ReportasePeristiwaWarga di Ruteng Bongkar Halaman Rumah Adat, Buntut Protes terhadap Pembangunannya yang Tidak Libatkan Mereka 

Warga di Ruteng Bongkar Halaman Rumah Adat, Buntut Protes terhadap Pembangunannya yang Tidak Libatkan Mereka 

Pembongkaran terjadi setelah mereka sempat menyampaikan pengaduan kepada wakil bupati

Floresa.co – Warga di sebuah kampung adat di Ruteng, Kabupaten Manggarai membongkar halaman rumah adat yang baru saja dibangun pemerintah karena pengerjaannya tidak melibatkan mereka.

Aksi pembongkaran yang terjadi pada Kamis, 14 Desember terekam dalam sebuah video yang viral di media sosial, di mana salah seorang warga Kampung Adat atau Gendang Waso di Kecamatan Langke Rembong menggunakan palu menghancurkan tembok halaman rumah adat itu.

Wilhelmus Hiburan Nampi, 51 tahun, salah satu tetua adat Gendang Waso mengatakan pembongkaran itu dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan semua tetua dan warga kampung.

“Kami tidak menolak program pemerintah, hanya prosedurnya yang kami tidak terima,” katanya kepada Floresa.

Ia menjelaskan, tidak ada sosialisasi sama sekali sejak proyek itu dikerjakan, sehingga “kami yang tinggal di Gendang Waso ini tidak tahu.”

Ia mengatakan, mereka juga mempersoalkan posisi bangunan yang membelakangi rumah adat dan compang, altar persembahan adat.

“Padahal, dari segi adat, pembangunan itu tidak boleh membelakangi compang dan rumah adat,” katanya.

Hubertus Enggot, 72 Tahun, tetua adat lainnya menyebut “proyek ini mengabaikan tua adat dan masyarakat lainnya yang ada di Gendang Waso.”

“Sejak awal kami persoalkan proyek ini, tetapi tidak direspons sama sekali,” katanya.

Wilhelmus mengatakan, aksi pembongkaran itu tidak dilakukan secara tiba-tiba, tetapi setelah mereka melakukan rangkaian protes kepada pemerintah.

Pada 27 November, kata dia, mereka sempat mengadu kepada Wakil Bupati Manggarai, Heribertus Ngabut.

“Saat itu kami tunjuk foto posisi bangunan. Kami sampaikan bahwa dengan posisi bangunan yang membelakangi gendang dan compang, harus dibongkar,” kata Wilhelmus.

Merespons hal itu, kata dia, Ngabut langsung menelepon Lurah Waso, Siprianus Mahu.

“Karena telepon pakai speaker, kami dengar jawaban dari Pak Lurah. Dalam percakapan itu lurah mengaku tidak tahu program ini dan ia menjelaskan bahwa proyek itu milik pihak kecamatan,” katanya 

Setelahnya, Ngabut menelepon Camat Langke Rembong, Yohanes E.A Ndahur. Camat, kata dia, berjanji “segera ke lokasi” membahas masalah proyek itu.

Pada 3 Desember, Camat kemudian menggelar pertemuan di kantor Kelurahan Waso, yang dihadiri oleh warga.

Ngabut membenarkan pengakuan warga yang bertemu dengannya.

“[Mereka] pernah ke ruangan saya. Saat itu saya minta Camat Langke Rembong untuk selesaikan urusan itu. Sampai hari ini belum ada laporan dari Pak Camat,” katanya kepada Floresa, Sabtu, 16 Desember.

Camat Ndahur mengakui belum menyampaikan laporan hasil tindak lanjut kasus ini.

Ia mengatakan, sebenarnya ingin melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Wakil Bupati dan Bupati Herybertus GL Nabit, namun belum sempat melakukannya.

Sementara itu, terkait pertemuan pada 3 Desember, Ndahur berkata, “saat itu tidak ada kesepakatan bongkar” bangunan.

“Memang saat itu, mereka minta bongkar. Saya sampaikan dengan mereka, itu butuh waktu dan harus saya laporkan dulu dengan Pak Wakil dan Bupati. Jadi, tidak ada kesepakatan bongkar,” katanya kepada Floresa, Sabtu, 16 Desember.

Pengakuan berbeda disampaikan warga Waso terkait pertemuan pada 3 Desember itu.

Helmina Gius, salah satu pemudi yang ikut dalam pertemuan itu mengatakan, tuntutan Tua Adat Gendang Waso dan sejumlah masyarakat sama, “meminta Pak Camat segera membongkar bangunan.”

Ia menambahkan, “Pak Camat saat itu meminta maaf atas kesalahan dan prosedur yang telah dilaksanakan” dan karena itu akan “segera melakukan pembongkaran.”

Setelah pertemuan tersebut, lanjutnya, tetua adat dan warga menunggu janji camat yang tidak kunjung terealisasi

“Akhirnya kami melakukan rapat di gendang dan semua warga sepakat untuk bongkar,” katanya.

Floresa belum berhasil mendapatkan tanggapan dari Lurah Waso, Siprianus Mahu. 

Bagaimana Awal Mula Kasus Ini?

Penataan halaman rumah adat ini adalah bagian dari Proyek Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Kelurahan, dengan alokasi anggaran Rp90 juta.

Kelurahan Waso merupakan salah satu dari 22 kelurahan penerima dana proyek yang bersumber dari Pendanaan Kelurahan Specific Grant Kabupaten Manggarai Tahun 2023, dengan total lebih dari Rp22 miliar. 

Protes warga Waso mulai mencuat pada Oktober, selain karena tidak ada sosialisasi, juga karena dikerjakan oleh Kelompok Masyarakat [Pokmas] yang mereka sebut muncul tiba-tiba menjelang pencairan dana proyek.

Padahal, sejak awal mereka berharap agar penataan halaman itu dikerjakan oleh warga Gendang Waso, yang juga sudah bergabung dalam sebuah Pokmas. Kelompok itu terbentuk pada Januari 2023 dan anggotanya adalah warga di rumah adat dan warga lainnya di Waso.

Pelaksana proyek yang kemudian ditunjuk adalah Pokmas Suka Maju, dengan konsultan perencana CV Indo Design Konsultan dan konsultan pengawas CV Sahwana.

Pokmas Suka Maju diketuai oleh Marianus Ricci Kaswandi. Ia merupakan mantan tim sukses Bupati Herybertus G.L Nabit dan Wakil Bupati Heribertus Ngabut [H2N] saat Pilkada 2020.

Dalam pernyataannya pada 10 Oktober, Lurah Siprianus kecewa dengan penunjukkan Pokmas Suka Maju.

“Saya juga tidak tahu munculnya darimana, tiba-tiba kelompok itu yang kerjakan sekarang,” katanya ketika itu.

Ia berkata sempat menyampaikan keberatan dengan munculnya Pokmas baru ini kepada Camat Ndahur.

Dalam pernyataannya pada 11 Oktober kepada Floresa, Camat Ndahur mengklaim pengerjaan proyek itu telah sesuai mekanisme yang berlaku, membantah kemunculan tiba-tiba Pokmas Suka Maju seperti klaim Lurah Siprianus.

Ia mengatakan, pihak kecamatan tidak berwenang menentukan pihak yang kemudian mengerjakan proyek itu.

“Kewenangan kami di kecamatan hanya untuk membuat surat keputusan saja. Untuk menilai kelayakan dokumennya ada pada Pejabat Pembuatan Komitmen [PPK],” katanya.

Chitra Ayu Purwarini, PPK proyek ini mengatakan waktu proses penerbitan Surat Perintah Kerja [SPK], yang datang ke kantornya hanya Pokmas Suka Maju, semenatara Pokmas yang dibentuk kelurahan tidak datang.

Ia beralasan, Pokmas bentukan kelurahan administrasinya tidak lengkap, sementara ia tidak mengantongi nomor ponsel orang-orang yang ada di dalamnya.

“Saya mau kontak bagaimana? Sementara yang proaktif ini yang kerja sekarang,” katanya, “sehingga akhirnya saya proses SPK-nya,” katanya kepada Floresa.

Sementara itu, Lurah Siprianus dalam pernyataan pada 22 Oktober mempertanyakan klaim Chitra, yang ia sebut “sangat tidak masuk akal.”

“Kalau benar tidak disertakan dengan nomor ponsel dalam berkas penawaran mereka, kan ada kontak saya,” katanya.

“Selain kontak saya, ada juga nomor kontak Pak Camat. Apa salahnya dia kontak Camat atau kontak langsung saya untuk menanyakan kontak kelompok Pokmas tersebut. Kan tidak masuk akal alasan itu,” katanya.

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA