Elemen Sipil di Labuan Bajo Tuntut Pemerintah Tindak Tegas Korporasi yang Batasi Akses Publik ke Pantai

Meski sudah sering disuarakan warga, pembatasan akses ke pantai di Labuan Bajo sudah bertahun-tahun terjadi

Floresa.co – Pada hari terakhir Maret lalu, Rafael Todowela bersama sejumlah temannya hendak menghabiskan waktu liburan panjang Lebaran di Pantai Binongko.

Namun, hasratnya untuk menikmati keindahan pantai yang terletak tak jauh dari Pelabuhan Marina, Labuan Bajo itu terhambat.

Rafael dan temannya sempat berusaha menerobos masuk. 

Namun petugas satuan pengamanan lainnya dari salah satu hotel di pinggir pantai itu melarang mereka jalan-jalan di pantai, hingga adu mulut pun terjadi.

Merasa geram dengan pengalamannya itu, Rafael yang juga merupakan Ketua Forum Masyarakat Peduli Pariwisata [Formapp] berencana menggelar demonstrasi di Labuan Bajo.

Dihubungi Floresa pada 4 April, Rafael mengatakan demonstrasi itu dilakukan untuk menuntut pemerintah daerah dan para pengusaha menaati ketentuan mengenai sempadan pantai.

Ketentuan itu diatur dalam Undang-Undang [UU] No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pasal 1 angka 21 UU itu menyatakan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Ketentuan ini diperjelas dalam Pasal 56 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.

Sempadan pantai termasuk ke dalam kawasan lindung, demikian menurut UU Nomor 26/2007. Sesuai Pasal 5 ayat 2 UU itu, posisinya setara dengan sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air.

Floresa pernah mengulas soal kesulitan warga Labuan Bajo dalam mengakses pantai di kota yang dilabeli sebagai destinasi wisata super premium itu.

Menurut Rafael, di bagian utara Labuan Bajo, banyak hotel yang menghambat akses masyarakat menikmati pantai, laut, termasuk larangan menangkap ikan di laut sekitar hotel. 

“Formapp merasa terpanggil untuk untuk menyuarakan keadilan dan tegaknya aturan UU,” katanya. 

Formapp, katanya, mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, Pemerintah Provinsi NTT dan juga Pemerintah Pusat untuk mencabut semua izin hotel, vila, dan dermaga beton milik investor yang merusak ekosistem alam laut dan pantai di Labuan Bajo.

Formapp, kata dia,  juga mendesak pemerintah untuk menghentikan pemberian izin pemanfaatan zona laut dan pantai kepada investor yang dapat merusak laut dan menghalangi masyarakat untuk memanfaatkan pantai, seperti untuk berenang dan menangkap ikan. 

Tak hanya itu, Formapp juga mendesak pemerintah membongkar semua beton-beton, vila dan restoran di atas laut, serta dermaga milik hotel yang sudah dibangun di atas laut di pesisir pantai utara Binongko dan Wae Rana. 

Tuntutan itu, kata Rafael, disuarakan dalam gerakan ‘Selamatkan alam Labuan Bajo’ 

“Saat ini masih membangun komunikasi dengan beberapa elemen untuk sama-sama merespons masalah ini,” katanya.

Dalam catatan Floresa, pada 2022 Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengidentifikasi setidaknya 11 bangunan hotel dari Pantai Wae Cicu hingga Pantai Pede melanggar ketentuan terkait garis sempadan pantai dan RTRW.

Pelanggaran itu berujung pada pemberian sanksi administratif berupa denda pada Desember 2022 lewat SK Bupati Mabar Nomor:285/KEP/HK/2019. 

SK itu merujuk pada diktum Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang RTRW Manggarai Barat tahun 2012-2032 dan SK Bupati Mabar Nomor: 285/KEP/HK/2019 tentang penetapan harga satuan bangunan gedung negara, rumah negara, dan pagar negara.

Kesebelas hotel yang mendapat denda itu adalah Ayana Komodo Resort dengan jumlah terbanyak Rp18.800.587.055, disusul La Prima Hotel Rp5.825.800.079,-, Silvya Resort Komodo Rp3.406.836.728, Plataran Komodo Wae Cicu Rp1.560.213.156, Bintang Flores Rp1.181.393.598,-, dan Sudamala Resort sebesar Rp1.150.992.808,-.

Selanjutnya adalah Waecicu Beach Inn Rp907.987.813, Jayakarta Suites Rp347.601.745, Puri Sari Beach  Rp312.346.620, Atlantis Beach Club Rp293.359.324, dan Luwansa Beach Resort sebesar Rp213.805.481.

Belum ada informasi soal realisasi denda-denda itu.

Baru-baru ini, Wakil Gubernur NTT, Johni Asadoma mengaku terkejut mengetahui ada vila-vila mewah hingga restoran dibangun oleh investor di atas laut Labuan Bajo.

“Nanti saya akan cek,” kata mantan Kapolda NTT itu seperti dilansir Detik.com, “saya tidak tahu sama sekali.”

Patris Ekaputra, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] Cabang Labuan Bajo menyatakan, privatisasi pantai di Labuan Bajo merupakan bentuk kejahatan karena berupaya mencuri dan mencaplok pantai yang seharusnya bisa diakses warga Labuan Bajo.

Wilayah pesisir, kata Patris, bagian dari sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk kepentingan publik. 

“Artinya tidak boleh ada upaya privatisasi dari kelompok orang tertentu,” katanya dalam keterangan yang diterima Floresa pada 4 April.  

Wilayah pantai, kata Patris,  memiliki beragam potensi yang dapat dikelola secara berkelanjutan guna pengembangan ekonomi masyarakat.

PMKRI juga mengingatkan Pemda Manggarai Barat untuk memberikan sanksi kepada hotel atau resort yang melakukan privatisasi sesuai SK Bupati Manggarai Barat 277/KEP/HK/2021. 

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA