Politik Uang dan Barang: Mengukur Massa Rakyat dan Politisi

Politik semacam ini dilakukan hanya menjelang proses pemungutan suara, ibarat barter suara, bukan sebuah kerja jangka panjang dalam rangka misi kemanusiaan yang berkelanjutan. 

Oleh: Antonius Rian

Pemilu 2024, yang ikut memilih calon legislatif, baru saja usai. Namun, perdebatan dan adu argumentasi masih saja berlanjut di tengah massa rakyat. Hal ini terjadi, salah satunya, karena ada indikasi kecurangan selama proses pemungutan suara. 

Di Lewoleba, Kabupaten Lembata misalnya, ada dua Tempat Pemungutan Suara [TPS] yang direkomendasikan melakukan Pemungutan Suara Ulang. Artinya, proses menyeleksi seorang wakil rakyat dicurigai penuh dengan kerja-kerja kotor. 

Calon wakil rakyat yang punya potensi dan kualitas teruji bisa saja kalah dalam merebut hati rakyat, lantaran proses pemungutan suara berjalan abnormal, penuh dengan kecurangan. Proses seperti ini akan menguntungkan calon wakil rakyat yang memiliki tujuan politik gelap.

Tak hanya tentang itu, kita juga mendengar isu-isu tak sedap sebelum berlangsungnya proses pemungutan suara. Salah satunya yakni politik barang. Yang saya maksud dengan politik barang adalah praktik membagi barang seperti herbisida, material bangunan, uang,  atau memberi makan daging gratis kepada massa rakyat.

Ini merupakan salah satu jalan politik yang akan membutakan mata dan hati massa rakyat.  Politik seperti ini tentu akan menghasilkan wakil rakyat yang tak punya prinsip berpolitik yang benar. 

Politisi model ini telah menanam tradisi buruk dan mencederai wawasan masyarakat tentang politik. Sebab, di dalam kepalanya sudah ada pemahaman keliru tentang politik, khususnya untuk ranah legislatif.

Hasilnya adalah massa rakyat menjadi tidak kritis melihat kualitas personal maupun sosial dari sang calon. Padahal, menjadi seorang wakil rakyat dibutuhkan kualitas diri, baik intelek maupun moral yang mumpuni sehingga mampu mengontrol kerja pemerintah, sekaligus memberikan konsep luar biasa bagi pembangunan sebuah daerah. 

Hal lain yang kemungkinan terjadi adalah terbelenggunya cara berpikir massa rakyat. Politisi yang ber-uang akan menjadi idola mereka karena telah memberi barang sebelum proses pemungutan suara.

Politisi model ini juga perlu diragukan karena ia secara personal tak mampu berargumentasi secara rasional. Baginya, hati rakyat bisa dicuri dengan memberikan barang seperti herbisida maupun uang atau menyembelih beberapa ekor hewan untuk memenuhi kebutuhan perut massa rakyat. 

Politik tidak dilihat lagi sebagai usaha untuk meraih kebaikan bersama melalui proses pendidikan yang rasional, melainkan sebagai kesempatan makan daging gratis, dapat uang Rp100.000 dan herbisida untuk membunuh rerumputan liar di kebun yang sebenarnya merusak kesuburan tanah. Massa rakyat yang tergiur dengan politik barang juga akan sulit diajak untuk berpikir kritis dan maju bersama. 

Politik barang ini dilakukan hanya menjelang proses pemungutan suara, bukan sebuah kerja jangka panjang dalam rangka misi kemanusiaan yang berkelanjutan. Politik barang ibarat barter suara.

Dari proses politik seperti ini, setiap kali hajatan Pemilu, yang meraih kemenangan adalah mereka yang ber-uang atau punya modal barang – walaupun tidak semua demikian. Sedangkan, politisi yang memiliki rekam jejak teruji, wawasan politiknya luas dan dapat diandalkan untuk bisa berargumentasi di gedung wakil rakyat menyuarakan aspirasi massa rakyat terpaksa harus diam menelan kekalahan dan ejekan netizen di dunia maya.

Pada sisi yang lain, politik barang juga perlu menjadi catatan reflektif bagi para politisi. Bisa saja yang menjadi alasan massa rakyat adalah karena para politisi tidak memberi bukti riil dalam kerja-kerja politisnya. Maka tak heran, sering kali secara polos massa rakyat menilai percuma memilih politisi pintar berbicara, tetapi tak ada bukti kerja nyata yang dapat diandalkan. 

Pemahaman seperti ini akan mudah menggiring massa rakyat untuk terlibat dalam politik barang – lebih baik dapat herbisida dan makan gratis serta dapat uang rokok daripada tidak dapat sesuatu sama sekali. 

Cara berpikir polos seperti ini tak bisa dianggap remeh. Sebab, hal ini menandakan bahwa massa rakyat sudah muak dengan janji-janji palsu para politisi. Akibatnya, massa rakyat menjadi pragmatis. 

Pada dua konteks ini, apa yang mesti dipikirkan oleh para politisi untuk menghasilkan sebuah model politik yang berkualitas dan sampai pada target bonum commune, kebaikan bersama?

Pertama, politisi mesti mampu mendidik massa rakyat untuk berpikir kritis. Walaupun target kemenangan yang mau dicapai, tetapi proses yang dilalui mesti melalui jalan rasional dan sportif. 

Dalam proses mempromosikan diri, politisi mesti secara jujur menampilkan kualitas diri, bukan mengandalkan uang dan barang-barang lainnya. Politisi rasional sudah pasti dapat diandalkan menjadi wakil rakyat yang tahu tugas dan menempatkan diri.

Kedua, mesti ada aturan tegas dari penyelenggara Pemilu bahwa politik uang dan barang mesti dilarang dan ada konsekuensi hukumnya. Hal ini tentu saja bisa terwujud jika para penyelenggara tidak bermain di belakang layar. Ini dapat meminimalisasi orang yang miskin ide dan argumentasi rasional tetapi kaya barang untuk bisa menduduki kursi wakil rakyat. 

Selain itu, kesempatan kampanye terbuka mesti ditingkatkan sehingga para kandidat diuji secara terbuka oleh massa rakyat. Kandidat yang tidak melakukan kampanye bisa dipastikan hanya mengandalkan uang dan barang sebagai jimat untuk menarik simpati massa rakyat.

Ketiga, massa rakyat mesti memiliki kesadaran bahwa memilih wakil rakyat akan menentukan roda pemerintahan selama lima tahun. Memberi herbisida bukan menjadi jaminan politisi yang dipilih benar-benar mewakili rakyat. 

Politisi bersangkutan justru sedang menghina rakyat dengan menggunakan herbisida, uang dan daging gratis. Rakyat lalu dididik menjadi warga yang hedonistik, mementingkan kesenangan sesaat, tanpa berpikir kritis jauh ke depan demi sebuah perubahan yang besar.

Antonius Rian bekerja di SMAK Santo Yakobus Rasul Lewoleba, Lembata

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya