Floresa.co – “Do Not Enter. Dilarang Masuk!!! Sedang Ada Pembersihan Lokasi untuk Pembangunan. Terima Kasih”
Beberapa warga lokal yang hendak berwisata di Pantai Kelumpang tiba-tiba berhenti saat melihat poster berisi tulisan tersebut.
Berlatar kuning dengan ukuran 30×30 sentimeter, poster itu dipasang di bagian barat pintu masuk pantai yang berada di Desa Batu Cermin itu.
“Bilangnya di Labuan Bajo ini banyak pantai. Padahal, semuanya ditutup,” kata salah seorang dari mereka, warga asal Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai.
Pada Jumat, 30 Juni 2023, pukul 16.00 Wita, mereka sebetulnya hendak berwisata ke pantai yang berada sekitar tiga kilometer ke arah utara Labuan Bajo itu, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pantai yang masih bisa diakses publik dengan bebas setelah yang lainnya sudah diprivatisasi.
“Sengsara juga cari pantai umum di Labuan Bajo. Semuanya ada yang punya,” sambungnya.
Pantai yang berjarak sekitar 50 meter dari jalan menuju Pelabuhan Multipurpose di Rangko-Mejerite itu, ditutup dengan pagar bambu yang membentang sepanjang 150 meter.
Informasi yang diperoleh Floresa, pagar itu sudah mulai dipasang sejak pertengahan tahun lalu.
Floresa belum berhasil mendapat informasi perihal pihak yang mengelolanya.
Sebelum dipagari, pantai yang terkenal dengan pasirnya yang bersih dan dasar lautnya yang landai ramai dikunjungi wisatawan luar daerah dan warga lokal, baik pada akhir pekan maupun saat hari libur.
Pantai itu adalah pilihan lain bagi warga selain Pantai Pede, yang sejauh ini juga masih bisa diakses publik.
Kini, Pantai Kelumpang tampak sepi. Hanya terdengar desiran ombak dan angin pantai yang menghempas patahan batang kedondong di tepian. Dari kejauhan, tak terlihat satupun pengunjung atau warga lokal di sekitarnya.
Hanya sesekali terdengar suara orang dewasa di balik sebuah rumah kecil yang terletak tak jauh dari pintu masuk pantai itu. Rumah itu tampak sebagai tempat tinggal untuk penjaga kawasan tersebut.
Dari pinggir jalan, dekat pintu masuk yang sudah ditutup, terlihat dua orang sedang duduk di dalam rumah itu. Seorang di antaranya sedang fokus dengan ponselnya.
Ireneus Surya, seorang warga Labuan Bajo mengaku kecewa dengan tertutupnya akses ke pantai itu yang selama ini menjadi lokasi wisata andalan bersama keluarganya.
“Ternyata sudah dipagari dan tidak ada akses masuk,” katanya.
“Saya sering mandi di Pantai Klumpang ini, Sabtu Minggu pasti datang berenang di sana. Pantai ini paling diminati masyarakat untuk bersantai dan anak-anak biasanya datang berenang pada akhir pekan. Banyak yang kecewa ketika datang kesni, mendapati pantai ini di tutup, dipagari, orang dilarang masuk,” kata Jefry Moa, warga lainnya.
Penutupan akses publik di Pantai Kelumpang membuat sejumlah warga akhirnya mencari lokasi lain untuk bersantai.
Tomy Jedoko misalnya, kini memilih berwisata ke Pantai Pasir Panjang, dekat Kampung Soknar, Desa Golo Mori.
Lokasinya sekitar 20 kilometer ke arah selatan Labuan Bajo.
Namun, ia juga khawatir bahwa pantai itu akan diprivatisasi juga.
“Kami lihat sudah ada patok-patok batas tanah [di Pantai Pasir Panjang],” katanya.
“Bukan tidak mungkin, ke depan kami juga dilarang masuk di sana,” sambungnya.
Dikuasai Hotel
Di sepanjang garis pantai Labuan Bajo, kota yang terletak di ujung barat Pulau Flores, telah berdiri banyak bangunan hotel mewah, yang kemudian menguasai secara eksklusif wilayah sempadan pantai.
Regulasi tentang sempadan pantai diatur dalam Undang-Undang [UU] No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 1 angka 21 UU itu menyatakan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Ketentuan ini diperjelas dalam Pasal 56 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah [RTW] Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.
Sempadan pantai termasuk ke dalam kawasan lindung, demikian menurut UU Nomor 26/2007. Sesuai Pasal 5 ayat 2 UU itu, posisinya setara dengan sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air.
Karena setiap pantai punya morfologi yang berbeda, ketentuan lebih khusus soal sempadan pantai dimuat dalam Peraturan Daerah tentang RTW, di mana diatur batas-batas sempadan di suatu daerah, peruntukan dan pemanfaatannya.
Di Labuan Bajo, setidaknya 11 bangunan hotel dari Pantai Wae Cicu hingga Pantai Pede dinyatakan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat telah melanggar ketentuan terkait garis sempadan pantai dan RTRW.
Hal itu berujung pada pemberian sanksi administratif berupa denda pada Desember 2022 lewat SK Bupati Mabar Nomor: 285/KEP/HK/2019. SK itu merujuk pada diktum Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang RTRW Manggarai Barat tahun 2012-2032 dan SK Bupati Mabar Nomor: 285/KEP/HK/2019 tentang penetapan harga satuan bangunan gedung negara, rumah negara, dan pagar negara.
Kesebelas hotel yang mendapat denda itu adalah Ayana Komodo Resort dengan jumlah terbanyak Rp18.800.587.055, disusul La Prima Hotel Rp5.825.800.079,-, Silvya Resort Komodo Rp3.406.836.728, Plataran Komodo Wae Cicu Rp1.560.213.156, Bintang Flores Rp1.181.393.598,-, dan Sudamala Resort sebesar Rp1.150.992.808,-.
Selanjutnya adalah Waecicu Beach Inn Rp907.987.813, Jayakarta Suites Rp347.601.745, Puri Sari Beach Rp312.346.620, Atlantis Beach Club Rp293.359.324, dan Luwansa Beach Resort sebesar Rp213.805.481.
Diperkirakan akan makin banyak hotel-hotel lain yang menguasai secara eksklusif pantai di Labuan Bajo, mengingat beberapa di antaranya saat ini sedang dibangun di pesisir pantai.
Bupati Edistasius Endi belum berhasil dikonfirmasi Floresa terkait realisasi pembayaran denda hotel-hotel itu, juga responnya terhadap keluhan warga terkait ketiadaan pantai publik di Labuan Bajo.
Di Mana Ruang untuk Publik?
Tomy mengatakan, penguasaan wilayah pantai oleh hotel-hotel membuat publik tidak lagi kebagian ruang.
“Kita lihat saja dari Kelumpang, Wae Cicu sampai belakang Hotel Jayakarta. Semuanya tidak bisa diakses bebas,” jelasnya.
Hal ini, kata dia, membuat dirinya dan warga lain “tidak bisa menikmati alam Labuan Bajo.”
Yohanes Budiono, warga lainnya mengatakan, meskipun Pantai Pede saat ini masih bisa diakses bebas setelah Pantai Kelumpang ditutup, namun status kepemilikan pantai itu masih menjadi tanda tanya.
“Pantai Pede sendiri statusnya masih abu-abu: apakah milik pemerintah, milik swasta atau siapa?” katanya.
Pantai Pede sebelumnya menjadi wilayah sengketa kepemilikan antara Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Pemerintah Provinsi NTT.
Pemerintah Provinsi NTT kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta untuk pembangunan hotel.
Langkah itu diambil di tengah protes publik yang mendesak agar pantai itu tetap dibiarkan terbuka bagi masyarakat.
Pantai itu saat ini terbengkalai setelah bangunan Hotel Pelago, milik PT Sarana Investama Manggabar [PT SIM], pihak yang mengelolanya, dibiarkan telantar.
Pemerintah Provinsi NTT telah mengambilnya kembali, meskipun peruntukannya belum jelas hingga kini.
Irenius, yang juga bekerja sebagai pengacara, menduga “ada pembiaran” pemerintah terhadap kewajiban pemenuhan hak publik untuk mengakses wilayah pantai di Labuan Bajo.
Ia berharap Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengambil langkah agar setiap pemilik lahan yang dekat dengan pantai dan berencana membangun properti, tetap menyiapkan akses masuk untuk publik.
“Ini bagian dari klausul penting pada saat mengeluarkan izin untuk pembangunan hotel atau bangunan apapun,” katanya.
Ia beranggapan perlunya aksi protes dari warga lokal “agar Pemda punya dasar untuk melakukan tindakan”.
Yohanes menegaskan, demi tersedianya ruang publik, maka pemerintah seharusnya mempertimbangkan untuk menolak izin pihak swasta yang melakukan privatisasi wilayah pantai.
“Pemerintah mesti tahu area mana yang memang ada kemungkinan dikelola oleh swasta [dan mana yang tidak],” katanya.
Ia berharap pemerintah tidak terlalu bereuforia memberikan akses kepada swasta, tanpa pertimbangan yang matang tentang bagaimana memastikan hak kelompok yang tidak punya kuasa, termasuk modal, tetap terpenuhi.
Bagi Jefry, “jangan sampai kita ini terasing di tanah kita sendiri,” ketika tidak ada lagi pantai yang masih tersisa karena semuanya telah dikuasai korporasi, yang umumnya dari luar.
“Kan lucu, orang luar datang ke sini dan mereka larang warga lokal masuk ke pantai. Jangan sampai kita kehilangan kedaulatan kita yang tersisa itu,” katanya.
“Saya berharap pemerintah daerah berpihak kepada masyarakat, perlu diatur tata ruang wilayah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh diprivatisasi,” tambahnya.