelayan kecil yang sudah rutin melintas.
Selain itu adalah menghormati kepentingan pihak lain yang melakukan kegiatan atau pemanfaatan ruang di sekitarnya sehingga tidak menimbulkan konflik sosial.
“Kewajiban ini penting sebagai upaya kami memastikan bahwa kegiatan di ruang laut yang dilakukan tidak menimbulkan konflik sosial serta tidak mengancam ekosistem kelautan dan perikanan,” ujar Fajar seperti dikutip dari Okezone.
Isu terbatasnya akses publik ke pantai di Labuan Bajo terjadi seiring dengan makin masifnya pembangunan hotel di wilayah tersebut.
Di sepanjang garis pantai kota yang terletak di ujung barat Pulau Flores itu berdiri banyak bangunan hotel mewah, yang kemudian menguasai secara eksklusif wilayah sempadan pantai.
Regulasi tentang sempadan pantai diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pasal 1 angka 21 UU itu menyatakan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Ketentuan ini diperjelas dalam Pasal 56 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.
Sempadan pantai termasuk ke dalam kawasan lindung, demikian menurut UU Nomor 26/2007. Sesuai Pasal 5 ayat 2 UU itu, posisinya setara dengan sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air.
Karena setiap pantai punya morfologi yang berbeda, ketentuan lebih khusus soal sempadan pantai dimuat dalam Peraturan Daerah tentang RTRW yang mengatur batas-batas sempadan di suatu daerah, peruntukan dan pemanfaatannya.
Pada 2022, setidaknya 11 bangunan hotel dari Pantai Wae Cicu hingga Pantai Pede dinyatakan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat telah melanggar ketentuan terkait garis sempadan pantai dan RTRW.
Hal itu berujung pada pemberian sanksi administratif berupa denda pada Desember 2022 lewat SK Bupati Mabar Nomor 285/KEP/HK/2019.
SK itu merujuk pada diktum Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang RTRW Manggarai Barat tahun 2012-2032 dan SK Bupati Mabar Nomor 285/KEP/HK/2019 tentang penetapan harga satuan bangunan gedung negara, rumah negara, dan pagar negara.
Kesebelas hotel yang mendapat denda itu adalah Ayana Komodo Resort dengan jumlah terbanyak Rp18.800.587.055, disusul La Prima Hotel Rp5.825.800.079, Silvya Resort Komodo Rp3.406.836.728, Plataran Komodo Wae Cicu Rp1.560.213.156, Bintang Flores Rp1.181.393.598, dan Sudamala Resort sebesar Rp1.150.992.808.
Selanjutnya adalah Waecicu Beach Inn Rp907.987.813, Jayakarta Suites Rp347.601.745, Puri Sari Beach Rp312.346.620, Atlantis Beach Club Rp293.359.324, dan Luwansa Beach Resort sebesar Rp213.805.481.
Editor: Petrus Dabu