ReportasePeristiwa“Memalukan,” Respons Kelompok Advokasi terhadap Nabit yang Kerahkan Massa Tandingan Saat Unjuk Rasa Warga Poco Leok

“Memalukan,” Respons Kelompok Advokasi terhadap Nabit yang Kerahkan Massa Tandingan Saat Unjuk Rasa Warga Poco Leok

“Jika terjadi kekerasan berulang setelah ini, diikuti intimidasi dan meluasnya konflik horizontal, maka Bupati Herybertus G.L. Nabit harus bertanggung jawab sepenuhnya,” kata Koalisi Advokasi Tolak Geotermal Flores

Floresa.co – Kelompok masyarakat sipil dan lembaga Gereja Katolik mengecam dan mengkritik Bupati Manggarai Herybertus G.L. Nabit yang “terang-terangan mengerahkan massa tandingan untuk membubarkan aksi damai masyarakat adat Poco Leok.”

“Tindakan Bupati Manggarai ini menegaskan sikapnya yang pengecut dan gemar menggunakan cara-cara licik,” tulis sejumlah lembaga tersebut yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Tolak Geotermal Flores dalam pernyataan yang diterima Floresa pada 6 Juni.

Warga Poco Leok menggelar aksi damai di depan kantor bupati di Ruteng pada 5 Juni untuk menentang proyek geotermal di kampung mereka.

Semula berlangsung damai, aksi itu terpaksa bubar lebih cepat setelah Nabit yang mengaku tersinggung dengan isi orasi warga mendatangkan massa tandingan.

Hal itu membuat sebagian warga langsung kembali ke Poco Leok, sementara yang lainnya diamankan di Polres Manggarai sebelum diizinkan pulang pada pukul 17.00 Wita dengan pengawalan polisi.

Aksi itu diikuti sekitar 100 warga dari 10 kampung adat atau gendang. Mereka ke Ruteng menggunakan delapan bis kayu atau oto kol, istilah yang umum dipakai di Manggarai.

Mereka kompak mengenakan pakaian adat Manggarai, berupa baju putih yang dipadu dengan sarung.

Aksi itu berpusat di kantor bupati, setelah sebelumnya warga mendatangi kantor DPRD.

Sejumlah warga, baik perempuan maupun laki-laki berorasi di depan kantor bupati yang diselingi dengan lagu-lagu nenggo atau nyanyian tradisional Manggarai.

Aksi tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang juga dilakukan sejumlah kelompok masyarakat di beberapa kota di Flores, daerah ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2017.

Koalisi dalam keterangannya menyatakan, mestinya Nabit “membuka ruang dialog yang bermakna untuk mendengarkan secara sungguh-sungguh aspirasi masyarakat Poco Leok”, bukan malah “memainkan politik adu domba”.

“Ini adalah tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin. Ia secara sadar menghadirkan kekerasan struktural, yang bertujuan melumpuhkan gerakan rakyat dengan cara yang memecah-belah dan melemahkan solidaritas,” kata mereka.

Koalisi itu menyebut, lewat aksinya Nabit “serupa penindas bagi rakyatnya sendiri.”

Lembaga-lembaga yang tercakup dalam koalisi antara lain Jaringan Advokasi Tambang, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Walhi NTT, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Sunspirit for Justice and Peace, Trend Asia, Solidaritas Perempuan, Terranusa serta dua lembaga advokasi Gereja Katolik JPIC-OFM dan JPIC-SVD.

Koalisi mengingatkan Nabit bahwa warga Poco Leok berhak melakukan aksi damai sebagai bagian dari ekspresi hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Menghalangi atau membungkamnya adalah pelanggaran hukum dan merupakan tindakan anti-demokrasi yang memalukan,” tulis koalisi.

Seorang kepala daerah, sebut koalisi itu, seharusnya melindungi dan menjamin pemenuhan hak-hak warganya. 

“Bupati Nabit harus keluar dari tempurung dunianya sendiri,” kata koalisi, mengingatkannya bahwa aksi itu digelar serentak di Flores.

“Aksi damai ini dilakukan para warga terdampak proyek geotermal di Kabupaten Ende, Nagekeo, hingga Ngada. Kabupaten Manggarai hanya satu dari empat titik aksi damai warga,” jelas koalisi. 

Menurut koalisi, di kabupaten lainnya nyaris tidak ada cerita intimidasi dan kekerasan yang dikoordinasi langsung oleh bupati.

Di Kabupaten Ngada, warga dari 19 paroki dan dua kuasi di wilayah Kevikepan Bajawa bersama dengan para pemuka agama Katolik melangsungkan orasi damai diselingi pembacaan doa. 

Di Kabupaten Ende, ribuan peserta aksi yang terdiri dari perwakilan umat 39 paroki se-Kevikepan Ende, para tokoh Katolik, para tokoh adat, hingga berbagai organisasi mahasiswa tumpah ruah di halaman kantor DPRD Ende dan kantor Bupati Ende untuk menyampaikan penolakan tegas terhadap proyek geotermal. 

Begitu pula di Kabupaten Nagekeo, menurut koalisi, lebih dari tiga ribu peserta aksi damai dari 20 paroki beserta mahasiswa, biarawan dan biarawati, serta elemen masyarakat lainnya turun ke jalan.

“Dari empat kabupaten yang mengadakan aksi damai menolak geotermal, hanya aksi di Manggarai yang menyisakan luka akibat kecongkakan hati dan arogansi bupatinya,” sebut koalisi.

Menurut koalisi, tindakan Nabit mengerahkan massa tandingan melawan aksi damai warga Poco Leok “merupakan pengkhianatan yang terang benderang terhadap prinsip demokrasi, keadilan ekologis, dan hak-hak rakyat atas tanah dan kehidupan yang layak.”

“Jika terjadi kekerasan berulang setelah ini, diikuti intimidasi dan meluasnya konflik horizontal, maka Bupati Herybertus G.L. Nabit harus bertanggung jawab sepenuhnya.”

“Kearogansiannya telah membuka jalan menuju perpecahan di antara sesama rakyat Manggarai. Ia yang telah membuka jalan tersebut, ia pula yang akan memikul dosa politik dan sosial atas luka yang ditimbulkan,” tulis koalisi.

Koalisi itu juga mengajak seluruh masyarakat sipil, organisasi advokasi, akademisi, jurnalis, dan seluruh elemen publik untuk tidak tinggal diam. 

Bupati Nabit, “harus dimintai pertanggungjawaban atas kerusakan sosial yang telah dan akan ditimbulkan oleh tirani yang ia ciptakan.”

Nabit, tulis koalisi itu, mesti paham bahwa “Poco Leok bukan tanah kosong.” 

“Di sana ada manusia. Ada sejarah. Ada kehidupan.” 

“Kami tidak akan tinggal diam ketika semua itu diancam atas nama pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir orang,” tulis mereka.

Selain mengecam Nabit, koalisi itu juga menuntut Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) asal Jerman yang mendanai proyek geotermal di Poco Leok bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi warga dalam aksi itu.

“Karena itu kami menyerukan KfW harus segera hengkang dari Pulau Flores dan membatalkan seluruh rencana ekstraksi panas bumi di pulau ini. Tak ada pilihan lain bagi KfW. Pemaksaan proyek panas bumi hanya akan melanggengkan kejahatan kemanusiaan di bumi Flores,” tulis koalisi.

Editor: Peter Dabu

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA