Jakarta, Floresa.co – Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema, anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak sepakat dengan usulan agar presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK), menyusul adanya aksi demonstrasi para mahasiswa dan aktivis.
Legislator dari daerah pemilihan NTT II itu mengusulkan agar berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa sebaiknya mengajukan gugatan terhadap UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Keputusan MK, kata dia, bersifat mengikat dan permanen, beda halnya dengan Perppu yang adalah hak subjektif presiden dan sifatnya sementara.
Mantan aktivis 1998 itu menilai saat ini tidak ada kondisi “kegentingan yang memaksa” dan kekosongan hukum, sebagai syarat terbitnya Perppu.
“Saya menilai demonstrasi mahasiswa bukan kondisi kegentingan memaksa,” kata Ansy.
Ansy mengatakan, posisinya yang mendukung UU KPK versi revisi tidak berarti bahwa ia menganggap enteng masalah korupsi.
“Tentu saja korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan, sebagaimana disuarakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat,” katanya.
Sikap demikian, ia nyatakan lewat komitmen pribadi untuk hanya akan menerima uang yang ada potongan pajaknya dan tidak menerima gratifikasi.
“Pejabat publik juga tidak boleh terjebak pada konflik kepentingan (conflict of interest). Akar korupsi adalah karena pejabat tidak bebas dari konflik kepentingan,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, ia berkomitmen untuk tidak memanfaatkan kekuasaan dengan main proyek, untuk memperkaya diri.
“Pejabat publik jatuh karena orang dekat (suami, istri, anak, ponakan, kakak, adik saudara dan tim pemenangan) yang minta proyek. Maka saya akan tegas terlebih dahulu terhadap orang dekat saya,” katanya.
Namun, kata dia, dalam kerangka sistem demokrasi, lembaga penegak hukum seperti KPK harus siap juga untuk dikoreksi dan diawasi.
“Lembaga yang tidak mau diawasi dan dikoreksi justru mengangkangi semangat demokrasi. Aneh jika dalam sistem demokrasi, masih ada lembaga publik yang imun terhadap pengawasan,” katanya.
Pengawasan terhadap kewenenangan KPK dalam hal penyadapan dan penangkapan, kata dia, penting untuk mencegah terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
“Lord Acton sudah mengingatkan power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan yang absolut sudah pasti korup).” jelasnya.
Tentu saja, kata Ansy, model dan mekanisme kerja lembaga pengawas harus dipikirkan baik-baik, yang ia sebut haruslah rasional.
“Rasional dalam arti, pemerintah dan DPR wajib mendengar masukan dari berbagai kalangan dalam membuat format lembaga pengawasan yang membuat KPK menjadi semakin kuat dan tangguh menghadapi kasus-kasus korupsi,” tambah Juru Bicara Ahok di Pilgub DKI Jakarta itu.
Beda dengan Orde Baru
Sebagai mantan aktivis 1998, Ansy juga mengapresiasi gerakan mahasiswa berbagai kampus turun ke jalan.
“Mahasiswa sebagai agent of change atau dalam ilmu politik sebagai kelompok penekan bertugas mengubah kultur politik menjadi lebih responsif dan demokratis,” katanya.
Gerakan demonstrasi seperti itu tidaklah tabu dalam sistem demokrasi, mengingat demokrasi membuka ruang selebar-lebarnya bagi diskursus publik baik melalui pertukaran wacana maupun melalui gerakan sosial yang semua tujuannya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik, demikian Ansy.
Namun, ia tidak sepakat dengan pendapat yang menyebut bahwa Indonesia saat ini seperti sedang kembali ke zaman Orde Baru yang mentabukan demokrasi.
“Bagi saya pemerintah sekarang sangatlah demokratis karena mau mendengar suara mahasiswa, berbagai elemen masyarakat dan menjadikan suara-suara dalam ruang publik sebagai preferensi dalam pengambilan keputusan politik,” katanya.
Hal ini, kata dia, jelas sangat berbeda dengan jaman Orde Baru, di mana kebebasan sipil dan politik dibungkam, suara masyarakat sipil tidak pernah didengar, semua kanal demokrasi disumbat dan kekuasaan sepenuhnya tersentralisasi di tangan presiden.
“Itulah mengapa, mahasiswa 98 turun ke jalan menuntut Presiden Soeharto turun,” katanya.
Kondisi monolitik pada era Orde Baru, ungkapnya, jelas berbeda dengan sistem demokrasi saat ini.
“Kini semua saluran demokrasi terbuka. Pers, mahasiswa dan masyarakat sipil bebas bersuara. 4 dari 5 tuntutan mahasiswa sudah dipenuhi Presiden dan DPR,” katanya.
Salah satu bukti riil hal itu, urai Ansy, adalah ketika presiden dan DPR merespons dengan baik tuntutan mahasiswa sehingga beberapa RUU, seperti RUU KHUP, RUU Minerba, RUU PKS dan RUU Pertanahan ditunda pengesahannya.
“Presiden dan DPR tidak menutup telinga, justru mendengar suara-suara di ruang publik,” katanya.
Bahkan, kata dia, presiden mengundang mahasiswa untuk berdiskusi, meski kemudian ditolak mahasiswa.
“Itu menunjukan bahwa Presiden dan DPR terbuka terhadap koreksi dan sadar bahwa proses pengambilan keputusan politik bisa keliru,” ujar Ansy.
“Pengakuan akan kesalahan itu membuka ruang bagi koreksi agar produk legislasi menjadi semakin berkualitas dan mampu menjadi engsel bagi kehidupan bernegara,” tambahnya.
Ia menekankan, presiden dan DPR mendukung proses dialektika dalam demokrasi, yang dalam bahasa Jurgen Habermas sebagai proses penalaran dialektis dalam pengambilan keputusan publik.
“Ini bukti kualitas demokrasi kita makin maju karena institusi politik selalu terbuka untuk dikritik dan dikoreksi. Presiden Joko Widodo tidak anti kritik,” tegasnya.
Namun, menurut dia, diskursus terus menerus tentu harus ada ujungnya.
Menyitir Habermas bahwa sebuah diskursus harus bisa sampai pada konsensus minimal, tentu tidak semua aspirasi masyarakat diakamodir, mengingat aspirasi yang muncul bersifat plural atau majemuk.
“Maka, harus ada pembatasan yang jelas untuk mencapai konsensus,” katanya.
Dalam hal proses legislasi, menurut Ansy, tentu diskursus yang paling rasional yang akan diambil sebagai bahan dan preferensi untuk merancang sebuah UU.
Ansy menekankan, yang jelas tidak semua keputusan politik, termasuk dari presiden bisa memuaskan semua pihak.
Terkait UU KPK, ia kembali tegaskan, jika ada yang tak puas dengan keputusan Presiden Jokowi, bisa ditempuh melalui mekanisme konstitusional di MK.
“Gugatan ke MK adalah saluran konstitusional yang disediakan dalam sistem demokrasi,” tegas Ansy.
ARL/Floresa