Pariwisata Labuan Bajo Tak Jamin Keberlanjutan Lingkungan dan Hak Warga Lokal: Pemerintah Daerah Tak Berdaya, Gereja Ajak Lawan Model Pembangunan yang Tidak Adil

Ancaman terhadap habitat komodo, kerusakan Hutan Bowosie hingga privatisasi pantai jadi sorotan aktivis, akademisi dan perwakilan Keuskupan Labuan Bajo

Floresa.co – Pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat tidak menjamin keadilan sosial bagi warga setempat dan menyebabkan kerusakan lingkungan darat dan laut, sementara pemerintah daerah diklaim tidak berdaya karena keterbatasan wewenang.

Hal itu merupakan intisari diskusi publik bertajuk “Pariwisata Berkelanjutan di Labuan Bajo: Bagaimana Menjamin Keseimbangan Ekologis dan Akses Kesempatan Warga Lokal?” yang berlangsung secara hybrid dari Rumah Kopi Kebun Kota, Labuan Bajo pada 15 April.

Diskusi selama tiga jam yang digelar oleh Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores itu menghadirkan secara langsung tiga pemantik, yakni anggota DPRD Manggarai Barat Inocentius Peni, aktivis lingkungan, Doni Parera dan Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Labuan Bajo, Patris Ekaputra.

Sementara tiga pemantik diskusi lainnya hadir secara daring, yakni peneliti isu pembangunan, Rian Juru dan Romo Silvi Mongko serta Pater Andre Bisa, OFM yang mewakili Keuskupan Labuan Bajo. Anno Susabun dari Floresa menjadi moderator.

Banjir Investasi, Warga Setempat Tak Berdaulat

Doni Parera, yang berbicara pertama dalam diskusi itu berkata kecenderungan “mendewakan investor” menjadi akar kerusakan ekosistem alam dan pelanggaran hak-hak warga dalam pembangunan pariwisata di Labuan Bajo.

Ia menyebut kecenderungan itu sebagai “kebodohan” karena “percaya pada pakem bahwa pembangunan bisa dipercepat dan banyak masalah bisa teratasi ketika kita menerima investor.”

“Investor yang kita dewakan itu datang mencaplok semua hal yang menjamin kesejahteraan bersama, hutan, Taman Nasional Komodo, buffer zone (kawasan penyangga) dirusak, pantai-pantai dihancurkan,” katanya.

Doni menyebut tiga nama bupati Manggarai Barat yang pada era kepemimpinannya “ada penghancuran besar-besaran terhadap alam” di wilayah itu, mulai dari Fidelis Pranda pada 2003-2010, Agustinus Ch. Dula pada 2010-2020 hingga Edistasius Endi yang kini memimpin untuk periode kedua.

“Zaman Fidelis Pranda kita beri konsesi kepada perusahaan tambang emas untuk garuk mulai dari Batu Gosok sampai di Hutan Tebedo,” katanya, menyebut protes publik mencuat kala itu karena memikirkan dampak limbah tambang terhadap kawasan laut, termasuk di TN Komodo.

Sementara pada masa Dula, lanjut Doni, Mateus Hamsi yang menjadi Ketua DPRD melakukan pengrusakan besar-besaran demi melayani investor tambang pasir.

“Buffer zone kita dihancurkan, beratus-ratus meter mangrove di Warloka dibabat habis.”

Sekarang, pada masa Endi Endi, kata Doni, “tambah parah lagi, Hutan Bowosie diambil.” 

Jalan yang dibangun BPO-LBF membelah kawasan Hutan Bowosie. (Dokumentasi Floresa)

Senada dengan Doni, Patris Ekaputra dari PMKRI menyatakan, pesimisme pada pariwisata berkelanjutan di Labuan Bajo beralasan. 

“Apakah ini sejalan dengan visi-misi yang selama ini digaung-gaungkan bahwa menjemput uang dari laut, lalu adakan pembangunan di laut?” katanya menyoroti investasi properti hotel yang melakukan privatisasi pantai dan ruang laut.

Misi “menjemput uang dari laut” pernah disampaikan Edistasius Endi saat kampanye menjelang Pilkada 2020.

“Kesalahan terbesar adalah gerbong kita terlalu terbuka lebar untuk investor,” katanya.

Patris juga mengangkat beberapa contoh tentang warga setempat yang bukannya mendapatkan keuntungan dari investasi pariwisata, justru menghadapi pembatasan akses, harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi dan minimnya perhatian pada produk pertanian setempat.

Sementara itu, Romo Silvi Mongko dari Keuskupan Labuan Bajo menilai gelombang besar investasi di destinasi pariwisata super prioritas itu menyebabkan warga setempat tidak berdaulat untuk mendefinisikan pembangunan versi mereka.

Berdasarkan riset dan diskusi dengan banyak pihak, Silvi menyimpulkan warga asli di Labuan Bajo “mengalami keterjajahan secara konseptual.”

“Padahal kita sudah punya konsep yang sangat kuat, tapi mungkin kita belum berhasil mendefinisikannya secara baik,” katanya.

Ia mempersoalkan konsep “pariwisata kelas dunia” yang kerap dikampanyekan, hal yang menurutnya justru menjadi standar yang diimpor untuk “melibas kekuatan yang kita miliki sendiri.”

“Kita tidak berdaulat mendefinisikan secara kuat apa yang menjadi karakteristik pariwisata kita sendiri,” katanya.

Mengangkat cerita warga adat Ata Modo di Pulau Komodo, Silvi berkata, karakter asli yang khas dari pariwisata Labuan Bajo seharusnya adalah manusia sebagai simbol kebudayaan dapat hidup dalam satu kesatuan ruang dengan satwa liar komodo.

Karena itu, lanjutnya, daya tarik pariwisata Labuan Bajo adalah kesatuan alam dan manusia dengan kebudayaannya.

Hal yang terjadi selama ini adalah pembangunan pariwisata yang “sangat ekstraktif,” karena “investor yang mengambil sari-sari” keindahan alam dan “kita hanya ditinggalkan ampasnya.”

“Pariwisata kita sangat boros lahan, dan implikasinya korupsi lahan, korupsi ruang publik,” katanya, sembari menyebut salah satu contoh yakni penguasaan lahan skala besar dengan strategi intimidasi oleh investor di kawasan selatan Labuan Bajo untuk pengembangan kawasan wisata Golo Mori.

Kondisi jalan yang baru digusur di Persawahan Dusun Nalis, Desa persiapan Golo Tanggar, pemekaran dari Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Sebelumnya, di titik ini, terdapat dua unit rumah yang kemudian habis digusur rata dengan tanah. (Foto: Istimewa)

Deforestasi hingga Privatisasi Pantai, Pemda Tak Berdaya

Doni juga menyoroti krisis air yang melanda Labuan Bajo selama beberapa tahun belakangan.

Ia menyebut penyebabnya adalah pembabatan di beberapa titik Hutan Bowosie untuk proyek wisata milik Kementerian Pariwisata dan proyek persemaian modern seluas 30 hektare milik Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Selain itu, ia juga menyinggung proyek Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) di Bowosie. Proyek yang dinamai Parapuar itu telah membabat sebagian dari 400 hektare hutan yang menjadi wilayah penguasaannya, hal yang juga  menyebabkan konflik agraria dengan warga setempat.

“Sudah ada empat mata air dalam pemukiman di Labuan Bajo yang mati total, lainnya mati suri,” kata Doni.

Mata air yang mati suri berada di sekitar Pasar Baru, belakang Kantor PLN, Wae Mata di belakang Seminari St. Yohanes Paulus II, Wae Nahi dan Liang Raba. 

Sedangkan yang mati total, kata dia, adalah mata air di Binongko, dekat landasan pacu Bandara Komodo, di dekat Gudang Bulog dan di Wae Kelambu.

Mengutip pembicaraan petinggi Perusahaan Daerah Air Minum Wae Mbeliling dalam sebuah diskusi pada tahun lalu, Doni berkata, pada 2025 atau 2026 perusahaan itu tidak akan sanggup lagi memenuhi kebutuhan air warga Labuan Bajo.

Hal itu terjadi karena sumber air terbesar yakni Wae Mese terdampak pembabatan Hutan Bowosie. Sementara satu dari dua mata air terbesar di dalam kawasan hutan itu juga tengah terancam deforestasi.

Selain itu, kata Doni, kerusakan Hutan Bowosie juga berdampak pada berkurangnya pasokan air untuk warga dan lahan pertanian, termasuk di sebelah utara hutan itu, yakni di wilayah Kecamatan Boleng.

Terkait pembabatan Hutan Bowosie, Romo Silvi Mongko, yang sejak tahun lalu melakukan riset tentang konflik antara warga dan BPOLBF, berkata, “dampaknya sangat buruk,” mulai dari kehilangan hak atas tanah, dampak ekonomi ekologis, dan sosial budaya, hingga banjir bandang yang beberapa kali terjadi belakangan ini.

“Ketahanan fisik Labuan Bajo sangat lemah saat ini kalau hujan mengguyur 24 jam,” katanya.

Selain itu, “ada diskriminasi dan ketimpangan ekonomi” yang dihadapi warga setempat.

Sementara Inocentius Peni menyoroti khusus masalah privatisasi pantai dan ruang laut yang diakuinya tengah ramai dibahas publik, termasuk di kalangan anggota DPRD.

“Teman-teman DPRD sebelum kami juga sudah mempersoalkannya,” katanya.

Namun, kata dia, izin pembangunan hotel di sepanjang kawasan pantai itu langsung diberikan oleh pemerintah pusat dan provinsi melalui aplikasi Online Single Submission atau OSS.

Karena itu, “pemerintah daerah tidak bisa berbuat apa-apa.”

Dinas Perizinan Manggarai Barat, kata Ino, juga tidak dilibatkan dalam merekomendasikan pembangunan properti-properti itu, hal yang menurutnya juga terjadi dalam perizinan tambang.

“Tidak sejengkalpun kewenangan pemerintah daerah tentang laut hari ini,” katanya.

Terkait aturan tentang sempadan pantai yang mewajibkan area bebas sejauh 100 hingga 300 meter dari pasang tertinggi air laut, Ino mengklaim, secara aturan memang merupakan ruang publik.

“Ketika investor bangun hotel, begitu hotelnya 10.000 meter persegi, izinnya langsung di pemerintah pusat,” katanya, merujuk pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Tumpukan material yang ditempatkan di tepi laut yang digunakan untuk kepentingan reklamasi Mawatu Resort. (Dokumentasi Ven Darung)

Ino mengklaim, penetapan Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas “pada awalnya membawa angin surga yang menggembirakan.”

“Karena kita berharap dulu penentuan destinasi super prioritas ini tidak disertai nafsu kapitalisme yang terselubung di dalam keputusan pemerintah pusat itu,” katanya.

Isu lainnya yang diangkat Ino adalah pengelolaan pariwisata di TN Komodo yang tidak memberikan kontribusi bagi pendapatan asli daerah Manggarai Barat.

Ia berkata, sejak Mei 2024, kewenangan pemerintah daerah untuk memungut retribusi di kawasan itu telah dicabut. 

Retribusi yang sebelumnya digunakan untuk pembangunan daerah, kata dia, kini dikelola langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui lembaga bawahannya, Balai Taman Nasional Komodo.

Ino mempersoalkan pemblokiran tersebut, termasuk karena pemerintah pusat justru pernah memberikan konsesi lahan dan pungutan wisata kepada PT Flobamor, BUMD Provinsi NTT di era Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, sebelum kemudian batal karena protes publik.

“Ribut yang kami sampaikan hanya didengar oleh pemerintah daerah, sambil menunggu inisiatif baik dari pemerintah pusat,” kata Ino.

Strategi Politik Pembatasan Akses Ruang Publik

Merespons persoalan-persoalan itu, termasuk yang terkait peminggiran warga dan ancaman terhadap ekosistem Komodo oleh kehadiran berbagai perusahaan, peneliti Rian Juru berkata, pembangunan pariwisata Labuan Bajo sejauh ini menunjukkan adanya praktik kekuasaan yang tidak adil.

Praktik itu, kata dia, menyebabkan adanya relasi kuasa, di mana warga tidak memiliki kekuatan untuk mengintervensi ruang-ruang publik.

“Kita sedang berhadapan dengan karakteristik kekuasaan kapital yang eksepsional, yang berarti kekuasaan itu menjadi hukum atau bahkan melampaui hukum,” katanya.

Dengan kekuasaan eksepsional, kata Rian, penguasa dan pengusaha dapat melakukan penguasaan ruang dan privatisasi, sementara akses warga dibatasi, bahkan pemerintah daerah tidak cukup kuat mengimbangi kekuasaan itu.

Rian juga menyoroti dimensi produksi ruang dalam pariwisata Labuan Bajo, yang dikontrol kekuatan kapital.

“Ada proses teritorialisasi atau strategi ruang untuk mengontrol sumber daya dan manusia demi melayani logika akumulatif,” katanya.

Karena itu, lanjutnya, pariwisata Labuan Bajo tampil dalam bentuk kantong-kantong eksklusif, di mana terdapat pembatasan akses untuk warga yang adalah kelas sosial terendah.

Kawasan pesisir pantai di sebelah utara Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat yang sedang direklamasi oleh Mawatu Resort. Pohon mangrove yang berada di sekitar kawasan ini telah dibabat untuk kepentingan reklamasi. (Dokumentasi Ven Darung)

‘Sikap Gereja Tak Pernah Berubah’

Pater Andre Bisa, OFM dari Keuskupan Labuan Bajo berkata, ide tentang pariwisata berkelanjutan di Labuan Bajo sejalan dengan cita-cita Gereja, termasuk Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus yang gencar mempromosikan pertobatan ekologis, bagian dari tanggung jawab moral untuk keselamatan lingkungan.

Menurut Andre, Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja Katolik lainnya menekankan poin penting martabat semua makhluk, sehingga “merusak alam sama dengan mengecewakan Allah.”

Namun, kata dia, pembangunan yang tengah terjadi saat ini cenderung menjadi “agama baru”, karena “alam dan manusia menjadi korban di altarnya.”

Andre mengutip kata-kata Vandana Shiva, ekofeminis asal India, yang menyebut sakramen dari agama pembangunan “bukanlah kehidupan, melainkan keruntuhan dan desakralisasi hal-hal yang sebelumnya dianggap sakral.”

“Bendungan, pertambangan, pembangkit listrik, hingga basis militer, semua ini menjadi semacam ‘kuil’ dari agama baru itu,” katanya.

Menanggapi persoalan tersebut, lanjutnya, Keuskupan Labuan Bajo berupaya menggalakkan beragam animasi, edukasi dan advokasi hak-hak masyarakat dan lingkungan.

Beberapa di antaranya adalah melalui program “ekopastoral integral” dan “paroki hijau.”

Andre juga berkata Keuskupan Labuan Bajo mendorong upaya “revitalisasi kearifan lokal, lonto leok atau berdiskusi dengan semua elemen masyarakat sipil untuk melindungi alam dan kearifan lokal.”

Romo Silvi Mongko menambahkan, dengan dinamika yang terjadi di tingkat lokal, Gereja terus melakukan aksi pastoral untuk mempertahankan sikapnya yang pro kehidupan dan pro keberlanjutan.

“Sikap Gereja tidak pernah berubah dan tidak netral di tengah pembangunan yang tidak adil,” katanya.

Karena itu, kata Silvi, surat gembala yang dikeluarkan Mgr. Maksimus Regus pada Paskah tahun ini merupakan salah satu respons yang menunjukkan posisi etis yang tegas di tengah pembangunan yang terjadi di Labuan Bajo.

Surat uskup itu menekankan bahwa pariwisata Labuan Bajo hanya dapat berkembang jika didukung oleh ekosistem yang sehat dan berkelanjutan. 

Uskup Maksimus juga menyatakan pariwisata yang mengabaikan kelestarian alam akan membawa bencana, baik dalam bentuk kerusakan lingkungan, meluasnya ketidakadilan ekonomi, maupun konflik sosial.

Romo Silvi berkata, semua pihak, mulai dari aktivis, akademisi hingga kelompok keagamaan dan pemerintah daerah perlu mengumpulkan simpul-simpul kekuatan untuk melawan pembangunan yang tidak adil.

Kendati demikian, ia juga mewanti-wanti adanya kemungkinan dialog dipandang sebagai jalan kompromi “yang justru berujung pada diabaikannya hak-hak warga.”

“Gereja, sebagai simpul kekuatan moral dan sosial, kerap dicari dan dijadikan rujukan. Maka, penting bagi Gereja untuk tidak terjebak dalam relasi yang manipulatif, melainkan tetap berdiri kokoh sebagai suara profetik yang membela martabat manusia dan kelestarian ciptaan,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA