Berpeluang Ikut Sebar Hoaks Jelang Pemilu, Jurnalis dan Media Perlu Patuhi Elemen Kerja Jurnalisme

Peneliti menemukan tren peningkatan penyebaran hoaks menjelang pemilu 2024.

Baca Juga

Floresa.co – Penyebar hoaks, disinformasi dan misinformasi tidak hanya orang awam ataupun loyalis kelompok tertentu yang disebut buzzer, tetapi juga media dan jurnalis jika mengabaikan elemen-elemen penting dalam kerja jurnalisme, kata peneliti.

Berbicara dalam sebuah diskusi daring pada Rabu, 27 September, FX Lilik Dwi Mardjianto, kandidat doktor dari Universitas Canberra, Australia mengatakan publik sebenarnya punya harapan yang sangat tinggi terhadap peran jurnalis dan media sebagai penjernih ruang informasi publik sekaligus sumber berita yang kredibel di tengah menjamurnya hoaks.

Karena adanya sejumlah praktik ketidakakuratan reportase, penjagaan editorial yang lengah, pelanggaran elemen kunci jurnalisme, kata dia, tren kepercayaan terhadap jurnalisme saat ini jadi turun.

“Kritik saya ini adalah bagian dari kecintaan saya kepada jurnalisme, khususnya jurnalisme di Indonesia,” kata Lilik yang juga peneliti media di Universitas Multimedia Nusantara.

Diskusi bertajuk “Mengupas Hoaks Bakal Calon Presiden Pemilu 2024” ini diadakan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI], Aliansi Jurnalis Independen [AJI] dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia [Mafindo]. Mereka tergabung dalam Koalisi Cek Fakta yang didukung penuh oleh Google News Initiative.

Selain Lilik, pembicara lain adalah Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDNTimes dan Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo.

Diskusi diawali pemaparan hasil media monitoring berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) oleh Oleg Widijoko dari lembaga riset Binokular.

Tren Penyebaran Hoaks yang Meningkat

Kontrol jurnalis dan media terhadap penyebaran hoaks menjelang pemilu menjadi krusial, merujuk pada hasil pantauan Binokular terkait isu hoaks dalam kurun waktu Juli hingga September 2023 dan data dari Mafindo.

Oleg menyebut ada enam tipe hoaks yang terpantau, khususnya untuk calon bakal presiden.

“Tipe-tipe itu berupa kabar palsu, foto editan, informasi keliru, narasi foto, narasi video dan pemotongan video,” katanya.

Oleg mengatakan, hoaks yang ditemukan pada periode ini masih mengarah pada kandidat capres, khususnya Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Selain itu, kata dia, Anggota Tim 8 Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Sudirman Said, juga menjadi sasaran hoaks terkait batalnya penunjukan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon wakil presiden untuk Anies Baswedan.

Menurutnya, disinformasi yang bersumber dari platform media sosial merembes ke forum-forum personal seperti grup Whatsapp  dan lainnya.

“Upaya yang dilakukan Koalisi Cek Fakta sudah baik. Namun, sebagai filter hoaks di ranah personal di pemilu 2024, tentu masih banyak tantangan,” katanya.

Septiaji Eko Nugroho dari Mafindo mengatakan monitoring berbasis kecerdasan buatan Binokular mirip dengan data Mafindo.

Ia mengatakan, terjadi tren peningkatan penyebaran hoaks menjelang pemilu, setidaknya sejak tahun lalu.

“Data Mafindo tahun 2022 menunjukan 1.500 temuan hoaks, tahun 2023 terdapat 1.600 hoaks, dan 2024 ini diprediksi akan meningkat hingga di atas 2.000 hoaks. Bahkan saat melakukan webinar ini produksi hoaks terus berlangsung. Ada kanal yang kami pantau dapat memproduksi 1-45 video hoaks setiap hari,” katanya.

Ia menyoroti ketimpangan penyebaran hoaks da! penanganan cek fakta yang “makin melebar.”

“Tahun 2019 kita optimis dapat menangkap banyak konten hoaks. Namun, kenyataannya di Youtube, Tiktok, Snack, bahkan Shopee video banyak sekali konten hoaks. Produksi video-video pendek itu saat ini semakin murah dibandingkan dengan biaya fact check-nya. Ketidakseimbangan ini menjadi pekerjaan rumah kita hari ini,” kata Septiaji.

Pentingnya Disiplin Verifikasi dan Klarifikasi

Uni lubis dari IDN Times yang menggarisbawahi pentingnya disiplin verifikasi dan klarifikasi data dalam setiap proses jurnalisme, mulai dari proses peliputan, produksi hingga distribusi.

“Tugas jurnalis adalah memeriksa fakta dan menyajikan kebenaran yang merupakan kumpulan informasi-informasi yang sudah diverifikasi,” katanya.

Menurut Uni, semua media bisa saja terjebak jatuh ke dalam pelanggaran terhadap disiplin  verifikasi.

Ia mencontohkan media besar seperti New York Times di Amerika dan Tempo di Indonesia yang pernah mengalaminya.

Meski sumber informasi dari narasumber  terpercaya, kata dia, kadang data yang disampaikan adalah salah yang “harus diverifikasi oleh para jurnalis.”

“Contoh kasus Tempo yang harus meminta maaf karena salah memuat kutipan dari narasumber merupakan hal yang sudah benar dilakukan,” katanya.

“Kesalahan ini bahkan juga terjadi pada portal media internasional New York Times dan lainnya,” tambahnya.

Bagian dari Upaya Dukung Pemilu Berkualitas

Adi Prasetya, direktur eksekutif AMSI mengatakan diskusi bulanan ini menjadi bagian penting kampanye anti hoaks dan sumbangan Koalisi Cek Fakta dalam mendukung pemilu 2024 yang berkualitas.

Diskusi, kayanya, juga penting untuk mengukur dan memonitor kerja-kerja pemeriksa fakta hingga pelaksanaan pemilu.

Koalisi, kata dia, menggandeng lembaga riset berbasis AI Binokular “untuk mendapatkan data percakapan secara riil dan presisi tentang persebaran, tipologi, korban, dan bahkan actor mapping [pemetaan aktor] hoaks.”

“Dari situ kita bisa mengkaji apa yang harus dilakukan,” ujar Adi.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini